Waspadai Provokasi Pilkada 2018
Oleh Ricky Renaldi
Pilkada serentak 2018 akan segera digelar, suasana politik di beberapa daerah kian meningkat menjelang pilkada serentak pada 27 Juni 2018 mendatang. Perhelatan tersebut akan diselenggarakan di 171 Daerah Provinsi, Kota Maupun Kabupaten. Pilkada serentak merupakan wadah untuk meningkatkan demokrasi lokal di Indonesia yang memiliki tujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif.
Hasil survei dari beberapa lembaga yang mendata tingkat kepuasan dalam melaksanakan Pilkada Serentak tahun lalu menunjukan, lebih dari separuh responden menyatakan puas dengan hasil pilkada serentak. Namun, masih ada responden yang menyatakan sebaliknya. Ketidakpuasaan masyarakat terjadi karena masih adanya permasalahan penyalahgunaaan kekuasaan oleh pasangan petahana. Lebih jauh, satu dari dua responden menyatakan mekanisme pilkada telah melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan. Bagaimana penilaian publik terhadap penyelenggaraan pilkada serentak 2018?.
Dilansir dari media online Kompas, persiapan pilkada serentak 2018 dinilai semakin baik oleh mayoritas publik. Namun, publik memberi sejumlah catatan terkait dengan pelaksanaan proses pilkada. Pertimbangan rasional tampaknya menjadi pilihan utama responden untuk pilkada saat ini. Meskipun masih ada responden yang menjadikan kesamaan agama sebagai faktor untuk memilih kepala daerah, proporsi lebih besar menjadikan faktor-faktor lebih rasional sebagai pertimbangan utama memilih.
Dimana ada gula disana pasti ada semut, merupakan pribahasa yang bisa dijadikan ungkapan dalam Pilkada Serentak yang akan diselenggarakan 2018. Hal tersebut cenderung tepat dalam memberikan dinamisnya suasana Pilkada karena kemenangan suara merupakan tujuan akhir sehingga sulit untuk melepaskan anggapan bahwa setiap pihak akan menggunakan berbagai cara untuk bertarung. Cara-cara tersebut meliputi provokasi, pengangkatan isu SARA dan potensi munculnya ujaran kebencian. Seperti yang dipaparkan oleh Bawaslu saat merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 2018,
Sebanyak tiga provinsi dinilai memiliki kerawanan paling tinggi. Tiga provinsi yang dikategorikan tinggi nilai kerawanannya ialah Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Provinsi yang masuk kategori kerawanan tinggi memiliki nilai kerawanan atau indeks antara 3,00 sampai 5,00. Papua memiliki berada di angka 3,41; Maluku 3,25, dan Kalimantan Barat 3,04. Sementara itu, kerawanan tinggi pada Pilgub Maluku ditentukan dari dimensi penyelenggara, terutama berkaitan dengan integritas dan profesionalitas penyelenggara. Adapun, penyebab kerawanan tinggi pada Pilgub pada dimensi kontestasi, di antaranya karena maraknya politik identitas, penggunaan isu SARA, dan politisasi birokrasi.
Selain itu, politik uang ditengarai masih akan mendominasi pilkada kali ini. Masa tenang adalah masa yang paling rawan dengan politik uang. Penilaian publik ini sejalan dengan Indeks Kerawanan Pilkada 2018 yang dikeluarkan Bawaslu di mana kerawanan politik uang menempati posisi tertinggi. Kerawanan politik uang terindikasi pada pemberian uang, barang, dan jasa secara langsung kepada pemilih.
Sementara pada wilayah dengan tipologi perdesaan dan tertinggal, suap diberikan kepada penyelenggara pemilu. Modus politik uang pun kini kian beragam. Selain itu kerawanan jual beli suara dengan modus melibatkan pedagang atau pemilik toko untuk membagikan sembako kepada masyarakat yang telah mendapatkan kupon dari tim sukses menjadi ancaman yang berbahaya. Jual beli suara juga terjadi dengan mengerahkan saksi bayangan melalui mobilisasi tim relawan di setiap TPS.
Pilkada serentak yang segera digelar akan kembali menguji kemampuan publik memilih kepala daerah secara demokratis. Salah satunya terlihat dari pilihan publik yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasional ketimbang latar belakang primordial dari calon pemimpin daerahnya. Pilihan rasional publik itu berkaitan dengan tugas kepala daerah yang memang harus melayani semua kelompok ketimbang kepentingan agama atau etnis tertentu.
Hal yang patut dicermati dari para calon kepala daerah adalah publik berharap pelaksanaan pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu menghadirkan pemimpin yang memenuhi kepentingan publik. Kepala daerah terpilih nantinya terutama diharapkan juga dapat membenahi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan (21,9 persen), mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani, buruh, pedagang kecil, usaha kecil menengah (18,8 persen), memperbaiki infrastruktur (15,6 persen), visi misi pasangan calon ditepati (12 persen), dan memberantas korupsi di kalangan birokrasi (11,9 persen).
Keinginan dari publik mendapatkan kepala daerah yang melayani masyarakat tentu juga akan sangat bergantung pada para pemilihnya. Apakah mereka akan dengan mudah tergoda oleh iming-iming materi, tarikan emosional primordial, atau memperteguh pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu, ada beberapa cara yang harus dimengerti oleh masyarakat seperti mengetahui gejala yang timbul di sekitar lingkungan, tidak terbawa arus isu SARA, dan menghindari konflik antar masyarakat. Kita harus saling menghormati dan saling menghargai. Pilihan orang dan pilihan kita mungkin saja berbeda tapi jangan perbedaan tersebut dijadikan alasan untuk saling membenci dan saling menghujat.*** (Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)