26.7 C
Jakarta

Yuval Noah Harari: Dunia Setelah Virus Corona (Bag 1)

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Umat manusia saat ini menghadapi krisis global. Mungkin krisis terbesar dalam generasi kita. Keputusan-keputusan manusia dan Pemerintah yang diambil dalam beberapa minggu ke depan, bisa saja membentuk wajah dunia untuk tahun-tahun mendatang. Mereka tidak saja membentuk sistem kesehatan, melainkan juga ekonomi, politik dan budaya kita. Kita harus bertindak secara cepat dan penuh keyakinan. Kita juga harus memperhitungkan konsekuensi jangka panjang dari apa yang kita perbuat. Manakala kita telah memilih, kita harus menanyakan diri kita sendiri, tidak hanya bagaimana menghadapi ancaman yang dekat, tetapi juga dunia seperti apa yang akan kita hidupi ketika badai telah berlalu. Ya, badai pasti berlalu, umat manusia akan bertahan, kebanyakan dari kita akan hidup, namun kita hidup di dunia yang berbeda.

Banyak tindakan kedaruratan jangka pendek diambil untuk menopang kehidupan. Itu merupakan hal alamiah dari kedaruratan. Mereka mempercepat proses sejarah. Keputusan-keputusan yang dalam kondisi normal membutuhkan waktu beberapa tahun, dipotong hanya beberapa jam. Teknologi prematur dan berbahaya diambil, karena resiko tidak melakukan apa-apa akan jauh lebih besar. Negara-negara menjadi kelinci percobaan dalam eksperimen skala global. Apa yang terjadi pada setiap orang yang bekerja dari rumah dan berkomunikasi dengan jarak? Apa yang terjadi ketika sekolah dan universitas berjalan online? Saat kondisi normal, Pemerintah, pebisnis, dan eksekutif pendidikan tidak akan pernah setuju dengan eksperimen-eksperimen itu. Tapi, sekarang-sekarang ini bukan lah kondisi normal.

Dalam situasi sulit sekarang ini, kita terutama menghadapi dua pilihan penting. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayagunaan warga negara. Kedua, antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.

Pengawasan Bawah Kulit

Tentu saja untuk menghentikan epidemik, seluruh populasi harus mematuhi pedoman-pedoman yang ada. Ada dua cara utama untuk mencapai hal ini. Satu metode adalah untuk Pemerintah mengawasi masyarakat, dan menindak siapa pun yang melanggar hukum. Hari ini, pertama dalam sejarah manusia, teknologi memungkinkan mengawasi orang-orang setiap saat. 50 tahun lalu, KGB tidak mampu mengintai warga Soviet berjarak 240 meter dalam 24 jam, begitu pula mereka tidak berharap mampu mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkan. KGB mengandalkan agen-agen manusia dan analis, dan itu artinya tidak mungkin menempati setiap agen untuk mengintai setiap warga. Sekarang, Pemerintah dapat mengandalkan sensor yang bertebaran serta algoritma yang kuat daripada hantu daging dan darah.

Dalam melawan epidemik coronavirus, sejumlah Pemerintah telah menyebarkan peralatan-peralatan pengawasan yang canggih. Dalam kasus yang menonjol adalah Cina. Dengan memantau ponsel warga secara dekat, menciptakan jutaan kamera pengenal wajah serta mewajibkan warga untuk memeriksa kemudian melaporkan kondisi suhu dan kesehatan badan, otoritas Cina tidak hanya mampu secara cepat mengetahui suspect penderita covid-19, tetapi juga mampu menelusuri pergerakan-pergerakan warga dan dengan cepat mengidentifikasi dengan siapa saja mereka melakukan kontak. Sejumlah aplikasi ponsel mampu memberi peringatan kepada warga tentang dekat atau tidaknya posisi mereka dengan pasien yang terinfeksi.

Teknologi semacam ini tidak hanya terbatas untuk Asia Timur. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sekarang ini memberikan otoritas kepada aparat keamanan menggunakan teknologi yang biasa digunakan untuk melawan teroris, dialihkan untuk menelurusi pasien-pasien coronavirus. Ketika Parlemen menolak mengesahkan tindakan tersebut, PM Netanyahu melabrak dengan “Dekrit Kedaruratan”.

Anda bisa saja berargumentasi tidak ada yang baru dalam hal ini. Tahun-tahun sekarang ini, Pemerintah dan swasta telah menggunakan teknologi yang lebih canggih, untuk menelusuri, mengawasi dan manipulasi masyarakat. Jika kita tidak berhati-hati, epidemic akan menjadi semacam aliran air yang penting dalam sejarah pengawasan manusia. Tidak hanya membuat manusia menganggap normal sesuatu pengawasan yang dalam kondisi biasa pasti ditolak. Lebih dari itu, epidemik ini juga menjadi peralihan dramatis dari pengawasan “di atas kulit” menjadi “di bawah kulit”.

Hingga sekarang, manakala Anda mengklik di layar ponsel dengan jari, Pemerintah ingin tahu link apa yang sebenarnya Anda klik. Tapi, dengan merebaknya coronavirus, fokus ketertarikan Pemerintah berganti. Sekarang ini, Pemerintah ingin tahu suhu jari Anda dan tekanan darah di bawah kulit.

 

Puding Darurat

Beberapa masalah yang kita hadapi manakala bekerja dalam pengawasan adalah tidak ada dari kita yang mengetahui dengan pasti bagaimana persisnya kita diawasi, dan apa saja yang bakal terjadi di tahun-tahun berikutnya. Teknologi pengawasan berkembang pada kecepatan berbahaya, dan tampaknya sesuatu yang dianggap sains fiksi pada 10 tahun lalu menjadi berita usang sekarang ini. Sebagai ekspemerin pikiran, anggap lah Pemerintah menuntut setiap orang mengenakan gelang biometrik yang mampu memonitor suhu tubuh dan detak jantung selama 24 jam.  Data kemudian dikumpulkan dan dianalis oleh algoritma Pemerintah. Algoritma kemudian mampu menunjukkan Anda sebenarnya sakit meskipun Anda tidak tahu apakah merasa sakit atau tidak. Algoritma pun mampu mengetahui Anda dari mana saja, dan dengan siapa telah bertemu. Rantai infeksi bisa diperpendek, atau bahkan dipotong. Dengan sistem ini bisa saja epidemik dihentikan dalam hitungan hari. Kedengaran hebat, kan?

Kelemahannya, tentu saja, sistem seperti ini akan memberi legitimasi sistem pengawasan yang mengerikan. Sebagai contoh, saya mengklik link Fox News lebih sering ketimbang CNN news, itu akan menunjukkan kepada Anda seperti apa pandangan politik saya, dan mungkin saja kepribadian saya. Lebih dari itu, jika Anda mampu mengawasi apa yang terjadi pada suhu badan saya, tekanan darah, dan detak jantung sebagaimana yang saya tonton pada video klip, Anda akan mampu mempelajari apa yang membuat saya tertawa, apa yang membuat saya menangis, dan apa yang membuat saya benar-benar marah.

Penting menyadari bahwa kemarahan, kesenangan, kebosanan dan cinta merupakan fenomena biologis seperti batuk dan demam. Teknologi yang sama mengidentifikasi batuk juga bisa mengidentifikasi tawa. Jika korporasi dan Pemerintah memanen data biometris kita secara massal, mereka akan mampu mengetahui diri kita jauh sebelum kita mengetahui diri sendiri. Bukan cuma itu, mereka mampu memprediksi dan memanipulasi perasaan kita, bahkan menjadikan kita sebagai produk yang dijual, baik untuk kepentingan barang ataupun politik. Monitoring biometris menjadikan data Cambridge Analytica seperti produk zaman batu. Bayangkan Korea Utara pada 2030, manakala setiap warga harus mengenakan gelang biometris selama 24 jam sehari. Jika Anda mendengarkan pidato Pimpinan Tertinggi lalu gelang menunjukkan gejala kemarahan dalam diri Anda, maka Anda seketika selesai.

Tentu saja, Anda bisa menggunakan pengawasan biometris sebagai tindakan sementara karena status negara darurat. Dia akan berakhir manakala status darurat dicabut. Tetapi tindakan sementara memiliki kebiasaan buruk dalam mengatasi keadaan darurat, terutama karena selalu ada keadaan darurat baru yang mengintai di cakrawala. Contohnya negara saya, Israel, mendeklarasikan situasi darurat pada 1948 saat perang kemerdekaan, yang membenarkan serangkaian tindakan sementara mulai dari penyensoran pers dan penyitaan tanah hingga peraturan khusus untuk membuat puding (saya tidak bercanda pada Anda). Perang kemerdekaan telah lama usai, namun Israel tidak pernah mendeklarasikan kondisi darurat usai, dan telah gagal menghapuskan banyak tindakan “sementara” tahun 1948 (dekrit puding darurat dengan penuh belas kasihan dihapuskan pada tahun 2011).

Bahkan, ketika infeksi coronavirus turun ke angka nol, Pemerintah berdasarkan data bisa saja berargumentasi tetap memberlakukan sistem pengawasan biometris dengan alasan khawatir datangnya gelombang kedua coronavirus, atau karena adanya ebola baru yang melanda Afrika Tengah, atau karena…. Anda tahu lah. Pertarungan besar telah terjadi begitu hebat mengangkangi privasi-privasi kita. Krisis coronavirus bisa menjadi titik kritis pertarungan tersebut. Ketika orang disodorkan pilihan antara privasi dan kesehatan, mereka biasa akan memilih kesehatan. (bersambung)

Prof. Yuval Noah Harari adalah penulis sejumlah buku best seller A Brief History of Humankind, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, and 21 Lessons for the 21st Century.

Artikel asli: https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75?fbclid=IwAR1DvTG6pOT_nqUQY3n3NFe88TWqortIRgGq7oFxebkCDUgc30q-JFqvwxo

Diterjemahkan oleh Mohamad Fadhilah Zein

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!