ALAMIAH ATAU BY-DESAIN
Entah ketempelan apa dan dari mana, pagi itu setelah melemparkan koran di lantai, tiba-tiba Kang Narjo seperti orang ngomyang, nerocos berbagai hal, ngalor-ngidul, tidak peduli apakah Pak Bei yang sedang momong Eza cucunya yang lucu itu siap mendengarkan atau tidak. Yang membuat Pak Bei agak risau terutama ketika omongan Kang Narjo sudah masuk ke tema dan ranah politik. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga Kang Narjo. Loper koran senior itu memang punya budaya baca yang lumayan bagus. Setiap pagi dibacanya dulu semua headline dan tajuk di koran-koran yang mau diantarkannya ke pelanggan. Prinsipnya cukup bagus. Dia hanya menyampaikan berita setelah dia sendiri membaca dan memahaminya.
“Saya ini bertanya-tanya, Pak Bei. Penasaran,” kata Kang Narjo sambil tetap duduk di atas motornya.
“Tentang apa, Kang?”
“Semua kejadian dan kahanan yang terjadi akhir-akhir ini, itu alamiah apa by desain?”
“Kejadian apa, Kang? Kok serius banget mikirmu. Slow wae-lah,” kata Pak Bei setelah menyerahkan Eza pada mamanya di dapur.
“Banyak kejadian yang kita pantas bertanya-tanya, Pak Bei. Ndelalah ini kan tahun politik. Kita lihat semua politisi, entah capres-cawapres atau caleg-caleg, seolah tiap hari mendemonstrasikan kehebatannya di mata rakyat.”
“Ya iyalah, Kang. Ini memang saatnya semua politisi memoles diri, mem-
branding dan menawarkan dirinya supaya tampak hebat dan menarik sehingga nanti dipilih oleh rakyat, diamanahi rakyat sebagai Dewan Perwakilan atau
Presiden dan Wakil
Presiden, Pemimpin tertinggi di negeri ini.”
“Iya saya paham, Pak Bei. Tentu semua juga sudah menyiapkan dana dalam jumlah besar, bahkan sangat besar untuk ukuran kita, untuk membeli simpati calon pemilih. Namanya juga orang kampanye. Jer basuki mawa bea, kata orang Jawa. Untuk mendapatkan kekuasaan harus mengeluarkan biaya besar.”
“Kang Narjo sudah paham gitu kok.”
“Masih banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya, Pak Bei.”
“Apa saja?”
“Misalnya tentang krisis beras beberapa bulan terakhir dan entah sampai kapan akan kelar.”
“Loh kan sudah jelas soal krisis beras ini karena faktor elnino yang berdampak terjadinya gagal panen di mana-mana, Kang. Pemerintah juga sudah kerja keras mendatangkan 3 juta ton beras impor dari Vietnam, Kamboja, Thailand dan sebagainya, demi mencukupi ketersediaan pangan ratusan juta penduduk.”
“Iya, Pak Bei. Memang begitu yang beredar di berita-berita koran maupun medsos.”
“Lantas?”
“Nuwun sewu lho, Pak Bei. Mungkin saya termasuk orang yang tidak mudah percaya berita yang kita baca di media.”
“Kang Narjo ini loper koran cap apa? Hampir setengah abad tiap pagi ngantar berita koran kok malah meragukan berita media.”
“Ya justru karena saya sudah khatam logika pemberitaan, maka saya paham bahwa yang terjadi sebenarnya tidak pernah muncul di media.”
“Terus, menurutmu apa yang sebenarnya terjadi di perberasan kita?”
“Ha ha haaa….gak enak, Pak Bei.”
“Kenapa gak enak?”
“Boleh jadi impor beras yang jutaan ton itu terkait dengan biaya politik menjelang Pemilu yang sangat tinggi, Pak Bei.”
“Maksudmu?”
“Itu kurang lebih sama saja dengan kasus Rempang yang bahkan sampai membahayakan keutuhah bangsa dan negara ini.”
“Kok bisa, Kang?”
“Soal Rempang itu juga terkait kebutuhan biaya politik para politisi yang sangat tinggi. Ingat Pak Bei, itu terkait dengan investor yang konon siap investasi 300an Triliun di sana.”
“Tapi kenapa sampai membahayakan keutuhan bangsa dan negara, Kang? Ngeri sekali membayangkan kalau sampai terjadi konflik antar-etnis, kan?”
“Memang ngeri, Pak Bei. Tapi itu kan sudah jadi pakem-nya orang di politik.”
“Pakem bagaimana maksudmu, Kang?”
“Pak Bei pasti paham, politik itu soal berebut kekuasaan dan asset. Itu membutuhkan mental 3 T.”
“Apa itu?”
“Tegel alias tega hati dan tidak berbelas kasihan. Teteg alias ndableg alias gak mau tahu akibatnya bagi orang lain. Tipu-tipu alias sanggup berbohong dan menipu.”
“Ah masa begitu, Kang?”
“Makanya saya bertanya-tanya atas berbagai kejadian di negeri ini. Pak Bei bisa membayangkan berapa succes fee dari masuknya investasi itu?”
“Gak paham aku, Kang.”
“Saya pun bertanya-tanya soal banyaknya pabrik tektil, garmen, dan manufaktur yang bangkrut, juga pedagang pasar Tanah Abang, Mangga Dua, Cipulir, PGS
Solo, dan lain-lain yang bangkrut. Ada apa ini sebenarnya? Saya percaya, itu bukan semata-mata karena kebijakan Pemerintah yang salah, tapi bisa juga karena faktor perilaku para pengusaha yang lengah terhadap perubahan zaman.”
“Wah kok berat sekali omonganmu pagi ini. Ketempelan dari mana, Kang? Sudahlah, ayo kita kerja sesuai kemampuan kita saja. Sana Kang Narjo lanjutkan ngantar koran, saya mau lanjut momong cucuku.”
Kali ini terpaksa Pak Bei mengakhiri obrolan sambil setengah mengusir sahabatnya. Perut masih kosong karena belum sarapan kok diberondong tema-tema kegelisahan Kang Narjo yang cukup berat. Kalau diterus-teruskan, bisa-bisa hilang selera makan Pak Bei.
#serialpakbei
#wahyudinasution
#mpmppmuhammadiyah
#jamaahtanimuhammadiyah
#lpumkmklaten
ALAMIAH ATAU BY-DESAIN
Entah ketempelan apa dan dari mana, pagi itu setelah melemparkan koran di lantai, tiba-tiba Kang Narjo seperti orang ngomyang, nerocos berbagai hal, ngalor-ngidul, tidak peduli apakah Pak Bei yang sedang momong Eza cucunya yang lucu itu siap mendengarkan atau tidak. Yang membuat Pak Bei agak risau terutama ketika omongan Kang Narjo sudah masuk ke tema dan ranah politik. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga Kang Narjo. Loper koran senior itu memang punya budaya baca yang lumayan bagus. Setiap pagi dibacanya dulu semua headline dan tajuk di koran-koran yang mau diantarkannya ke pelanggan. Prinsipnya cukup bagus. Dia hanya menyampaikan berita setelah dia sendiri membaca dan memahaminya.
“Saya ini bertanya-tanya, Pak Bei. Penasaran,” kata Kang Narjo sambil tetap duduk di atas motornya.
“Tentang apa, Kang?”
“Semua kejadian dan kahanan yang terjadi akhir-akhir ini, itu alamiah apa by desain?”
“Kejadian apa, Kang? Kok serius banget mikirmu. Slow wae-lah,” kata Pak Bei setelah menyerahkan Eza pada mamanya di dapur.
“Banyak kejadian yang kita pantas bertanya-tanya, Pak Bei. Ndelalah ini kan tahun politik. Kita lihat semua politisi, entah capres-cawapres atau caleg-caleg, seolah tiap hari mendemonstrasikan kehebatannya di mata rakyat.”
“Ya iyalah, Kang. Ini memang saatnya semua politisi memoles diri, mem-
branding dan menawarkan dirinya supaya tampak hebat dan menarik sehingga nanti dipilih oleh rakyat, diamanahi rakyat sebagai Dewan Perwakilan atau
Presiden dan Wakil
Presiden, Pemimpin tertinggi di negeri ini.”
“Iya saya paham, Pak Bei. Tentu semua juga sudah menyiapkan dana dalam jumlah besar, bahkan sangat besar untuk ukuran kita, untuk membeli simpati calon pemilih. Namanya juga orang kampanye. Jer basuki mawa bea, kata orang Jawa. Untuk mendapatkan kekuasaan harus mengeluarkan biaya besar.”
“Kang Narjo sudah paham gitu kok.”
“Masih banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya, Pak Bei.”
“Apa saja?”
“Misalnya tentang krisis beras beberapa bulan terakhir dan entah sampai kapan akan kelar.”
“Loh kan sudah jelas soal krisis beras ini karena faktor elnino yang berdampak terjadinya gagal panen di mana-mana, Kang. Pemerintah juga sudah kerja keras mendatangkan 3 juta ton beras impor dari Vietnam, Kamboja, Thailand dan sebagainya, demi mencukupi ketersediaan pangan ratusan juta penduduk.”
“Iya, Pak Bei. Memang begitu yang beredar di berita-berita koran maupun medsos.”
“Lantas?”
“Nuwun sewu lho, Pak Bei. Mungkin saya termasuk orang yang tidak mudah percaya berita yang kita baca di media.”
“Kang Narjo ini loper koran cap apa? Hampir setengah abad tiap pagi ngantar berita koran kok malah meragukan berita media.”
“Ya justru karena saya sudah khatam logika pemberitaan, maka saya paham bahwa yang terjadi sebenarnya tidak pernah muncul di media.”
“Terus, menurutmu apa yang sebenarnya terjadi di perberasan kita?”
“Ha ha haaa….gak enak, Pak Bei.”
“Kenapa gak enak?”
“Boleh jadi impor beras yang jutaan ton itu terkait dengan biaya politik menjelang Pemilu yang sangat tinggi, Pak Bei.”
“Maksudmu?”
“Itu kurang lebih sama saja dengan kasus Rempang yang bahkan sampai membahayakan keutuhah bangsa dan negara ini.”
“Kok bisa, Kang?”
“Soal Rempang itu juga terkait kebutuhan biaya politik para politisi yang sangat tinggi. Ingat Pak Bei, itu terkait dengan investor yang konon siap investasi 300an Triliun di sana.”
“Tapi kenapa sampai membahayakan keutuhan bangsa dan negara, Kang? Ngeri sekali membayangkan kalau sampai terjadi konflik antar-etnis, kan?”
“Memang ngeri, Pak Bei. Tapi itu kan sudah jadi pakem-nya orang di politik.”
“Pakem bagaimana maksudmu, Kang?”
“Pak Bei pasti paham, politik itu soal berebut kekuasaan dan asset. Itu membutuhkan mental 3 T.”
“Apa itu?”
“Tegel alias tega hati dan tidak berbelas kasihan. Teteg alias ndableg alias gak mau tahu akibatnya bagi orang lain. Tipu-tipu alias sanggup berbohong dan menipu.”
“Ah masa begitu, Kang?”
“Makanya saya bertanya-tanya atas berbagai kejadian di negeri ini. Pak Bei bisa membayangkan berapa succes fee dari masuknya investasi itu?”
“Gak paham aku, Kang.”
“Saya pun bertanya-tanya soal banyaknya pabrik tektil, garmen, dan manufaktur yang bangkrut, juga pedagang pasar Tanah Abang, Mangga Dua, Cipulir, PGS
Solo, dan lain-lain yang bangkrut. Ada apa ini sebenarnya? Saya percaya, itu bukan semata-mata karena kebijakan Pemerintah yang salah, tapi bisa juga karena faktor perilaku para pengusaha yang lengah terhadap perubahan zaman.”
“Wah kok berat sekali omonganmu pagi ini. Ketempelan dari mana, Kang? Sudahlah, ayo kita kerja sesuai kemampuan kita saja. Sana Kang Narjo lanjutkan ngantar koran, saya mau lanjut momong cucuku.”
Kali ini terpaksa Pak Bei mengakhiri obrolan sambil setengah mengusir sahabatnya. Perut masih kosong karena belum sarapan kok diberondong tema-tema kegelisahan Kang Narjo yang cukup berat. Kalau diterus-teruskan, bisa-bisa hilang selera makan Pak Bei.
#serialpakbei
#wahyudinasution
#mpmppmuhammadiyah
#jamaahtanimuhammadiyah
#lpumkmklaten