27.7 C
Jakarta

Atasi Keterbatasan Jumlah SLB, Pemerintah Fokus Kembangkan Sekolah Inklusif

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM Pada prinsipnya inklusif adalah terkait dengan penyandang disabilitas. Namun konteks inklusif dalam universal dalam Undang-undang No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 32 ayat 1 dan 2, inklusifitas itu dapat dilihat dari Pendidikan khusus yaitu Pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan karena kelainan fisik, emosional, mental, dan juga untuk mereka yang memiliki bakat dan potensi yang istimewa. Inklusifitas juga mencangkup pendidikan layanan khusus yaitu Pendidikan bagi peserta didik didaerah terpencil atau terbelakang.

Pendidikan inklusif addalah sistem Pendidikan yang memberikan yang sama untuk semua anak untuk mengikuti pendidikan dalam satu lingkungan sekolah tanpa membedakan warna kulit, gender, budaya, dan ekonomi.

“Prinsip dari sekolah inklusif ini sebenarnya adalah untuk mendekatkan masyarakat Indonesia terutama penyandang disabilitas kepada sekoloha, jadi tentu disini tujuannya untuk bagaimana menarik mereka-mereka yang mungkin selama ini kesulitan dalam mengakses sekolah, dengan adanya sekolah inklusif menjadi lebih mudah, harapannya seperti itu” kata Aswin Wihdiyanto, S.T., M.A, selaku Koordinator Fungsi Penilaian  Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud RI, dalam webinar  Sosialisasi dan Persiapan Keterlibatan  Sekolah Kemala Bhayangkari Dalam Pemenuhan Pendidikan Inklusi, Senin (23/11/2020)

Jika selama ini dikenal sekolah untuk penyandang disabilitas itu Sekolah Luar Biasa (SLB), sekarang Kemendikbud akan lebih fokuskan untuk  membuka akses lebih luas bagi anak-anak disabilitas terutama yang berada didaerah  yang belum mempunyai SLB melalui  sekolah inklusif.

Aswin mengharapkan sekolah inklusif dapat memperkuat perluasan akses pendidikan bagi anak penyandang disabilitas. Adanya kebijakan zonasi juga diharapkan mmebuka peluang lebih luas bagi anak-anak disabilitas bisa mendaftar pada sekolah inklusi tersebut.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 dikelompokan menjadi penyandang ragam disabilitas fisik antara lain penyandang disabilitas fisik seperti amputasi, lumpuh layu atau kaku. Kemudian penyandang disabilitas intelektual yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan dibawah rata-rata. Lalu penyandang disabilitas mental yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Penyandang disabilitas sensorik yaitu terganggunya salah satu fungsi indra. Dan penyandang disablitas ganda yaitu multi disabilitas atau lebih dari satu ragam disabilitas.

“Jika dilihat dari data ragam disabilitas yang ada disekolah inklusif hampir semua ada walaupun jumlahnya bervariasi, dan ini menjadi challenge tersendiri untuk kita memberikan layanan yang sekolah yang berkualitas dan bermutu, walaupun selama ini sekolah-sekolah dirancang untuk menangani anak-anak  non disabilitas, tapi dengan adanya penyandang disabilitas kita harus bisa melakukan transformasi dan penyesuaian,” kata Aswin.

Adapun tantangan yang dihadapi sekolah inklusif menurut Aswin antara lain pendataan Anak Berkebutuhan Khsusus (ABK), kebutuhan guru pembimbing khusus dan Tenaga Kependidikan (Terapis, Psikolog), penguatan pengakuan keberadaan Guru Pembimbing Khusus, Pemanfaatan PLB sebagai pusat sumber belum maksimal, Pemerintah Daerah belum konsen terhadap pendididkan inklusif, rendahnya sikap dan peran orangtua terhaap ABK, pemahaman tentang Pendidikan inklusif masih bervariasi, dan rendahnya pemahaman  masyarakat terhadap potensi dan keberadaan penyandang disabilitas.

Aswin berharap agar guru serta orangtua lebih memperhatikan lagi pendidikan bagi anak penyandang disabilitas,agar mendapatkan pendidikan yang sama dengan non disabilitas.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!