32.9 C
Jakarta

Belum Terbangunnya Ekosistem Inovasi Nasional, Picu Rendahnya Penguasaan Sains dan Teknologi

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Rendahnya penguasaan sains dan teknologi Indonesia salah satunya disebabkan belum terbangunnya ekosistem inovasi nasional yang kondusif baik itu aspek regulasi, tata kelola, alokasi sumberdaya maupun pengaturan kelembagaan. Padahal sains dan teknologi merupakan kunci utama untuk mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy).

Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD bertema “Peta Jalan Penguatan Dunia Usaha dalam Pengembangan Ekonomi Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Economy)” yang digelar Jumat (28/6/2024).

Dalam laporan Indeks Inovasi Global (Global Inovation Index) tahun 2023 yang dirilis oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) pada Nopember 2023, Indonesia masih berada pada peringkat 61 dari 132 negara di dunia. “Dengan kapasitas penguasaan sains dan teknologi seperti itu, rasanya sulit bagi bangsa Indonesia untuk menumbuhkan kemandirian dan kemakmuran ekonomi secara berkelanjutan, serta daya saing dalam percaturan global,” kata Pontjo.

Oleh karena itulah, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas sains dan teknologinya, dan meningkatkan kontribusinya untuk memajukan perekonomian. Hanya dengan pemanfaatan sains dan teknologi yang maksimal, visi pergeseran ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi berbasis pengetahuan dapat tercapai.

Pontjo kembali mengingatkan bahwa pada era perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini, potensi sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara tidak menjamin keberhasilan dalam menumbuhkan dan mengembangkan ekonominya secara berkelanjutan. Terbukti bahwa negara-negara yang mengembangkan ekonomi berbasis sains dan teknologi, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menumbuhkembangkan ekonomi nasionalnya yang berkelanjutan.

“Negara-negara yang telah menjalankan ekonomi berbasis sains dan teknologi, seperti Negara-negara Eropa pada umumnya dan beberapa Negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan ternyata lebih mampu mensejahterakan rakyatnya daripada negara-negara yang hanya bersandar pada kekayaan sumberdaya alam,” kata Pontjo.

Menurut Pontjo, pengembangan sains dan teknologi dengan strategi triple helix antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha harus terus ditingkatkan.Berlandaskan pada strategi Triple Helix ini, pengembangan sains dan teknologi tentu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus ada upaya sinergetik dari ketiga pihak tersebut.

“Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, dan industri/dunia usaha, serta pemberdayaan masyarakat sangatlah penting, terutama dalam mendorong proses hilirisasi yaitu proses mendekatkan hasil riset dan inovasi kepada dunia usaha/industri atau masyarakat untuk penerapan hingga pemasarannya,” tegas Pontjo.

Dunia Usaha Jadi Pendorong

Dalam kolaborasi kelembagaan Triple Helix tersebut, dunia usaha/industry berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggungjawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, Pengusaha Indonesia sudah seharusnya tidak sekadar menjadi “benefit seekers” tetapi juga memiliki tanggungjawab atas kepentingan nasional sebagai wujud dari kewajiban konstitusional “bela negara” atas bangsa dan negaranya.

Data menunjukkan bahwa jumlah pengusaha di Indonesia saat ini baru sekitar 3,1% dari jumlah penduduk. Jumlah ini menurut Pontjo masih sangat kecil jika dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Singapura (8,76%), Malaysia (4,74%), dan Thailand (4,26%). Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki ratio kewirausahaan sampai 12%.

Lebih lanjut Pontjo mengingatkan bahwa dalam upaya penguatan dunia usaha yang inovatif, berbasis sains dan teknologi, isu strategis yang juga harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari kita adalah isu “daya beli nasional (domestic purchasing power)” baik itu daya beli masyarakat maupun daya beli pemerintah (government expenditure)” yang merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan.

“Oleh karena itu, sudah seharusnya “daya beli nasional” dikelola secara bijak untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional termasuk kepentingan penguatan dunia usaha kita,” ujarnya.

Dalam pengelolaan daya beli nasional, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik yang menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dan lainnya. Salah satu persoalan besar yang masih dihadapi Indonesia adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dan “state capture” dalam bidang perekonomian/perdagangan yang sangat membebani upaya transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan.

Selain menghadirkan Pontjo Sutowo, FGD yang dimoderatori Dr Susetya Herawati tersebut juga menghadirkan pembicara lain yakni Siswono Yudo Husodo (Pengusaha), Andi Rizaldi (Kementerian Perindustrian) dan Dr. Saefudin (Pusdatin Kementerian Pertanian).

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!