“Dalam kesedihan yang pekat, Santuzza bercerita kepada Ibunya; ‘seorang kekasih telah meninggalkanku, Ibu’. Ia membiarkan dirinya terbuai lara. Air mata meneteskan kejujuran, menjelaskan segala lara hatinya. Tiada yang paling setia dan tulus mengajarinya berduka, selain waktu semata.”
Begitu narasi pembuka yang dibacakan Heliana Sinaga sebelum lagu Voi lo sapote dari opera Cavalleria Rusticana karya Pietro Mascagni dilantunkan oleh Ati Sriati. Soprano wanita kenamaan tanah air ini berhasil memukau para penggemar dan sahabat-sahabatnya dalam konser amal bertajuk “Nada-nada nan Tak Bertepi.”
Digagas oleh Ibu Ati (sapaan akrab beliau) dan Mainteater, konser tersebut mengambil tempat di Institut Francais Indonesia, Bandung (3/11/2019). Menghadirkan hampir sekitar dua ratus penonton, helatan itu terasa begitu spesial karena menyuguhkan paduan musik, narasi, dan visualisasi. Dibesut langsung oleh direktur artistik, Wawan Sofwan, konsep itu ditujukan untuk menawarkan interpretasi baru kepada para penonton.
Pada kesempatan yang luar biasa itu, Ibu Ati berkolaborasi bersama dua orang kenamaan yakni Yohanes Siem (pianis) dan Farman Purnama (vokal tenor). Keduanya ditunjuk karena ragam prestasi yang telah mereka berdua emban.
“Bagi saya ini sebuah kehormatan. Sudah lama sekali tidak nyanyi bersama Tante Ati, seperti sudah beberapa tahun. Sekarang bisa bertemu lagi, satu panggung lagi. Seperti mengulang memori,” kata Farnam Purnama.
Ibu Ati dan Farman Purnama sebelumnya memang pernah melakukan duet, misalnya dalam konser “Opera Matinee” prakarsa Giok Hartono dan konduktor Avip Priatna tahun 2011 silam di Jakarta.
***
Selama sembilan puluh menit, konser Ibu Ati membawakan tiga belas lagu berbahasa Indonesia, Inggris, Itali, dan Perancis. Delapan lagu dilantunkan solo, dua lagu oleh Farman, dan tiga lagu duet. Delapan lagu tersebut di antaranya Kisah Angin Malam karya Saiful Bahri, Dewi Anggraini karya Iskandar, Voi lo sapete dari opera Cavalleria Rusticana karya Pietro Mascagni, Linda di Chamounix dari opera Linda di Chamounix – O luce di quest’ anima karya Gaetano Donizetti, Je veux vivre dari opera Roméo et Juliette karya Charles Gounod, Vissi D’Arte, Vissi D’Amore dari opera Tosca karya Giacomo Puccini, I Dreamed a Dream dari musical Les Misérables karya Claude-Michel Schönberg, dan If I Loved You dari musical Carousel karya Richard Rodgers.
Kemudian dua lagu yang dilantuntukan oleh Farman Purnama yaitu, La fleur que tu m’avais jetée dari opera Carmen karya Georges Bizet, dan Evermore Without You dari musical The Woman In White (Andrew Lloyd Webber). Lalu tiga lagu duet Ibu Ati dan Farman Purnama yakni Un dì, felice, eterea, dari opera La Traviata karya Giuseppe Verdi, All I Ask of You dari musical The Phantom of the Opera karya Andrew Lloyd Webber, dan Musica proibita (Forbidden Music) karya Stanislao Gastaldon.
Beragam simbol pun dimainkan dalam pertunjukkan tersebut. Misalnya saja pada lagu Voi lo sapote. Lagu tersebut menceritakan mengenai seseorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya. Ia bercerita kepada Ibunya mengenai kegundahan hatinya selama ini. Tata panggung yang semula hanya berisi piano di gigir kiri, lantas terisi sebuah meja dan sepasang kursi. Belum lagi dukungan visualisasi yang menggambarkan beranda. Lagu berbahasa Italia ini lebih terkesan istimewa.
Lalu pada lagu Linda di Chamounix – O luce di quest’ anima, Ibu Ati membawa setangkai mawar merah sebagai tanda kesetiaan Carlo yang terlambat menemui kekasihnya di suatu tempat. Kekasihnya hanya meninggalkan bunga sebagai tanda ia sudah menunggu.
“Apa hanya tinggal bunga ini, Carlo, kekasihku? Aku memang terlambat menemuimu, menepati janji kita. Namun mimpi dan cintaku takkan pernah tertinggal walau sesaat. Sungguh inti mencintaimu itu tiada ukuran di dunia. Sungguh, aku sanggup menantimu sampai dunia tak lagi berarti.”
***
“Konser Nada-nada nan Tak Bertepi rasanya bertepi di hati saya. Karena penyelenggaraannya begitu sederhana tapi sangat menyenangkan. Kebetulan teman-teman yang hadir hampir semua mengenal sehingga suasananya hangat. Dan terima kasih atas sajian ini, saya merindukan lain kali,” ujar Sunaryo. Seniman pemilik art space ‘Selasar Sunaryo’ itu berharap konser serupa bisa berlangsung kembali. Diketahui bahwa beliau merupakan sahabat sekaligus penggemar setia Ibu Ati.
“Saya kebetulan sahabatnya Ati sejak di SMA. Tadi mendengar suara Ati itu, aduh, sangat puas banget. Suaranya bagus. Keren, keren, keren,” kata salah seorang hadirin.
Sementara itu, Yohanes sendiri berpendapat, “saya mengucapkan terima kasih karena sudah dilibatkan dalam konser, jadi saya bisa mengiringi seorang Soprano Ati Sriati dan Farman Purnama. Saya merasa bangga dan kayaknya jerih payah selama ini terbayar karena malam ini konsernya sukses. Saya santai banget mengiringi keduanya. Saya juga senang karena Ibu Ati setelah berpuluh tahun ini terus menyumbangkan tenaganya untuk musik klasik di Bandung.”
Beragam kesan bahagia terlihat dari antusiasme hadirin. Mereka bersetia menunggu konser itu selesai sampai lagu terakhir. Bunga dan kado-kado istimewa diberikan seusai acara. Para sahabat dan penggemar memberikan ucapan selamat tak henti-henti kepada para penyaji acara.
“Menyanyi bagi saya itu mengisi jiwa. Saya dikaruniai suara. Maka dari itu harus dipelihara karena yang menciptakan suara ini telah memberi ‘sesuatu’ untuk saya. Jadi saya mendalami betapa luar biasanya mukjizat Tuhan,” ungkap Ibu Ati.
Selaras dengan ungkapan itu, konser tersebut memang sengaja ditujukan untuk penggalangan dana Pusat Pengembangan Potensi Anak (PUSPPA) Surya Kanti, Bandung. Yayasan tersebut merupakan badan sosial non-profit yang bergerak di bidang potensi anak.
“Saya bisa mempelajari hal yang sulit di dalam menyanyi klasik. Saya banyak belajar dari situ,” ungkapnya kemudian.
Malam itu, di atas panggung, sebuah piano hitam pun ditutup. Sanjungan meriah akhirnya berhenti setelah beberapa lama. Tiga orang di atas panggung itu pun turun, saling memberi pelukan hangat. Mereka semua telah mempersembahkan sebuah energi yang berasal dari ketulusan, cinta kasih, proses, dan kerja keras.
R. Abdul Azis (penulis lepas)