25.5 C
Jakarta

Kedudukan Anak dalam Perspektif al-Quran (Bagian 2)

Baca Juga:

Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Q.S. al-Kahfi [18]: 46).

Dengan berpijak pada urutan turunnya surat-surat al-Quran (tartīb nuzūl) sebagaimana yang pernah disajikan pada pada bagian akhir dari tulisan pertama tentang kedudukan anak dalam perspektif al-Quran (Menara62.com;03/02/2021), ayat yang menjadi bagian dari Q.S. al-Kahfi di atas yang menyatakan anak sebagai perhiasan kehidupan dunia (zīnah al-hayāt al-dunyā) merupakan ayat yang diwahyukan paling awal sebelum turunnya ayat-ayat lain dengan tema sentral kedudukan anak di dalam keluarga bagi kedua orang tuanya.

Meskipun dalam perspektif manusia anak merupakan karunia yang sangat berharga tetapi sejatinya anak juga merupakan amanah ilahiyah yang berat yang harus diberdayakan dengan penuh tanggung jawab oleh setiap orang tua dan kerabat lainnya, tetapi proses panjang mengedukasi manusia dan memberikan informasi yang komprehensif terkait dengan posisi anak, al-Quran memulainya dengan pendekatan yang sangat manusiawi dan bersifat duniawi dan belum ada narasi yang menyinggung keterkaitannya dengan tanggung jawab ukhrāwī dalam bentuk apapun, dan ini merupakan realitas kehidupan yang dapat dipastikan bahwa pada dasarnya semua manusia mendambakan anak keturunan sebagai identitas kesejahteraan batin dan sebuah kekayaan keluarga lahiriyah untuk dapat dibanggaunggulkan secara struktutral dan kultural, sekaligus mengukuhkan dominasi dinasti keluarganya pada level tertinggi di komunitasnya.

Dengan demikian fungsi dan peranan anak keturunan di dalam sebuah komunitas tidak ubahnya seperti peranan harta kekayaan yang sering dianggap sebagai penentu strata sosial sebuah keluarga, dan dalam hal ini manusia memang diciptakan dengan bekal yang lebih untuk mencintai keindahan dan kekayaan: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Q.S. Ali Imran [3]: 14).

Dan seperti inilah metode al-Quran ketika ingin memberikan gambaran tentang sesuatu perkara yang besar yang secara holistik memiliki implikasi berkelanjutan baik yang berkaitan dengan hukum agama maupun yang berkaitan dengan norma sosiokultural selalu dilakukan dengan rangkaian proses panjang dengan tahapan berkala yang terprogram (tadarruj) untuk memberikan pemahaman yang komprehensif, dimulai dengan pendekatan yang sangat rasional dan membumi dengan kondisi kemanusiaan meskipun pada tataran target akhir dari proses tersebut selalu menekankan kepada keutamaan nilai-nilai ketakwaan dan orientasi kehidupan akhirat.

Orientasi dasar mayoritas manusia dalam menjalani hidup ini akan lebih terlihat lagi secara jelas apabila kita menelaah narasi ayat 20 dari Q.S. al-Hadid [57]: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu”. Dengan demikian membanggaunggulkan diri di dunia ini karena memiliki keturunan dan kekayaan merupakan hal yang wajar dan sangat manusiawi karena memang kehidupan dunia ini dijadikan sebagai panggungnya manusia untuk bersaing dengan yang lain agar mampu mengukuhkan dominasi kulturalnya di tengah-tengah komunitasnya.

Meskipun realitas kehidupan dunia memang identik dengan kehidupan hedomis dan berorientasi materi, tetapi legitimasi agama terhadap kesenangan duniawi ini bukan dalam rangka membiarkan keliaran obsesi manusia dalam memenuhi hasratnya karena setiap ayat al-Quran yang berbicara tentang realitas kehidupan dunia yang serba materi selalu diakhiri dengan penekanan terhadap tujuan hidup yang bersifat teo-spiritual dan berwawasan kepada kehidupan akhirat.

Substansi dari perhiasan seharusnya memberi nuansa keindahan, maka perhiasan harus dirawat, dijaga dan dipergunakan secara proporsional sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Dan seperti yang kita ketahui bersama bahwa fungsi anak dalam perspektif ayat di atas adalah perhiasan yang juga membutuhkan perhatian dengan pendidikan, pengajaran dan pembiasaan yang baik-baik dengan harapan anak tersebut memancarkan aura keindahan yang menentramkan hati dan menyejukkan pandangan mata (Qurrata a`yun).

Ketika tidak diperhatikan pertumbuhan karakternya dan tidak diberdayakan potensinya dengan baik maka bukan pesona keindahan yang ditebarkan tetapi keberadannya bisa menimbulkan keresahan sosio-spiritual bagi orang tua, keluarganya dan lingkungan sekitar, sebagaimana harta kekayaan yang sering menimbulkan keresahan yang berkepanjangan bagi pemiliknya bahkan menjadi sumber bencana karena tidak diberdayakan secara proporsional.

Oleh karena itu berkenaan dengan Q.S. al-Kahfi [18]: 46 yang dijadikan pembuka tulisan ini, Imam Al-Rāzī (wafat 606H) menjelaskan bahwa untuk memahami ayat ini tidak mungkin bisa dipisahkan dari pesan penting yang ditekankan pada ayat sebelumnya yang menegaskan tentang kefanaan dunia melalui ilustrasi turunnya hujan yang menumbuhkan tanaman tetapi tidak lama kemudian tanaman itupun menjadi layu dan kering; narasi kenisbian dunia melalui ungkapan ilustratif tersebut memberikan penekanan bahwa dunia dan seisinya tidaklah abadi dan akan cepat hilang, hal yang sama akan berlaku bagi harta dan anak keturunan kita yang merupakan bagian dari perhiasan dan kenikmatan dunia ini; akan segera sirna dan binasa.

Oleh karena itu tidak layak bagi orang yang beriman terbuai di dalam kefanaan dan keterbatasan ini; jangan terlalu membanggakan keturunan dan menganggap harta bisa melakukan segalanya tetapi dalam menyikapi kekayaan dan keturunnya harus berorientasi kepada kehidupan akhirat dengan melakukan hal-hal yang memiliki pengaruh positif yang tidak terbatas waktu yang dalam perspektif al-Quran disebut dengan al-bāqiyāt al-shālihāt yang menurut mayoritas ahli tafsir menafsirkan dengan segala bentuk amal kebaikan yang bernilai ibadah baik dalam bentuk ucapan lisan, amal perbuatan, maupun keyakinan di dalam hati.

Perhiasan yang banyak yang lumrah digunakan oleh mayoritas orang di berbagai kegiataan adalah emas dan perak, meskipun dalam kehidupan sehari-hari keduanya bukan hanya sekedar perhiasan tetapi juga merupakan kekayaan yang harus dikelolakembangkan dengan cara yang baik dan pada tataran tertentu harus diinvestasikan dalam bentuk usaha-usaha yang prospektif tidak saja berorientasi kepada profit materi keduniaan tetapi juga harus mempertimbangkan ketercapaian profit akhirat yang mampu membawa pengelolanya menuju surga.

Membelanjakan kekayaan dan memberdayakan perhiasan (seperti emas dan perak) di jalan Allah dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan amal jariyah yang lain merupakan bentuk investasi yang paling menguntungkan, dan ketika seseorang mengambil keputusan yang salah dalam melakukan investasi dan menggunakan perhiasan tersebut, bukan ketentraman hidup dan surga yang dinikmati, malah sebaliknya perhiasan emas dan perak tersebut bisa menyebabkan seseorang hidup dalam kehampaan hati, jauh dari norma dan nilai agama sekaligus menjadi perantara bagi pemiliknya untuk menikmati siksa neraka yang telah berkali-kali diperingatkan Allah: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menfkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yan pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, mlalu dibakar dengannya dahi mereka, labung dan punggung mereka, lalu dikatakan kepada mereka: inilah harta bendamu uang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan”. (Q.S. al-Taubah [9]: 34-35).

Waladun Shālihun merupakan sebuah terminologi syar`ī untuk menyatakan kualitas anak yang baik dalam perspektif agama dan juga menurut perspektif sosial. Anak sholeh pada tataran teologis adalah anak yang secara teoritis beriman kepada Allah dan secara sadar memiliki tanggung jawab menjaga nilai dasar keimanan tersebut yang terimplimentasi dalam bentuk perilaku yang baik selaras nilai-nilai kesaksian (syahādah) terhadap ketuhanan Allah. Keimanan yang benar inilah yang harus ditanamkan di dalam diri setiap anak karena ini menjadi perhiasan utama bagi setiap manusia sehingga kedudukan kita semua sebagai perhiasan bagi orang tua masing-masing benar-benar memancarkan keindahan yang mencerahkan manusia dan kemanusiaan, sesuai dengan pesan yang diambil dari firman Allah: “tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 7). Sementara menurut pandangan umum masyarakat dapat disimpulkan bahwa anak sholeh adalah anak yang patuh mengikuti arahan orang tua, mampu menjaga dan mewarisi tradisi-tradisi kebaikan universal yang diperjuangkan oleh orang tua dan keluarga sehingga pengaruh kebaikannya mampu menginspirasi dan menggugah anggota keluarga yang lain untuk mengikuti jejaknya seperti halnya yang diharapkan oleh nabi Zakaria dengan kelahiran nabi Yahya; “yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagaian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku seorang yang diridhai”. (Q.S. Maryam [19]: 6).

Anak sholeh adalah anak yang selalu memahami kedudukannya sebagai anak darah daging kedua orang tuanya dan senantiasa menjaga keterpautan batin dengannya minimal dalam bentuk doa meskipun sudah tidak dalam usia anak-anak lagi; “sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Allah Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku berbuat amal yang sholeh yang Engkau ridhai” (Q.S. al-Ahqaf [46]: 15); “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra` [17]: 24).

Anak sholeh adalah mereka yang selalu mengembangkan keshalehan individu dan keshalehan sosialnya dengan menjaga intensitas dan kualitas kedekatan dengan Tuhannya melalui ibadah shalat, di mana shalat ini diharapkan mampu meningkatkan peran sosialnya menebar kebaikan dan menjadi agen perubahan dalam komunikasnya melalui gerakan amar makruf nahi munkar. Anak sholeh dalam perspektif ini merupakan kontekstualisasi dari salah satu item mau`idzah Luqman kepada putranya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu”. (Q.S. Luqman [31]: 17).

Al-Zīnah secara literal menurut Ibnu Faris di dalam Maqāyīs al-Lughah adalah sesuatu yang indah dan memberikan kesan indah, sedangkan Al-Rāghib di dalam Mufradāt Alfādz al-Qurān mengatakan bahwa perhiasan adalah sesuatu yang tidak ada celah sedikitpun bagi seseorang untuk mencela keberadaannya baik itu di dunia maupun di akhirat. Dengan tetap menekankan makna keindahan sebagaimana yang dikandung arti literalnya tersebut al-Quran mengembangkan penggunaan kata al-zīnah untuk menujukkan beberapa makna yang lain seperti yang terdapat di Q.S. al-A`raf [7]: 31 di mana zīnatakum pada ayat tersebut diartikan dengan pakaianmu yang indah, begitu pula yang terdapat di Q.S. al-Nur [24]: 31 yang secara global mengatur etika pergaulan laki-laki dan perempuan dan salah satu item yang sangat ditekankan adalah kewajiban bagi wanita muslimah untuk menutup aurat mereka tetapi aurat di ayat tersebut diungkapkan dengan terma zīnatahunna. .

Dengan mengacu kepada bahasa al-Quran dalam menggunakan kata al-zīnah untuk makna dan tujuan yang beragam, maka diperlukan holistisitas dalam memahami sebuah ungkapan bahasa tersebut, dan dalam konteks zīnah al-hayāt al-dunyā substansi anak tidak hanya dipahami sebagai perhiasan dan kekayaan saja meskipun dalam beberapa ayat disandingkan dengan harta, tetapi keluasan ruang lingkup ungkapan bahasa al-Quran tersebut harus mencerahkan pemahaman bahwa fungsi dan kedudukan anak lebih dari sekedar perhiasan yang layak dipamerkan dan dibanggaunggulkan; tetapi yang perlu dikembangkan adalah sebuah kesadaran bahwa anak juga adalah pakaian yang harus difungsikan dengan maksimal untuk menyempurnakan kekurangan keluarga dan menutup celah-celah negatif orang tuanya, anak juga harus dipandang sebagai aurat yang penuh dengan privacy dan rahasia keluarga, tetapi ketika fungsi anak sebagai pakaian yang indah tersebut tidak dimaksimal dengan baik dan benar, maka anak yang kita banggakan tersebut bisa berubah menjadi aib yang dapat memperlihatkan rahasia keluarga dan bahkan perilaku tidak baik yang diperankan anak kita akan dianggap sebagai cerminan kualitas keluarga kita.

Oleh karena itu, ketika perhiasan dalam segala bentuknya selalu kita jaga dengan penuh kewaspadaan, pakaian yang kita kenakan juga selalu kita rawat, aurat dan aib kita juga selalu kita lindungi dan kita sembunyikan, begitu halnya dengan anak juga membutuhkan perhatian yang lebih menyeluruh dengan mengembangkan spiritualitas pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai agama, spiritualitas pembiasaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan positif yang berkelanjutan, menciptakan lingkungan yang layak dan ramah bagi pertumbuhan anak, dan yang lebih penting adalah keteladan dari orang tua dan orang-orang terdekat di sekelilingnya, dan bagian terakhir inilah yang ditekankan oleh nabi Syu`aib dalam aktifitas dakwahnya untuk menjadi yang terdepan dalam melakukan kebaikan: “Dan aku tidak berkehendak menyelisihi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”. (Q.S. Hud [11]: 88).
_


Opini ini dalam rangkaian mensukseskan program psikososial Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Senyum Bersama Meratus.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!