SOLO,MENARA62.COM – Di tengah belantara Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, di mana sinyal internet adalah kemewahan dan jalanan berlumpur menjadi sahabat harian, seorang pemuda bernama Muhammad Iqbal, S.Ag., menapaki jejak pengabdian. Ia adalah alumni Pondok Hajjah Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Iqbal merupakan salah satu Mahasantri Pengabdian yang diutus oleh Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk berdakwah di tengah komunitas Suku Anak Dalam, suku asli yang tinggal di pedalaman Jambi.
Sudah lebih dari satu bulan Iqbal menjalankan amanahnya. Meski harus beradaptasi dengan berbagai keterbatasan, semangatnya tak luntur.
“Prinsip saya, kalau nggak betah harus dibikin betah, kalau nggak nyaman harus dibuat nyaman, kalau nggak kuat ya harus kuat. Hehe,” ujarnya sambil tertawa Senin (7/4/2025), menandakan keteguhan hati di balik canda.
Iqbal tidak sendiri dalam menjalankan misinya. Ia didampingi oleh Ustaz Zein, seorang da’i senior Muhammadiyah yang telah lama menetap di wilayah tersebut. Berkat dukungan dana dari LDK Pusat dan kerja keras tim, akhirnya rumah sederhana untuk tempat tinggal da’i pun berhasil dibangun.
“Saya sempat unggah fotonya di WhatsApp, lalu ada teman yang bilang rumahnya mirip kandang kambing. Ya memang kalau dilihat sih iya, tapi insyaAllah sudah layak dan cukup nyaman,” ujarnya sambil tersenyum.
Tinggal di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) bukan perkara mudah. Akses internet hampir tidak ada, dan saat hujan, jalanan desa berubah menjadi lintasan lumpur licin yang mustahil dilalui kendaraan.
“Kalau hujan dan mati lampu, rasanya kayak kembali ke zaman batu. Nggak bisa ke mana-mana, main HP juga nggak bisa, gelap gulita. Pernah juga listrik mati sampai dua hari,” kenangnya.
Iqbal juga berkali-kali terjatuh dari motor saat mencoba menjangkau komunitas dampingan. “Saya belum terbiasa dengan medannya. Kadang terpeleset, kadang nyungsep. Kalau sudah hujan, jangan berharap bisa sampai pakai motor. Malah mundur kalau dipaksa naik tanjakan,” katanya.
Namun di balik semua tantangan itu, semangat pengabdian Iqbal tidak goyah. Bagi Iqbal, ini bukan sekadar tugas, tetapi panggilan jiwa. Baginya, kehadiran Muhammadiyah di wilayah tertinggal bukan sekadar simbol, tetapi solusi nyata untuk masyarakat yang terpinggirkan.
“Ini adalah bagian dari dakwah yang saya yakini. Dakwah bukan hanya ceramah, tapi juga hadir di tengah-tengah umat, merasakan apa yang mereka rasakan, dan menjadi bagian dari perjuangan mereka,” tegasnya.
Perjalanan Iqbal adalah cerminan nyata dari kontribusi pengabdian Pondok Shabran UMS sebagai semangat dakwah komunitas Muhammadiyah. Menjadi pelita di tempat yang paling gelap, menjadi harapan di tengah keterbatasan. Di tanah yang jauh dari gemerlap kota, Muhammad Iqbal, S.Ag. hadir membawa pesan Islam, membangun peradaban, dan meneguhkan bahwa pengabdian sejati dimulai dari keberanian untuk hadir di tempat yang paling membutuhkan. (*)