YOGYAKARTA, MENARA62.COM — Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan, Majelis Tarjih menggunakan maqashid syari’ah untuk membahas beberapa persoalan yang ada dalam keagamaan. Dengan maqashid syariah dimaksudkan agar makna-makna dapat diwujudkan melalui ketentuan hukum syariah.
Makna di sini berarti kausa finalis yang menjadi tujuan dihadirkannya agama bagi manusia. Berfikir secara maqashid berarti berfikir dalam agama mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui penerapan agama, bukan berfikir tentang instrumen yang menjadi sarana pencapai tujuan. Tujuan agama dalam teori maqashid syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia.
Syamsul juga menjelaskan bahwa dalam Muhammadiyah dikembangkan Manhaj Tarjih yang diartikan sebagai suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan, sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan.
“Dalam manhaj tarjih tersebut didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu asumsi integralistik, dan asumsi hirarkis,” jelas Syamsul dalam acara Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kamis (1/6/2017) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, seperti dilansir situs Muhammadiyah.or.id.
Asumsi integralistik yaitu mepostulasikan teori keabsahan koroboratif tentang norma, yakni suatu asumsi yang memandang adanya kolaborasi dan saling mendukung di antara berbagai elemen sumber guna melahirkan suatu norma. “Suatu norma yang didasarkan kepada satu elemen sumber tentu sudah absah, hanya saja keabsahan itu bersifat zanni (probabel),” ungkap Syamsul.
Sementara itu, asumsi hirarki ialah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Apabila jenjang norma dilihat dari atas ke bawah, maka jenjang norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar al-qiyam al-asāsiyyah baik norma teologis maupun norma etik dan yuristik.
“Norma dasar ini diambil dari nilai-nilai universal Islam seperi tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada al-Wuran dan as-Sunnah, atau dapat disimpulkan dari kenyataan hidup manusia di bawah sinar sumber-sumber pokok pokok tersebut,” ujar Syamsul.
Kembali dijelaskan Syamsul, maqashid syariah dalam konteks ini berada pada tingkat nilai-nilai dasar Islam yang merupakan maqasid, seperti tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, persaudaraan dan nilai dasar lainnya yang dapat digali dari ajaran Islam. Nilai-nilai dasar ini kemudian diturunkan dalam bentuk norma yang lebih konkret yang merupakan asas-asas.
Dari nilai dasar dan asas itu diturunkan lagi norma yang lebih konkret lagi yang disebut dengan peraturan hukum konkret al-aḥkām al-far‘iyyah. “Dalam putusan Tarjih tahun 2014 di Palembang teori pertingkatan norma ini, yang di dalamnya terdapat asumsi maqashid syariah, diterapakan dalam putusan tentang Fikih Air,” ujar Syamsul.
Inti putusan itu misalnya adalah bahwa air merupakan anugerah Allah yang wajib disyukuri melalui pengembangan sikap positif dalam pemanfaatan air yang berasas kesetaraan, keadilan, kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan bersama dan bertanggung jawab, serta sikap konservasi yang berkelanjutan. “Dari nilai dasar dan asas ini diturunkan sejumlah peraturan hukum konkret mengenai air,” tutup Syamsul.