27.1 C
Jakarta

Media Wajib Patuhi Fikih Jurnalistik

Baca Juga:

YOGYAKARTA, MENARA62.com-“Praktik jurnalisme saat ini diakui banyak melanggar aturan. Jangan sampai karena mengejar jumlah pembaca dan keuntungan perusahaan media menjadi bebas nilai. Apalagi jika media seolah-olah menghamba kepada kepentingan politik praktis sesaat.”

Demikian pernyataan Dr H Robby Habiba Abror MHum menanggapi maraknya perilaku jurnalis dan pengelola media yang tidak berimbang dalam pemberitaan. Tidak hanya itu, menurut Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) UIN Sunan Kalijaga ini media sekarang malah menjadi corong dari pemilik media yang dalam realitasnya adalah pemilik partai politik.

“Kita tidak ingin media dikekang dalam menyampaikan informasi, tetapi di balik itu semua jangan sampai media juga kebablasan berpihak. Media dalam tradisinya merupakan pilar keempat demokrasi, nah, bagaimana bisa dikatakan sebagai pilar demokrasi kalau media malah merusaknya,” kata Robby.

Ditambahkan oleh Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DI Yogyakarta ini bahwa perlunya pelaku dan pemilik media mematuhi fikih jurnalistik. Dalam bahasa etika Islam, jika melanggar kode etik, harus ada sangsi moral dan hukum sekaligus.

Hadirnya fikih jurnalistik ini agar media lebih tahu diri, mawas diri, dan berhati-hati dalam menuangkan gagasan. Juga, dalam bahasa agamanya ada pertimbangan pahala dan dosa yang ditanggung.
“Media perlu bahkan wajib mematuhi fikih jurnalistik,” kata lulusan Program Doktor Kajian Budaya dan Media (KBM) UGM ini, “salah satu alasannya adalah fikih jurnalistik memberi landasan dan horizon etis, dalam bahasa agama akhlaqul karimah (budi mulia) dalam bermedia. Dalam hal ini, setiap tindakan kita dalam bermedia harus selalu merujuk dan berupaya melakukan integrasi keilmuan dengan al-Quran dan Hadis. Ini bisa melengkapi kode etik jurnalistik yang sudah ada.”

Kemudian, lanjutnya kita perlu melakukan kontekstualisasi risalah ilahiah dan spirit profetik yakni al-Quran dan Hadis. Hal ini untuk memberi makna sosial dan aplikasi komunikatif-tauhidik dengan kondisi, tantangan dan semangat jaman di era siber ini.

Melakukan rekonstruksi dan reproduksi makna bermedia, sambungnya, dapat memperkokoh jurnalisme Islam yang lebih bertanggung jawab. Menggunakan nalar kritis dalam merespon suatu masalah, dan memberikan solusi bagi maslahat keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan.

“Ini soal ‘language game’ meminjam istilah Wittgenstein, tetapi jika dibaca pakai perspektif politik media maka fikih jurnalistik bisa dikira wacana tanding. Padahal fikih jurnalistik sesungguhnya bisa melengkapi, adanya lebih pada upaya perlunya landasan etis berbasis al-Quran, Hadis, pemikiran para ulama dan para ahli. Jadi tetap perlu kontekstualisasi dan integrasi dengan dinamika diskursus fikih sosial dan kode etik jurnalistik yang sudah ada.”

Pada intinya, jelas Robby, fikih jurnalistik ini akan lebih banyak pandangan yang berbasis pada agama Islam. Tentu saja diperkaya dalam aplikasinya dengan pemikiran kekinian atau kontemporer. Ini sebagai bentuk tanggungjawab Muhammadiyah akan pentingnya membangun jurnalisme yg lebih bertanggung jawab dan beradab.

“Pesan moralnya sebenarnya lebih ke dalam aktivis Muhammadiyah sendiri. Mempedomani mereka agar tidak menyelisihi koridor dan hukum agama yang digariskan oleh al-Quran dan Hadis. Toh, dalam praktiknya fikih jurnalistik ini sudah tertuang dalam perangkat-perangkat seperti Undang-undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, atau Pedoman Pemberitaan Media Siber,” pungkasnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!