33.2 C
Jakarta

Mencari Pemimpin yang Muda, Cerdas dan Amanah

Baca Juga:

Oleh Ashari, SIP*

Kita tahu bahwa, meski masa pandemi Covid-19 masih belum mereda, namun pemerintah bersikukuh untuk tetap melaksanakan hajatan nasional Pilkada 2020, dilanjutkan dengan Pilkades di tingkat pedesaan. Pilkada nasional sesuai jadwal akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Banyak pengamat mengkhawatirkan akan terjadi klaster baru Pilkada. Namun tulisan pendek ini, lebih menyorot sosok idaman yang mayoritas dipilih dalam hajatan Pilkada dan Pilkades tersebut. Saya beri judul : Muda, Cerdas dan Amanah.

Atas usulan beberapa kawan, judul diatas masih ada yang perlu ditambah, yakni Muda, Cerdas, Amanah dan Kaya. Kalau saya sendiri, cukup dengan tiga kriteria tersebut, untuk masuk menjadi Bupati/Wakil Bupati yang militan. Ketika kita sedang mencari figur sosok pemimping, maka prasyarat tersebut, saya pikir menjadi sebuah pointers yang ibarat dagangan layak jual kemana-mana. Muda, Cerdas dan Amanah.

Kriteria ini rasanya ideal untuk para pemimpin, terlebih ditingkat daerah yang berfungsi sebagai nahkoda pemerintahan. Meski sebenarnya kriteria itu juga cocok ketika kita memilih para wakil rakyat yang duduk di kursi dewan. Tingkatan mereka dari DPRD Kabupaten/Kota hingga DPR Pusat, termasuk didalamnya adalah DPD sesungguhnya mempunyai tugas yang tidak ringan. Jadi para Balon Bupati dan Wabup yang jumlahnya 2020 bisa mencapai ratusan, karena di Indonesia Pilkada serentak akan diikuti tidak kurang 107 daerah.

Maka kampanye, tebar pesona dan semacamnya, mereka sedang mencari pekerjaan berat untuk membawa nasib  masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik. Kehidupan madani (social sociaty) yang mayoritas diidamkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Belum lagi peran mereka sebagai pelaksana kebijakan. Tidak ringan. Kadang bersama legislatif yang membuat anggaran. Salah-salah kalau tidak hati-hati, para bupati dan wabup ini karena system, mereka akan terjerat masuk dalam jurang korupsi yang “tidak dia sengaja” .  Contoh kasus bupati harus mengembalikan uang pesangon/gratifikasi. Hingga bupati masuk bui. Bukan berita bohong. Isapan jempol semata.

Sudah banyak para pemimpin negeri ini yang terpaksa masuk bui. Menjadi pelajaran, bagaimana system dan karakter seseorang kadang bertolak belakang dalam dataran realitas.

Pemimpin Muda :

Bupati muda adalah dambaan masyarakat. Tidak semata-mata menafikan peran balon yang sudah tua (sepuh), namun dengan usia muda, kita berpikir logis, mereka lebih lincah ketika mereka harus turba, jaring asmara (aspirasi masyarakat), termasuk ketika mereka harus mengkomunikasikan dengan pihak berwenang, saat kebijakaan yang diterapkan melenceng dari kesepakatan awal. Posisi seperti ini sangat perlu diisi oleh orang-orang muda yang siap untuk “berlari”. Bahwa kemudian ada yang sakit, itu sunatullah. Kalau aleg muda, tapi banyak berdiam diri, ini sebuah anomali. Ada yang keliru dalam dirinya.

Belum lagi tugas-tugas pimpinan yang sering marathon, kunker ke luar kota. Semua membutuhkan fisik yang prima, dan itu secara sunatullah dimiliki oleh orang-orang muda. Kisaran usia 30-50, untuk menjadi pimpinan ( bupati/wabup), masih tergolong muda.

Pemimpin Cerdas:

Ini sejatinya syarat utama. Bupati kok bodoh, lamban berpikir apalagi gagap tekhologi akan menjadi bahan pembicaraan dimasyarakat. Mengapa? Selama ini anggapan yang berkembang, bupati yang terhormat itu adalah kelompok orang-orang cerdas yang diusung para konstituennya, untuk dapat membawa aspirasi dan kemaslahatan sosial bersama. Kalau tidak cerdas, mereka akan kesulitan dalam memahami UU yang rigit dan terkesan njlimet, mereka akan gagap ketika menghadapi demonstrasi dari sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan UU yang diproduksi dewan. Padahal bupati adalah pelaksana dari UU tersebut.

Kecerdasan seorang bupati akan membawa diri dan masyarakatnya kearah kehidupan yang lebih baik. Disaat-saat rapat untuk membuat UU yang berkaiatan dengan kepentingan masyaraat umum, maka dia/mereka harus dapat memisahkan dengan kepentingan kelompok, partai, keluarga dan dirinya.

Kecerdasan emosional juga sangat diperlukan. Bupati yang cerdas akan dengan lapang dada menerima kritik dan masukan dari rakyat. Rumah Dinas Bupati, bukan dianggapnya sebagai menara gading yang tidak dapat disentuh, justru sebaliknya sebagai rumah rakyat untuk dapat menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak alergi kritik dan terus up date informasi, data yang perlu disampaikan kepada masyarakat luas.

Pemimpin  Amanah:

Menjadi dambaan semua orang memiliki bupati yang amanah. Memegang janji. Teguh pendirian. Tidak mudah tergoyah oleh godaan duniawi. Bahwa mereka perlu gaji, fasilitas, insentif itu wajar. Manusiawi, yang tidak wajar ketika gaji yang mereka terima sudah diluar ketentuan. Hingga tiba-tiba mereka menjadi kelompok OKB (Orang kaya baru) dimasyarakatnya. Kalau itu yang terjadi maka perlu dipertanyakan keamanahannya.

Semua partai pasti ingin kadernya amanah. Tidak hanya PAN saja. Yang menyebut dirinya sebagai Partai Amanat Nasional. Pendeknya semua. Maka menjadi ujian bagi siapa yang terpilih menjadi bupatig nanti, agar mereka benar-benar menjadi bupati yang amanah. Dan itu dapat terlihat dalam praktek politik, sosial keseharian nantinya.

Epilog :

Muda, Cerdas dan Amanah, sampai kapanpun tri logi syarat utama menjadi seorang bupati dambaan akan berlaku di muka bumi manapun. Pertanyaannya, akankah kita mendapatkannya? Jawabnya pada Pilkada  9 Desember 2020 nanti, ketika kita sebagai masyarakat berlaku sebagai pemilih  melalui e-vote : yang cerdas, bukan pemilih dengan semboyan “wani piro” apalagi yang apolitik. Semoga. Sekian

Penulis : Mengajar PKn di SMP Muhammadiyah Turi Sleman, alumnus FISIP UT Yogyakarta. Opini Pribadi.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!