JAKARTA, MENARA62.COM – Penderita diabetes melitus (DM) memiliki resiko komplikasi yang cukup banyak, terutama terkait dengan gula darah dan HbA1C yang tidak terkontrol dengan baik. Salah satunya adalah gangguan saraf tepi (neuropati) yang dapat mengakibatkan gangguan sensorik dan motorik.
Selain metode konvensional, penanganan gangguan saraf pada DM bisa dilakukan dengan stem cell (regenerasi sel). Selain meregenerasi saraf dan pembuluh darah, stem cell dan SVF terbukti mampu mengendalikan kadar gula darah dari penderita DM.
Hal tersebut mengemuka pada Seminar Online bertema Penanganan Komprehensif Penyakit Saraf Terkait Diabetes Melitus yang digelar Klinik Hayandra, HayandraLab bekerjasama dengan Isfi Penerbitan, Ikatan Apoteker Indonesia dan SIAP, Ahad (19/7/2020).
Dalam paparannya, Dr. Anastasia Maria Loho, SpS, dokter spesialis saraf di Klinik Hayandra mengatakan sekitar 69% penderita DM mulai mengalami komplikasi neuropati pada tahun ke-5.
“Gangguan neuropati tersebut seperti rasa baal, rasa kesemutan, sampai ke luka kaki diabetik yang dapat berakibat amputasi kaki. Sedang gangguan motorik ataupun otonom seperti gangguan berkemih dan buang air besar,” kata Dr Anastasia.
Menurut Dr Anastasia, gangguan penyakit saraf tepi pada DM bisa dilakukan dengan secara konvensional, yakni pengendalian kadar gula darah, terapi medikamentosa yaitu obat-obatan serta suplemen, serta terapi non-obat seperti fisioterapi dan akupunktur.
Lebih lanjut Dr Ananastasia menjelaskan sejatinya komplikasi pada DM ini terbagi menjadi menjadi 2 yaitu komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular meliputi, penyakit serebrovaskular (stroke), jantung, dan gangguan pembuluh darah perifer (peripheral artery disease). Sedangkan komplikasi mikrovaskular dapat berupa gangguan saraf tepi (neuropati), gangguan ginjal (nefropati) ataupun gangguan pada mata (retinopati).
“Komplikasi ini dapat terjadi multipel dan berujung pada disabilitas ringan hingga berat, bahkan kematian,” lanjutnya.
Pada penderita DM, jelas Dr Anastasia, beresiko 2.3 kali mengalami stroke sumbatan dan beresiko 1.6 kali mengalami stroke perdarahan, sebagai akibat dari akumulasi inflamasi sistemik, kekakuan pembuluh darah, serta gangguan pada sel endotel pembuluh darah.
Pentingnya Rehabilitasi Medik
Untuk mencegah sekaligus menangani komplikasi gangguan saraf pada DM, Dr. Nelfidayani, SpKFR, dokter spesialis rehabilitasi medik Klinik Hayandra menjelaskan, rehabilitasi medik memegang peranan penting. Rehabilitasi medik ini tidak hanya untuk pencegahan dan penanganan komplikasi gangguan saraf , tetapi juga mencegah stroke dan neuropati diabetik yang dapat menyebabkan kaki diabetes.
“Aktivitas fisik yang sesuai dapat membantu mengendalikan kadar gula darah bersamaan dengan penggunaan obat pada pasien DM,” katanya.
Pemeriksaan dan perawatan kaki secara rutin, senam kaki meliputi latihan lingkup gerak sendi dan latihan penguatan otot kaki, serta penggunaan sepatu yang sesuai, merupakan contoh tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kaki diabetes.
Dr. Nelfi menambahkan, pada kasus DM yang sudah terjadi gangguan saraf tepi (neuropati), sepertiga kasus mengalami nyeri neuropatik pada tungkai yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Selain penggunaan obat-obatan, terapi laser intensitas tinggi dapat membantu mengurangi nyeri neuropatik.
Terapi laser intensitas tinggi ini memungkinkan penetrasi jaringan dalam dan merupakan terapi nyeri yang kuat namun tidak membuat ketagihan. Melalui proses transfer energi alami yang disebut fotobiomodulasi dan efek fotomekanis, laser dapat mempercepat penyembuhan dan regenerasi jaringan.
Terapi laser intensitas tinggi bekerja dengan menstimulasi sirkulasi darah di daerah yang terkena, dan darah kaya oksigen yang kaya nutrisi membantu memperbaiki serat saraf dan mengoptimalkan fungsinya. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya rasa sakit dan ketidaknyamanan.
Terapi Penyakit Saraf dengan Stem Cell
Pada kesempatan yang sama, Dr. dr. Karina, SpBP-RE, doktor bidang ilmu biomedik sekaligus CEO Klinik Hayandra dan HayandraLab menjelaskan bahwa proses pembentukan saraf baru (neurogenesis) serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan perbaikan gejala pada penderita penyakit saraf terkait DM. Dan ini bisa dilakukan dengan metode regenerasi sel (stem cell).
“Stem cell sebagai induk dari semua sel di tubuh kita, mempunyai daya yang luar biasa dalam proses regenerasi sel-sel tubuh yang rusak,” kata Dr. Karina.
Dalam disertasi doktoralnya di tahun 2019 lalu, Dr Karina berhasil membuktikan bahwa stem cell dari penderita DM terbukti mulai membentuk pembuluh darah baru (angiogenesis) dalam waktu kurang dari 6 jam. Prosedur stem cell yang dibiak maupun tanpa biakan yaitu Stromal Vascular Fraction (SVF), sudah banyak dilakukan di seluruh dunia dengan tingkat keamanan yang tinggi bila menggunakan sel dari tubuh sendiri (autologus).
Dr. Karina sebagai pemegang hak paten pertama di Indonesia untuk teknik pemrosesan SVF menambahkan, tidak hanya meregenerasi saraf dan pembuluh darah, stem cell dan SVF terbukti mampu mengendalikan kadar gula darah dari penderita DM.
Menyadari bahwa masih banyaknya hal yang perlu diteliti lebih lanjut untuk menghasilkan terapi yang makin baik, Klinik Hayandra dan HayandraLab rajin membuat riset dengan menggandeng peneliti dan klinisi baik dari dalam maupun luar negeri. Luaran (output) dari hasil riset dan layanan di Klinik Hayandra dan HayandraLab, telah dipublikasikan dalam banyak jurnal ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri.
Diabetes melitus atau DM, merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik kadar gula darah tinggi yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin atau terjadinya resistensi insulin. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM di berbagai penjuru dunia.
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2015, sekitar 900 juta orang di dunia menderita DM (12% dari populasi) dan pada tahun 2050 jumlah ini diperkirakan akan meningkat hingga mencapai 22%. Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah penderita DM adalah 8,4 juta orang di tahun 2000, yang akan meningkat menjadi 21,3 juta orang di tahun 2030. Pada wanita, prevalensi DM didapatkan lebih tinggi (21-32%) dibandingkan pria.