28.9 C
Jakarta

Pemilu 2019: Jangan Terjebak dalam Aturan Sendiri

Baca Juga:

Oleh: Dr. H Robby Habiba Abror, M.Hum. (Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY)

Masyarakat Indonesia tidak lama lagi akan melaksanakan dan merasakan pesta demokrasi yang akan berlangsung serentak nanti pada tahun 2019. Pada pesta demokrasi tersebut  akan diselenggarakan pemilhan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Seperti lazimnya pertarungan antarkontentas pemilu, maka masing-masing pasangan dan pendukungnya akan saling memberikan yang terbaik yang bisa mereka lakukan.

Saling silang pendapat dan argumentasi tak terelakkan, baik untuk mengukuhkan ketokohan masing-masing paslon maupun strategi pemenangan. Tidak jarang terjadi gesekan kepentingan antarpendukung paslon. Maka, jika tak dipenuhi moralitas publik dan etika ketimuran, ketegangan perspektif kian tajam dan rawan terjadi perpecahan bagi masa depan kesatuan berbangsa dan bernegara.

Pemilu sebagai bagian dari manifestasi demokrasi akan menghabiskan dana triliunan rupiah, energi bangsa dan umat Islam tak akan dapat terlepas dari kontestasi politik praktis. Genderang “perang” kata-kata, meme, dan saling serang antara kubu kampret dan cebong, sebagai istilah dan konotasi buruk yang dipakai untuk menamai kubu lawan, tak terhindarkan dan acapkali terlontar ke ranah publik dan di ruang-ruang media sosial secara
telanjang dan terang-terangan.

Bangsa ini sudah “terbelah”. Mau diakui atau tidak, sehingga sebagai bagian dari wajah demokrasi, perbedaan pendapat dan keterwakilan suara pendukung paslon akan mewarnai hari-hari kita di hampir semua ruang publik dalam ruang dan waktu mana pun. Di medsos, warung kopi, kampus, masjid, dan lain lain.

Siapa pun yang terpilih, dalam iklim demokrasi dengan kondisi yang serba terbelah ini, ongkos mahal demokrasi salah satunya adalah termanifestasikannya upaya menanam saham kebencian dan dendam sesama anak bangsa. Sampai lima tahun ke depan dan
ke depannya lagi, fenomena ini akan jadi keniscayaan dan kontraproduktif bagi kehidupan
masa depan berbangsa dan bernegara kita.

Bagaimana pun, inilah konsekuensi logis yang memang terlanjur kita pilih. Kita terpenjara dalam aturan main kita sendiri, tanpa sadar telah meruntuhkan wibawa otoritas agama dan realitas kemajemukan dalam bingkai percekcokan dan permusuhan yang apinya terus menyala.

Bangsa ini butuh upaya mengembalikan kesadaran historisnya sebagai bangsa Timur yang beretika, lebih mencintai kedamaian antarsesama anak bangsa dan antarumat beragama, serta mengindahkan dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip dasar moralitas sebagai basis gerakan dakwah Islam dan Muhammadiyah agar warga kita khususnya tidak terjebak dalam paradoks demokrasi, berkebebasan dalam ketegangan, yang jika kerap disalahpahami dalam bingkai permusuhan yang terus-menerus, hanya akan membawa bangsa ini ke tebing jurang kehancuran. Naudzubillah min dzalik.

Semoga pemilu damai tercipta, jauh dari intimidasi, tercipta kedewasaan dalam berpolitik dan Indonesia siap menyongsong masa depan dengan optimis, lebih baik dan berkemajuan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!