SOLO, MENARA62.COM – Merespon fluktuasi nilai tukar Rupiah, Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, SE., M.Si., membahas kondisi ekonomi di Indonesia dan memberikan sarannya.
Anton Agus Setyawan mengungkapkan saat ini, kurs Rupiah berada di level Rp16.170 per US Dollar. Pelaku bisnis mengeluh, karena harga impor beberapa bahan baku industri mengalami kenaikan, sehingga biaya produksi pun turut melambung.
“Faktor eksternal menjadi penyebab utama melemahnya kurs Rupiah beberapa bulan terakhir. Faktor eksternal yang dianggap paling berpengaruh pada pelemahan Rupiah adalah meningkatnya angka inflasi Amerika Serikat,” papar Anton Agus Setyawan yang juga Dekan FEB UMS, Selasa (23/7/2024).
Kondisi geopolitik global yang tidak pasti, lanjutnya, juga menyebabkan pelemahan Rupiah. Situasi perang Ukraina-Rusia yang tidak kunjung usai dan memanasnya tensi konflik di Timur Tengah membawa perekonomian global mengalami perlambatan. Secara umum, situasi geopolitik global mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
“Faktor eksternal dari sisi ekonomi makro di level global tahun 2024 menunjukkan perlambatan dari 2,7 persen, pada 2023 menjadi 2,4 persen pada tahun ini. Kecenderungan suku bunga tinggi karena peningkatan risiko ekonomi menyebabkan biaya pinjaman lebih tinggi. Dampaknya, investasi baru secara global juga mengalami perlambatan,” ungkapnya.
Menurutnya, meskipun dalam kondisi stabil, kondisi makro ekonomi Indonesia sejak awal tahun tidak mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Surplus neraca perdagangan terus mengalami penurunan, walau tidak mengalami defisit.
“Kementerian Keuangan menyebutkan, defisit APBN tahun 2024 diperkirakan mengalami pembengkakan menjadi Rp609,7 triliun atau 2,7 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, defisit APBN 2024 direncanakan sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB,” ujar Guru Besar Ilmu Manajemen FEB UMS itu.
Anton memaparkan pembengkakan defisit dikarenakan dua hal. Pertama, kombinasi pendapatan negara, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pajak, dan bea cukai, mengalami kontraksi pada semester pertama tahun 2024. Selanjutnya, terjadi peningkatan kenaikan belanja negara hingga 9,3 persen. Berdasarkan fakta tersebut, APBN 2024 tidak dapat memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi nasional. Aspek kedua yang juga menyebabkan kurs Rupiah melemah adalah intervensi Bank Indonesia yang tidak mampu menahan fluktuasi kurs Rupiah.
“Pelemahan kurs Rupiah berdampak secara langsung pada pemerintah dan sektor swasta. Pelemahan kurs Rupiah secara otomatis berarti naiknya hutang luar negeri pemerintah berbentuk US Dollar. Perencanaan untuk belanja pemerintah pun harus disesuaikan. Hal itu menjelaskan informasi dari Kementerian Keuangan tentang belanja APBN yang mengalami kenaikan. Sementara pada sektor swasta, pelemahan Rupiah berdampak pada industri dengan bahan baku impor atau importir yang mendatangkan barang-barang konsumsi,” terangnya.
Potret neraca perdagangan Indonesia, tambahnya, kini menunjukkan surplus selama 49 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020. Secara akumulatif, angka surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$ 157,21 miliar. Pada Mei 2024, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$ 3,56 miliar.
“Turunnya harga komoditas berdampak pada nilai ekspor Indonesia. Hal tersebut terjadi pada ekspor hasil pertambangan yang turun 15,05 persen. Impor Indonesia secara kumulatif dari bulan Januari-Mei 2024 mencapai US$ 91,19 miliar atau turun 0,42 persen. Artinya, meskipun terjadi surplus neraca perdagangan, ekspor Indonesia cenderung menurun. Ekspor dan impor yang cenderung menurun bisa diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi,” tegasnya.
Lantas bagaimana cara mengurangi tekanan pada kurs Rupiah dengan kebijakan yang terkait ekspor dan impor? Jelas diperlukan langkah-langkah komprehensif untuk menata industri nasional. Namun, langkah strategis pertama yang sangat utama, yakni membangun industri dengan kandungan lokal yang tinggi.
Dekan FEB UMS itu mengungkap kondisi perekonomian sekarang sedikit mirip dengan situasi menjelang krisis ekonomi tahun 1998. Pada masa itu, industri manufaktur, terutama tekstil bahan baku dan bahan mentahnya, baik itu berupa serat kapas, linen, wol, sutera maupun serat sintetis, sebagian besar diimpor. Bahkan pewarna tekstil masih impor. Praktis hanya menyisakan tenaga kerja yang masih lokal.
“Secara umum, kebijakan yang harus segera dilaksanakan pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengatasi pelemahan kurs Rupiah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan bagi pelaku bisnis dan kebijakan bagi masyarakat,” kata Dekan FEB UMS itu.
Kebijakan bagi pelaku bisnis, pertama, memberikan insentif dan fasilitasi bagi pelaku bisnis yang berinovasi menggunakan atau menambah bahan baku lokal untuk bisnis yang berorientasi ekspor.
Kedua, Bank Indonesia (BI) harus mengevaluasi dan menjaga agar kepatuhan eksportir untuk menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) terus meningkat. BI mencatat, tingkat kepatuhan eksportir sumber daya alam untuk menyimpan DHE di dalam sistem perbankan dalam negeri mencapai 95 persen.
Ketiga, pemerintah dan Bank Indonesia perlu melakukan diversifikasi alat pembayaran perdagangan internasional, baik berupa mata uang selain US Dollar atau bahkan memperluas alat pembayaran dalam bentuk cryptocurrency.
“Sementara di sisi lain, masyarakat memerlukan edukasi dan literasi yang memadai, untuk turut berpartisipasi dalam menjaga kurs Rupiah tetap stabil. Pertama, membeli produk dalam negeri. Beberapa merek lokal di industri fesyen dan makanan saat ini sudah menjadi pilihan masyarakat. Kebangkitan produk lokal merupakan sebuah cara menarik masyarakat untuk menggunakan produk dalam negeri,” paparnya.
Kedua, masyarakat membutuhkan edukasi untuk tidak mengambil kesempatan pada saat Rupiah melemah. Misalnya, melakukan aksi spekulasi dengan US Dollar.
Dia menegaskan, dua hal tersebut bisa jadi dianggap hal kecil, tapi sungguh bisa membantu persoalan tekanan pada kurs Rupiah. (*)