Oleh Abd Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah 2015-2020
Makna revolusi mental, dalam perspektif Islam adalah hijrah, yakni proses perubahan atau perpindahan dari yang buruk menjadi baik, dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari yang negatif menjadi positif, dari pesimistis menjadi optimistis. Semua proses ini dimulai dari cara berpikir (mindset) yang kemudian diekspresikan dalam cara berbicara dan bertindak, yang dibiasakan terus-menerus sehingga menjadi karakter yang menginternalisasi dalam jiwa.
Bagaimana penerapan gerakan revolusi mental dalam gerakan Islam berkemajuan? Islam berkemajuan adalah ciri khas gerakan keagamaan yang terus-menerus dipromosikan (didakwahkan) dan dikembangkan oleh Muhammadiyah.
Apa ciri-ciri Islam berkemajuan?
Pertama, shalih likulli zaman wa makan. Selaras dengan semangat zaman. Islam berkemajuan tidak akan kehilangan aktualitasnya kapan pun dan dimana pun dimanifestasikan. Tidak ada ruang yang tak bisa ditapaki, dan tidak ada waktu yang tak bisa dimasuki oleh gerakan Islam berkemajuan.
Dengan prinsip ini, kreativitas menjadi keniscayaan. Kreativitas beragama dalam perspektif Muhammadiyah dikemas dalam terminologi ijtihad yang menjadi metodologi yang bisa diterapkan dalam menghadapi beragam tantangan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi dalam setiap waktu dan tempat.
Kedua, berorientasi ke masa depan, visioner. Kita hidup tidak lepas dari tiga dimensi waktu, masa lalu, masa kini, dan masa depan. Meskipun demikian bukan berarti kita harus terpenjara oleh ketiganya. Selalu ada pilihan dalam menentukan dimensi waktu mana yang harus diprioritaskan. Islam berkemajuan lebih berorientasi ke masa depan.
Muhammadiyah memandang kehidupan dengan visi yang jelas. Masa lalu dijadikan pelajaran, diambil yang baik dan ditinggalkan yang buruk, dan masa kini dijadikan titik singgung untuk meraih kegemilangan di masa depan.
Ketiga, menjadikan kemajuan nilai kualitas sebagai alat ukur keberhasilan. Banyak orang yang selalu mengejar prestasi. Ini sudah menjadi awal yang baik, tapi akan lebih baik lagi jika prestasi yang diraih tidak semata-mata diukur dalam perspektif materialistik kuantitatif karena yang lebih penting adalah kemajuan nilai kualitatif. Islam berorientasi pada nilai, pada isi, bukan pada penampakan lahir. Dalam bahasa Bung Hatta, politik garam lebih diutamakan ketimbang politik gincu. Garam tidak tampak tapi terasa, gincu tampak tapi tak terasa.
Keempat, menghargai ilmu pengetahuan. Ini merupakan ciri utama Islam berkemajuan, karena hanya dengan ilmu pengetahuanlah kemajuan yang sesugguhnya bisa diraih. Al-Quran banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan, dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap mereka yang menguasai ilmu pengetahuan. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan, di mata Allah nilainya jauh lebih tinggi ketimbang orang biasa yang tidak berpengetahuan.
Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah memprioritaskan program dalam tiga bidang utama, yakni pendidikan, kersehatan, dan penolong kesengsaraan umum. Tiga bidang utama inilah yang disebut trisula gerakan Muhammadiyah. Dan dengan tiga bidang gerakan inilah Muhammadiyah berkembang dari waktu ke waktu dengan berorientasi pada kemajuan dengan ragam dinamika dan tantangan-tantangan yang dihadapinya.
Apa hambatannya?
Hambatan utamanya terkait erat dengan mentalitas umumnya masyarakat Indonesia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemajuan, yakni, pertama kurang menghargai mutu; kedua, kurang percaya diri (minderwardeg); ketiga, lebih menyukai jalan pintas; keempat, tidak disiplin; dan kelima, suka mengabaikan tanggungjawab. Kelima mentalitas inilah yang menurut Kuntjaraningrat (1974) bisa menghambat pembangunan. Kemajuan hanya bisa dicanangkan dan tidak bisa direalisasikan di tangan orang-orang yang berkarakter seperti ini.
Gerakan revolusi mental harus mampu mengubah kelima kerakter ini menjadi kebalikannya, yakni menghargai mutu, percaya diri, menghargai proses, disiplin, dan bertanggung jawab. Dan lembaga pendidikan menjadi wahana utama untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang mampu membalikkan karakteristik-karakteristik yang bertentangan dengan kemajuan itu.
Kurikulum yang dikembangkan lebih diaksentuasikan pada aspek afektif, lalu psikomotorik. Sementara aspek kognitif diperlukan sekadar untuk legitimasi akademik formal yang tidak diutamakan dalam perspektif penanaman dan penginternalisasian nilai-nilai karakter yang baik.
Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan Islam berkemajuan sangat kondusif dijadikan sarana untuk menanamkan nilai-nilai revolusi mental karena memiliki ratusan lembaga pendidikan dari tingkat paling dasar (bustanul athfal/TK) hingga perguruan tinggi.