28 C
Jakarta

Setuju Tapi Tidak Setuju

Baca Juga:

Oleh: Roni Tabroni

Sesuatu yang tidak rasional, biasanya terkait dengan dunia mistik. Tapi dalam politik, juga terkadang kita menemukan hal-hal ajaib dan tidak terduga. Publik sering menuduh politik penuh kejanggalan dan ketidakpastian. Namun, kondisi kepastian politik, ada dalam ketidakpastiannya itu sendiri.

Politik itu dinamis. Hanya kata itu yang mungkin bisa mewakili dinamika politik yang penuh intrik. Sayangnya banyak yang membaca dunia politik menggunakan kacamata umum. Akibatnya, sebelum sampai ke substansinya, mereka sudah bingung duluan.

Politik itu seni. Seni meraih kekuasaan. Dinamikanya harus dinikmati, jangan ditangisi. Bagi yang tidak tahan mental, mending jangan terjun ke arena yang satu ini. Tapi bagi yang bisa menjiwainya, mereka dapat merasakan nikmatnya dunia politik.

Untuk memahami perilaku politisi memang tidak sederhana. Pembacaannya harus lebih komprehensif, jangan parsial. Antara sikap dan perilaku mereka, bisa jadi dianggap berbeda, tetapi bagi pelakunya tidak demikian. Kalau begitu, bisa jadi kita (yang di luar arena) yang salah membaca.

Coba ambil contoh, ketika KPU mensyaratkan bahwa caleg harus terbebas dari kasus korupsi dan tidak pernah terpidana korupsi. Ruang media sekejap menjadi riuh dengan dua kubu pro-kontra. Para politisi mengambil posisinya masing-masing. Publik melihatnya terbelah. Tetapi sepertinya, mereka sama saja.

Mengapa tidak, dalam beberapa kesempatan kita menyaksikan kubu kontra selalu menyatakan dukungannya pada spirit anti korupsi. Itu yang pertama. Kedua, apa yang diinginkan KPU juga bagus untuk langkah pencegahan. Ini pun menunjukkan kesepahaman.

Problem mulai dirasa ketika memasuki formalisasi keinginan baik. Misalnya, apakah harus diformalkan dalam Peraturan KPU atau tidak. Secara substansi sepakat, tetapi jika itu diformalkan menjadi masalah. Terlihat kubu kontra seperti melindungi para koruptor, kubu pro Peraturan KPU seperti anti korupsi.

Politik juga sebenarnya seni mengolah kesan. Kubu pro belum tentu partainya bebas dari kasus korupsi. Kubu kontra belum tentu sarang korupsi. Hampir semua parpol pernah tersandung kasus korupsi, baik elitnya di pusat maupun di struktur bawahnya.

Walaupun wakil presiden menyatakan dukungannya terhadap sikap KPU, tetapi yang terakhir, presiden justru memberikan suara yang berbeda. Boleh saja orang yang tersandung kasus korupsi jadi caleg, tetapi harus dikasih tanda. Seperti tidak setuju, tapi setuju. Sebab memberi tanda pada kertas suara untuk caleg tertentu juga menjadi janggal.

Sikap politisi yang dianggap membingungkan oleh publik, juga terjadi dalam berbagai kasus. Selain isu-isu aktual sesaat, sikap dan perilaku politik juga bisa dilihat dalam pengkubuan kekuatan politik.

Misalnya, ada parpol yang menjadi oposisi, besok-lusa malah menjadi pendukung penguasa. Tetapi juga ada parpol yang sudah bergabung dengan pemerintah, sudah mendapat jatah menteri, tapi tetap selalu mengkritik kebijakan pemerintah.

Secara personal, dulu kita menyaksikan statement Jusuf Kalla yang cenderung miring terhadap Joko Widodo yang waktu itu masih jadi Gubernur DKI Jakarta. Suaranya berubah ketika dilamar jadi cawapres.

Politisi PDI Perjuangan Diah Pitaloka, dulu menangis ketika harga BBM naik zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beda sikap ketika yang menaikkan harga BBM itu Presiden Joko Widodo yang mendapat dukungan dari parpol yang sama dengannya. Bahkan akhir-akhir ini, publik kembali tertawa menyaksikan sikap dan suara Ali Muhtar Ngabalin, tokoh yang dulu sangat keras menyerang Joko Widodo. Kini, Ngabalin tampaknya menikmati hasil “suara kerasnya” itu ketika ia diangkat sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.

Laksana pertunjukan drama, panggung depan politik tanah air selalu sulit ditebak. Jalan ceritera ditentukan sang sutradara yang terkadang tidak tampil dipermukaan. Apa yang kita saksikan, hanya bayangan dari sebuah skenario besar dan bagian dari ceritera panjang. Keawaman para penonton terkadang terlalu sulit menganalisis jalan ceritera secara utuh, karena terlalu capek untuk menyaksikan kasus demi kasus yang dipertontonkan secara parsial.

Jalan ceritera dalam dunia politik selalu berujung pada kekuasaan. Para penguasa akan habis-habisan mempertahankan kekuasaannya, sementara bagi yang belum berkuasa akan berjuang untuk menjadi penguasa. Semua sikap dan perilaku politik itu, akan menentukan dalam posisi apa dia berada. Semua sikap itu, akan berubah seiring perubahan posisi politik. Kelompok oposisi suaranya juga akan berubah, ketika berada di kursi singgasana politik.

Baik kubu pro maupun kontra, sebenarnya dibatasi oleh kewajibannya untuk memberikan keteladanan dan keberpihakannya kepada publik. Sebagai elit politik, baik penguasa maupun opisisi, dua-duanya memiliki tingkat publisitas yang tinggi, sehingga perilaku dan ucapannya selalu diketahui publik. Karenanya elit politik punya kewajiban untuk membangun optimisme publik, bukan malah sebaliknya, membuat publik semakin nyinyir dan pesimis dengan politik. (Roni Tabroni, Pemerhati Politik)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!