SOLO,MENARA62.COM – Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Hanifah Febriani, S.H., LL.M., menyampaikan pandangannya terkait penjatuhan pidana dalam kasus korupsi yang tengah menjadi sorotan publik.
Dosen UMS itu menilai bahwa hukuman 6 tahun 6 bulan untuk salah satu terdakwa kasus korupsi PT Timah Harvey Moeis terlalu ringan dibandingkan dampak dan kontribusi signifikan dari tindakan pelaku.
“Jika dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi besar lainnya seperti Akil Mochtar yang divonis seumur hidup atau Setya Novanto yang dihukum 15 tahun, hukuman ini terasa sangat ringan,” ujar Hanifah, Senin (6/1/2025).
Hanifah menjelaskan bahwa penjatuhan pidana adalah ranah independensi hakim. Namun, keputusan tersebut tidak boleh dibuat secara asal. Hakim harus melihat kualifikasi dan kontribusi perbuatan terdakwa.
“Dalam kasus ini, ancaman minimal hukuman adalah 4 tahun, sementara maksimal 20 tahun. Pilihan majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman yang mendekati minimal sangat disayangkan,” tambahnya.
Menurutnya, terdakwa memiliki kontribusi signifikan dalam menghubungkan PT Timah dengan perusahaan kecil yang mengelola proyek tersebut. Hal ini menunjukkan keterlibatan aktif yang seharusnya menjadi pertimbangan berat dalam penjatuhan hukuman.
Selain itu, Hanifah juga menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengawal kasus ini.
“Tekanan publik yang muncul di media sosial sangat membantu penegak hukum lebih berhati-hati dan transparan dalam mengambil keputusan,” jelasnya.
Dia mendorong masyarakat untuk terus menyuarakan kritik terhadap putusan yang dianggap tidak adil.
Saat ditanya mengenai alasan keringanan hukuman untuk terdakwa yang sering kali bersifat personal, seperti terdakwa bersikap sopan atau memiliki keluarga, Hanifah menegaskan bahwa aspek non-yuridis memang biasa menjadi pertimbangan.
Namun, ia mengingatkan bahwa fokus seharusnya lebih ditekankan pada aspek yuridis dan hal-hal yang memberatkan terdakwa.
Dia juga menekankan pentingnya penanganan kasus ini hingga putusan akhir yang adil, baik terhadap individu terdakwa maupun korporasi terkait.
“Harapan saya, proses banding dan kasasi nanti dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat,” tutup Hanifah.
Saat ini, jaksa telah mengajukan upaya banding atas putusan tersebut. Tahapan berikutnya akan ditentukan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, yang memiliki wewenang untuk memperberat atau memperingan hukuman.
Dengan perhatian publik yang besar, kasus ini menjadi ujian bagi integritas penegak hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia. (*)