27.5 C
Jakarta

Tantangan dan Peluang Berusaha Generasi Milenial di Era 4.0

Baca Juga:

Revolusi industri 4.0 merupakan istilah untuk menandai perkembangan teknologi yang diterapkan di berbagai industri dewasa ini. Revolusi industri 1.0 adalah revolusi industri setelah ditemukannya mesin uap dan kincir air mulai tahun 1784. Revolusi industri 2.0 terjadi satu abad kemudian, pada 1870 ditemukan energi listrik dan produksi massa dimungkinkan, dan revolusi 3.0 terjadi satu abad kemudian 1970 ketika industri menggunakan komputer dan IT.

Sekarang kita memasuki revolusi industri gelombang ke empat 4.0. Industri mengintegrasikan digital dan mekanikal, meliputi otomatisasi, AI/artificial inteligent, IoT/ internet of things, machine learning. Dalam industri 4.0, data yang banyak, dianalisis dan dipergunakan untuk memperbaiki proses produksi dan berbagai inovasi barang dan jasa.

Setiap tahap revolusi industri, membawa perubahan baik dalam industri, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Inilah yang dibahas dalam tulisan ini, peluang berusaha bagi generasi muda atau kelompok milenial dalam era teknologi 4.0 tersebut.

Kondisi yang disadari, tingkat penerapan 4.0 tidak sama di berbagai negara. Negara maju, terutama di negara tempat bahasa digital diciptakan, tentu lebih menguasai daripada negara-negara pengikut. Namun demikian, kreativitas dalam menciptakan sesuatu produk atau layanan, tidak terbatas di negara maju.

Misalnya, Go-jek, go-food, Qasir, aplikasi penjualan daring, yang memungkinkan dilihat dari jarak jauh dan riel time. Di universitas, saat ini  diciptakan berbagai aplikasi yang memudahkan manajemen perguruan tinggi, dan demikian juga tentunya di industri industri sektor riel, dan industri keuangan perbankan, berbagai fitur dan aplikasi diciptakan dan bersifat customize.

Impak Era 4.0

Sebuah proyek penelitian dengan nama Delolite dilakukan dengan mewancarai eksekutif di berbagai negara. Bagaimana impaknya ke negara kita dan kepada generasi milenial kita?

Berbicara milenial, jangan dibayangkan generasi perkotaan terdidik dengan tingkat konsumsi yang terlihat tinggi, dengan bahasa prokem, cuek, individualis, pengguna media sosial dan sebagainya.

Iklan partai PSI dengan membayar milyaran Rupiah dengan rangkaian kata pragmatis-hedonis, seperti sudah makan belum? Menggambarkan salah sasaran atau bias kekotaan mengenai identifikasi generasi milenial kita.

Generasi milenial kita, sebagian besar adalah siswa dan mahasiswa di kota kecil-pedesaan, santri dan lingkungan pesantrennya. Mereka merupakan, tenaga kerja muda di sektor informal yang digaji setengah upah minimum, para pekerja individual yang mencoba usaha umumnya juga sektor informal. Termasuk didalamnya, para pekerja mandiri terutama ojol (ojek online) yang terkait dengan platform hasil revolusi 4.0, yang merupakan batu loncatan pertama sambil mencari jalan masuk kepada pekerjaan atau usaha informal yang lebih baik.

Riset Delolite antara lain membahas tentang efek sosial. Misalnya, apakah era 4.0 menyebabkan kesenjangan atau justru pemerataan, mayoritas ekskutif menjawab justru membawa pemerataan.

Bagaimana di Indonesia ? Di satu sisi benar 4.0 ke depan akan membawa kesempatan dan pemerataan, dari dalam kampung-kampung dan kamar yang sempit, generasi milenial bisa memulai usaha. Kantornya, gudangnya, displaynya, sekaligus tempat tidurnya adalah kamar 3×3 di dalam kampung, yang jarak dengan jalan hanya 2 meter. Harga produknya tentu lebih murah karena tidak membayar tenaga kerja, listrik AC dan peralatan display yang mahal, juga sementara tidak membayar pajak. Harga yang murah dan delivery service, hal ini menyebabkan toko toko pinggir jalan dengan aset tanah seharga 30 – 40 juta per meter, listrik jutaan watt, sekarang dan terlebih kedepan, toko ini akan sepi dan akan menjadi sangat tidak efisien. Kita masih menunggu aplikasi lokal untuk berbelanja kebutuhan harian, diantar yang lebih mudah lagi.

Sebagian kecil ekskutif menjawab akan makin terjadi kesenjangan. Hal ini juga ada benarnya. Misal, platform utama dikuasai sedikit pemain. d Go-Food dan Grab-Food, mengusai industri makan antar seluruh Indonesia, dengan member lebih dari 1 juta restoran dan potongan 20 persen dari harga.

Kondisi ini, menyebabkan restoran menjadi terbatas untuk menaikkan harga. Karena harga produk menjadi sangat tinggi. Go-Food dan Grab-Food, merupakan mesin sedot uang dari daerah ke Jakarta, dan dari Jakarta ke luar negeri. Karena, platform utama seperti Go-food, toko pedia, traveloka, buka lapak sudah dibeli oleh asing.

Ternyata hanya 30 persen ekskutif merasa siap memasuki atau berubah ke era yang baru, dan hanya 14 persen yang benar benar ready. Mayoritas ekskutif masih bertahan dengan sistem kerja lama. Dengan demikian generasi muda yang memulai usaha dengn memanfaatkan komponen komponen 4.0, akan memenangkan dan sangat memudahkan usaha. Sebagai contoh aplikasi Qasir dan Kamera CCTV ke HP, memungkinkan kita mengontrol berbagai restoran atau pabrik bahkan di berbagai kota yang jauh.

Terkait angkatan kerja, hanya 25 persen ekskutif merasa yakin sudah memiliki angkatan kerja yang handal memasuki era 4.0. Artinya, terdapat kesempatan kaum milenial untuk belajar dan menguasai komponen komponen 4.0. Untuk tahap Indonesia sekarang, dengan menjadi tenaga tenaga penting di perusahaan, perbankan, universitas, pemerintahaan yang e-goverment nya mulai intensif.

Industri 4.0, adalah integrasi digital kedalam mesin konvensional, dan kemudian dengan internet dipantau jarak jauh, riel time. Penerapan teknologi ini, memerlukan investasi. Para ekskutif sebagian besar merasa belum siap, terutama juga menghadapi kerjasama internal antar bagian. Dalam industri layanan rumah sakit misalnya, mesin-mesin baru berdatangan, yang makin memudahkan pemeriksaan dan penanganan. Tetapi, rumah sakit ngos-ngosan mengejar perubahan teknologi, yang satu belum lunas sudah datang yang baru.

Semoga menjadi pengantar diskusi era 4.0 yang penuh harapan dan penuh tanda tanya ketidakpastian kedepan.

Penulis: Prof Bambang Setiaji

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!