28.1 C
Jakarta

Virus Japanese Encephalitis Dikhabarkan Merebak, Ini Himbauan Kemenkes

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Virus Japanese encephalitis (JE) dikhabarkan kembali merebak di kawasan Asia termasuk Indonesia. Khabar yang menyebar melalui media sosial tersebut membuat sejumlah kalangan termasuk wisatawan khawatir.

Melalui siaran persnya, Kementerian Kesehatan memberikan sejumlah langkah antisipatif bagi masyarakat luas agar terhindar dari virus JE ini.

Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, Dsc, virus JE hanya bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Nyamuk yang banyak ditemukan di daerah persawahan dan irigasi ini lebih aktif pada malam hari.

“Sebenarnya penularan virus JE hanyaterjadi antara nyamuk, babi, dan atau burung rawa. Tetapi manusia bisa terkena JE dengan perantara nyamuk Culex yang sudah terinfeksi,” jelas dr Jane, Senin (03/04/2017).

Jumlah kasus JE di Indonesia tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 326 kasus. Kasus terbanyak dilaporkan terdapat di Provinsi Bali dengan jumlah kasus 226 (69,3%). Tingginya kejadian JE di Bali ini dikaitkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di wilayah tersebut.

Menurut dr Jane, sebagian besar penderita JE hanya menunjukkan gejala yang ringan atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Gejala dapat muncul 5-15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi virus berupa demam, menggigil, sakit kepala, lemah, mual, dan muntah.

Kurang lebih 1 dari 200 penderita infeksi JE menunjukkan gejala yang berat yang berkaitan dengan peradangan pada otak (encephalitis), berupa  demam tinggi mendadak, sakit kepala, kaku pada tengkuk, disorientasi, koma (penurunan kssadaran), kejang, dan kelumpuhan. Gejala kejang sering terjadi terutama pada pasien anak-anak. Gejala sakit kepala dan kaku pada tengkuk terutama terjadi pada pasien dewasa.

Keluhan-keluhan tersebut lanjut dr Jane, biasanya membaik setelah fase penyakit akut terlampaui, tetapi pada 20-30% pasien, gangguan saraf kognitif dan psikiatri dilaporkan menetap. Komplikasi terberat pada kasus japanese encephalitis adalah meninggal dunia (terjadi pada 20-30% kasus encephalitis).

“Tidak bisa sembarangan menyatakan seseorang didiagnosis JE, selain berdasarkan pemeriksaan fisik atas gejala, juga diperlukan pemeriksaan laboratorium dan tidak bisa dilakukan di laboratorium klinik biasa”, imbuh dr. Jane.

Hingga saat ini, belum ada obat untuk mengatasi infeksi JE, pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE. Pengobatan yang diberikan adalah berdasarkan gejala yang diderita pasien (simtomatik), istirahat, pemenuhan kebutuhan cairan harian, pemberian obat pengurang demam, dan pemberian obat pengurang nyeri. Pasien perlu dirawat inap supaya dapat diobservasi dengan ketat, sehingga penanganan yang tepat bisa segera diberikan bila timbul gejala gangguan saraf atau komplikasi lainnya.

Diakui sebanyak 85% kasus JE yang dilaporkan pada tahun 2016 terjadi pada kelompok umur ≤15 tahun. Hal ini menyebabkan JE dianggap sebagai penyakit pada anak. Padahal, sebenarnya JE juga dapat berjangkit pada semua umur, terutama bila virus tersebut baru menginfeksi daerah baru dimana penduduknya tidak mempunyai riwayat kekebalan sebelumnya.

Intervensi yang paling utama dalam penanggulangan JE adalah pengendalian vektor, eliminasi populasi unggas, vaksinasi pada babi, eliminasi pemaparan manusia pada vektor, dan imunisasi JE pada manusia. Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia.

“Pada September 2017 mendatang, Kemenkes akan mulai mengkampanyekan imunisasi JE di 9 Kabupaten/Kota di Bali dengan sasaran sebanyak 897.050 anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun”, terang dr. Jane.

Ditambahkan oleh dr. Jane, setelah selesai dilakukan kampanye imunisasi JE, maka langkah selanjutnya adalah  introduksi imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin pada anak usia 9 bulan yang dilaksanakan bersamaan dengan imunisasi campak. Perluasan introduksi imunisasi JE akan dilaksanakan berdasarkan kajian endemisitas wilayah masing-masing.

JE adalah penyakit radang otak disebabkan oleh virus Japanese ensefalitis termasuk family Flavivirus dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Asia termasuk di Indonesia.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!