26.7 C
Jakarta

Aktivis Legenda yang Bersahaja

Baca Juga:

Agus Edy Santoso yang akrab dipanggil Agus Lenon wafat, Jumat malam (10/1/20). Innalilahi wa inna ilaihi rojiun, semoga husnul khotimah.

Sebagai yunior, tentu saya memanggilnya Mas. Mas Agus ialah senior saya di HMI, dan belakangan Muhammadiyah. Tapi semasa akhir 1990-an tentu dia salah satu senior saya “di jalanan”.

Saya mengenal namanya sepintas lalu sejak SMA, ketika membaca buku kumpulan tulisan Nurcholish Madjid, “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” (Mizan, 1987). Walaupun namanya tak tertera di sampul, tapi namanya tercantum di halaman keterangan buku, sebagai penyunting.

Ketika saya hijrah ke Jakarta, menjadi aktivis HMI pada akhir 1995, dia sudah dikenal sebagai aktivis yang tersohor. Dia begitu egaliter dan bertipe pengayom: menampung segala macam “aktivis”, terutama yang baru datang dari daerah, dan “keleleran” tak punya kos. Dalam fungsi ini dia mirip Bursah Zarnubi. Dia di PIPHAM, Bursah punya Humanika.

Para “gelandangan” seperti kami, yang tak punya “apa-apa”, mau ke mana lagi kalau tak mencari tumpangan? Sedang kantor PB HMI di Jalan Diponegoro 16, sudah penuh sesak.

Dari aktivis ke aktivis lain, nuansa kritis, kalau bukan anti-Orde Baru sangat terasa saat itu. Dan, alumni HMI ada di mana-mana. Plural. Tidak monolitik. Di barisan “civil society” yang kritis alias oposisi, tak kurang-kurang. Ketika itu, almarhum Munir juga sudah hijrah ke Jakarta. Sering pula kami sambangi di kantor YLBHI, tak jauh dari kantor PB HMI.

Hal-hal yang sering menjadi persiapan ialah, tempat-rempat tersembunyi untuk bisa lari lebih cepat dari kejaran intel atau aparat. Tak di tempat Cak Munir, Bang Bursah, atau Mas Agus.

Mas Agus, jauh dari bayangan saya semula, yang ternyata tak sebatas penyunting buku Cak Nur semata-mata. Dia memilih bergerak sebagai aktor LSM yang kritis, dan sangat “pemberani”. Dia memilih pendekatan yang “nyerempet-nyerempet bahaya”, ketika rezim kekuasaan membentuk wajahnya bak Leviathan.

Yang saya sukai dari sisi lain ialah, kesetiaan diskusi yang rasional dan kritis. Aspek intelektualnya menonjol: intelektual yang berpihak pada kemanusiaan, di mana hal itu selaras saja dengan nilai-nilai Islam.

Kesungguhannya pada tradisi intelektual itu juga diekspresikan ketika dia bergerak pula membuat penerbitan: Teplok Press. Buku-bukunya bagus-bagus, kendati orang melihat itu buku-buku “kiri”. Tetapi, ketika saya, Kholid Novianto dan Riyono Asnan menulis “biografi Akbar Tandjung” dengan arahan almarhum Mas Bahtiar Effendy dan Musfihin Dahlan, penerbitnya Teplok Press pada edisi pertamanya.

Tahu kalau saya suka menulis dan baca buku, Mas Agus selalu memulai arah pembicaraan ke sana. Apa tulisanmu yang baru? Ada buku baru apa? Dari sini, saya melihatnya, bukan sekadar aktivis, tapi sekali lagi dia juga seorang “intelektual yang kritis”. Dia memang suka memantik diskusi kritis.

Nyaris semua hal bisa dia kritisi: tanpa pandang bulu. Dan dia selalu ingin menunjukkan komitmennya pada kemanusiaan, dan bagaimana “ber-Indonesia yang benar”. Dalam hal yang terakhir ini, dia sangat tidak suka perilaku korup para pejabat, juga aparat yang tak membela rakyat, sekadar jadi alat penguasa.

Dia aktivis LSM yang lengkap: suka memantik diskusi kritis dipenuhi aneka kegelisahan, demonstran yang tampil dan tajam, tapi juga punya kegiatan pemberdayaan masyarakat. Semua dia lakoni dengan, menurut kesan saya, tanpa pernah mengeluh dan jarang terkesan marah. Kecuali kalau demo tentu wajahnya serius, tegas, berapi-api.

Posisi saya memang sekadar aktivis HMI saat itu, dan tentu dihadapkan pada sekian referensi para mantan aktivisnya. Ada yang di pemerintahan, ada yang di “oposisi”. Semua saling mewarnai dinamika sosial dan kepolitikan di Indonesia.

Mas Agus salah satu legenda di ranah “oposisi” pada 1990-an itu. Pria asal Situbondo ini hijrah ke Jakarta sebagai aktivis Pengurus Besar HMI semasa Harry Azhar Azis ketua umumnya.

Saat itu, masa yang sangat krusial dalam dinamika politik nasional: masa ketika asas tunggal dicoba diterapkan, dan akhirnya memang “dipaksakan”. Ormas-ormas keagamaan dilematis. HMI dalam posisi yang dilematis. Para aktivis yang kritis, berbeda pandangan, berkonsekuensi dianggap sebagai “musuh negara”. Dan ini ialah jalan yang susah.

Mas Agus memilih jalan yang susah itu. Tapi ini ialah jalan bagi demokrasi. Jalan bagi reformasi, yang lantas tak terelakkan datangnya: 1998. Dan, siapa tak kenal namanya saat itu?

***

Saya datang lebih awal di acara pernikahan putri Mas Hajriyanto Tohari awal Desember (2019) lalu, ketika Mas Agus sudah rapi sebagai among tamu.

“Buku apa yang lagi kau tulis?” Pertanyaan ini nyaris berpola seragam, ketika ketemu saya di berbagai urusan. Mungkin Mas Agus sudah menganggap wajah saya seperti buku.

“Banyak. Antara lain soal demokrasi digital …” jawab saya.

“Apa yang menarik dari tema itu?”

“Banyak!”

Lantas saya sempat jelaskan tentang hal-ikhwal automatisasi algoritma. Dan, sedikitnya referensi tentang riwayat dan kontribusi Muhammad Ibn Musa al Khwarizmi, matematikawan agung “penemu angka Arab”, aljabar dan algoritma. Algoritma sendiri ialah penyimpangan namanya dalam bahasa Latin Algorismi, ketika kitabnya diterjemahkan dlm bahasa tersebut.

“Jadi Mas Agus,” kata saya, “zaman di mana hidup kita sekarang diintai dan secara nggak sadar diarahkan oleh raksasa raksasa teknologi digital itu, tak lepas dari kontribusi sarjana Muslim kita tempo dahulu. Al Khwarizmi pernah jadi direktur Baitul Hikmah semasa kekuasaan Abasiyah. Dia dari daerah yg dialiri sungai Amudarya atau Oxus di Asia Tengah … bla, bla, bla. Ada dua kemungkinan kalau dia hidup lagi di zaman ini: tak tahu apa-apa tentang perkembangan algoritmanya yg sdh bertemu komputasi; atau dia akan segera paham dan kasih nasihat nasihat bijak …”

“Yang menarik lagi apa?” tanyanya.

“Banyak. Di antaranya, pandangan Shoshana Zuboff tentang surveillance capitalism atau, dalam terjemahan saya kapitalisme pengintaian. Bahwa raksasa raksasa teknologi digital itu secara gratis telah dapat banyak sekali data dari kita. Dan, terutama untuk kepentingan komersial, kecenderungan kecenderungan kita secara otomatis mereka mudah petakan: justru karena perilaku kita sudah terintai secara automatis. Dalam politik, kapitalisme pengintaian nyaris identik dengan pengawasan melekat secara digital, sehingga negara berpotensi menjadi apa yang digambarkan George Orwell dalam novelnya 1984. Semua sisi dari wajah kita telah diintip secara ketat. “Big brother is watching you!” Big brother atau Bung Besar itu kini bisa negara, bisa pula raksasa-raksasa teknologi itu.”

“Hal menarik yg perlu kita diskusikan mendalam …” ujarnya, ketika acara sudah hendak dimulai, pranatacara pernikahan mengumumkan agar hadirin siap menyambut rombongan pengantin.

“Wah sampai hampir lupa kalau saya among tamu,” katanya sambil tertawa. Mas Agus menarik HP-nya, “Kita selfi dulu …”

Walaupun kami ada setia di grup WA dengan lontarannya yang “lucu-lucu”, tapi tampaknya, acara pernikahan putri Mas Hajriyanto Tohari itu, pertemuan saya terakhir kalinya dengan Mas Agus.

Pernah kami berjumpa di kantor PP Muhammadiyah. Mas Agus kaget, “Lho kau Muhammadiyah juga?”

Saya jelaskan bahwa saya anggota LHKP periode 2005-2010 dan 2015-2020. Lantas, saya yang tanya balik, “Mas AgusMuhammadiyah juga?”

“Ya saya diberi amanah ikut mengelola Lazismu, banyak hal yang perlu dikerjakan untuk kemanusiaan,” ujarnya sambil tersenyum. Wajahnya sudah makin tampak “sangat lebih tua” ketimbang ketika perjumpaan saya akhir dekade 1990-an. Kesannya dia ingin lebih “semeleh” dan bijak.

Al Fatihah untuk Almarhum.

Penulis: M Alfan Alfian, Anggota LHKP PP Muhammadiyah

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!