BAGAIMANA sampah bisa disulap menjadi emas? Belajarlah pada Nurul Jannah, perempuan berusia 64 tahun yang selama lebih dari 16 tahun menjalani profesi sebagai pemulung sampah. Ia tak hanya mampu menyulap sampah menjadi emas, tetapi sekaligus mengantarkan anak-anaknya menjadi generasi emas.
Ya, Nurul yang hidup sebagai single parent bagi 4 anaknya setelah sang suami meninggal dunia pada tahun 2001, mampu menyekolahkan anak-anaknya dengan prestasi gemilang hingga perguruan tinggi dari hasil memulung sampah. Sesuatu yang mustahil tetapi nyata terjadi dalam kehidupan seorang Nurul.
Dijumpai di Bank Sampah Depo Mentas di kawasan Menteng Atas, kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Nurul mengaku awalnya adalah seorang ibu rumah tangga yang mengandalkan hidup dari gaji suami yang berprofesi sebagai Satpam. Sayang, saat anak-anaknya masih kecil, sang suami meninggal dunia karena sakit. Ia terpaksa mengambil alih kemudi rumah tangga. Menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi 4 anaknya.
Dengan ijazah SMA, tidak mudah baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi pekerjaan itu harus memiliki jam kerja yang fleksibel, menyesuaikan dengan pekerjaan seorang ibu.
Satu-satunya pekerjaan yang ada di depan mata adalah menjadi pemulung. Tanpa ragu Nurul pun memulai profesi tersebut.
“Yang penting halal dan saya tetap bisa memiliki waktu untuk memperhatikan anak-anak, mengurus mereka sebisa mungkin,” kata Nurul mengawali kisahnya.
Awal menjadi pemulung, Nurul mengaku harus berjalan, berkeliling hingga puluhan kilometer setiap hari. Mulai dari kawasan Menteng Atas, Menteng Pulo, Manggarai, Tebet hingga Setia Budi. Karung besar bertengger dipundaknya. Ia mengais dari tong sampah satu ke tong sampah berikutnya. Mengumpulkan berbagai barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan terutama plastik, kardus dan kertas untuk kemudian dijual ke pengepul. Dan itu dijalani hingga belasan tahun kemudian.
Jangan tanya bagaimana beratnya perjuangan seorang Nurul. Perempuan dengan segala keterbatasan fisik yang dipaksa oleh keadaan untuk terus berjuang menghidupi anak-anaknya. Tidak hanya lelah menggelayut di kedua kakinya, tetapi juga rasa pegal di sekujur tubuhnya. Semua diabaikan. Dalam benaknya ia harus bertahan hidup, bekerja keras dan mengantar anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses.
Hasilnya? Empat anak-anaknya kini bisa menyenyam pendidikan yang lebih baik dari dirinya. Si sulung bernama Kurniasandi kini duduk di bangku kuliah Universitas Brawijaya Malang jurusan Hubungan Internasional semester V. Anak keduanya bernama Andika duduk di bangku kuliah Universitas Madura jurusan Sospol semester III. Anak ketiganya bernama Dimas Ray kini duduk di bangku SMA Negeri 70, Jakarta Selatan kelas XII.
“Dan anak saya paling paling bontot bernama Fariski kini duduk di bangku SMP Negeri 67 Jakarta. Alhamdulillah, saya masih mampu membiayai mereka,” kata Nurul sembari matanya berkaca-kaca, menahan isak tangis.
Bank Sampah Depo Mentas
Nurul tidak sendiri. Ada banyak orang yang menjalani profesi sebagai pemulung yang mengandalkan hidup dari gunungan sampah.
Tengok saja di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah Depo Mentas di Kelurahan Menteng Atas, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan. Di depo yang kini sudah tampil cantik setelah dipoles oleh PT Pegadaian (persero) melalui program CSR ‘Pegadaian Bersih-Bersih’ tersebut, setidaknya ada 46 pemulung dan pegiat sampah yang menggantungkan hidupnya dari sampah.
“Ada yang memang sejak awal berprofesi sebagai pemulung, tetapi sebagian lainnya juga masyarakat sekitar depo sampah yang coba-coba cari tambahan penghasilan dari kegiatan memilah sampah,” kata Choiruddin, Kepala Satuan Pelaksana Lingkungan Hidup Kecamatan Setiabudi.
TPS Depo Mentas sejatinya sudah ada sejak tahun 1995. Ini merupakan lokasi sementara bagi warga kecamatan Setia Budi untuk membuang sampah sebelum pada akhirnya diangkut menuju TPA Bantar Gebang, Bekasi.
Awalnya jelas Choiruddin tidak banyak pemulung yang tertarik mengais sampah di depo ini. Tetapi sejak PT Pegadaian menyempurnakan bangunan TPS Depo Mentas dan membangun bank sampah, kini banyak warga yang tertarik untuk ikut memilah sampah di depo.
“Pemulung seperti Bu Nurul dulunya keliling kalau mau cari plastik atau barang bekas. Tetapi sekarang lebih banyak mengais sampah di depo sini,” katanya.
Menurut Choiruddin, pembangunan fasilitas depo seperti hanggar pemilahan sampah, tempat penimbangan sampah, mesin press plastik, mushola dan fasilitas lainnya di Bank Sampah Depo Mentas memang sangat menguntungkan para pemulung dan pegiat sampah. Mereka tidak perlu lagi jauh-jauh membawa hasil memulungnya untuk menjual dan menukarnya dengan uang.
“Apalagi di Depo Mentas kini sudah dilengkapi fasilitas bank sampah. Warga bisa menjual sampah disini, sekaligus menabungnya baik dalam bentuk uang maupun emas,” kata Choiruddin.
Program yang dinamakan The Gade: Clean and Gold yang dititipkan oleh Pegadaian diakui tidak bersifat mengikat. Pemulung atau pegiat sampah tidak wajib menjadi nasabah tabungan emas Pegadaian. Tetapi karena program tersebut menguntungkan maka para pemulung pun mulai menyisihkan sebagian hasil penjualan sampahnya dalam bentuk tabungan emas Pegadaian.
“Ada beberapa pegiat sampah yang sudah dapat emas, meski baru sedikit. Karena memang pemulung cari uang hari ini untuk makan hari ini,” jelas Choirudin.
Tetapi ke depan, ia yakin program tabungan emas akan menarik minat para pemulung. Karena nilai tabungan yang harus disetor setiap hari tidak besar. Pada saat jumlah tabungan sudah mencapai target berat minimal emas yang disyaratkan dalam program Tabungan Emas Pegadaian, mereka pun akan mendapatkan investasi berupa emas.
Bank Sampah Depo Mentas yang dikelola Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DKI Jakarta tersebut mendapatkan dana CSR dari PT Pegadaian pada Januari 2019 berupa pembangunan fasilitas hanggar pemilahan sampah, pagar TPS, mushola, bantuan mesin press plastik, mesin timbangan sampah, dan bangunan kantor bank sampah lengkap dengan perangkat komputernya. Total nilai CSR tersebut lebih dari Rp300 juta.
Di Bank Sampah Depo Mentas, saat ini tercatat ada 46 pemulung dan pegiat sampah menggantungkan hidupnya. Mereka memilah sampah-sampah yang dikumpulkan dari 8 kelurahan yang ada ke kecamatan Setiabudi.
Dengan volume sampah sekitar 90 ton setiap hari, menurut Choiruddin, 15 sampai 20 persen sampah diantaranya masih bisa dimanfaatkan. Baik berupa sampah plastik, kardus, kertas dan sisa sayuran. Sampah plastik yang berhasil dipilah dihargai Rp2000 per kg untuk kondisi kotor dan Rp4000 per kg dalam kondisi sudah bersih. Sedang kardus dihargai Rp1.200 per kg.
Untuk sampah organik seperti sisa sayuran, selanjutnya diproses menjadi pupuk kompos dan pupuk cair. Pupuk tersebut hingga kini masih diberikan cuma-cuma kepada warga yang berminat. Tak menutup kemungkinan, ke depan produk pupuk kompos bank sampah akan dijual.
Choiruddin mengatakan sejak fasilitas Bank Sampah Depo Mentas disempurnakan, aktivitas ekonomi Bank Sampah Depo Mentas menggeliat. Banyak pemulung dan pegiat sampah menggantungkan hidupnya dari depo tersebut. Mereka tidak perlu berkeliling untuk mencari sampah, memilah, menjual dan menyimpan hasilnya. Karena semua kegiatan tersebut bisa dilakukan di satu lokasi yang sama.
“Sejak Pegadaian membangun fasilitasnya, Depo ini lebih ramai. Tak hanya pemulung yang memanfaatkan bank sampah ini tetapi juga warga sekitar. Mereka mengumpulkan sampahnya dan menukar dengan sejumlah uang lalu ditabung dalam bentuk emas,” kata Choiruddin.
Diakui Choiruddin, keberadaan Bank Sampah Depo Mentas dengan segala fasilitas penunjangnya sangat efektif untuk mengurangi volume sampah. Setidaknya sampah-sampah plastik, kertas dan sisa sayuran yang bisa dimanfaatkan, sudah tersortir di depo. Sisanya baru dibuang ke TPA Bantar Gebang, Bekasi.
“Dengan cara begini, jelas sampah yang kita buang ke Bantar Gebang sudah berkurang,” tambah Choiruddin.
Choiruddin menjelaskan DKI Jakarta mencanangkan bebas sampah pada 2020. Untuk mencapai target tersebut, tentu Pemda tidak bisa bekerja sendiri. Perlu peran masyarakat dan pihak swasta agar upaya Jakarta bebas sampah 2020 bisa tercapai.
“Program tersebut intinya adalah bagaimana masyarakat paham betul bagaimana mengelola sampah, bagaimana mereka berpartisipasi untuk memilah sampah rumah tangga sejak keluar dari dapur,” tukas Choiruddin.
Data pada November 2018 menunjukkan, volume sampah di Jakarta mencapai 7.250 ton per hari dengan jumlah sampah rata-rata mencapai 1.500 ton per bank sampah.
Ia sendiri sangat mengapresiasi program Pegadaian Bersih-Bersih. Menurutnya program tersebut dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan terkait sampah. Lebih dari itu, program ini juga dapat menggerakkan sektor perekonomian masyarakat. Karena dengan hanya mengumpulkan sampah, masyarakat bisa mendapatkan tambahan penghasilan bahkan berinvestasi dalam bentuk emas.
“Program Pegadaian Bersih-Bersih ini dapat membuat masyarakat lebih aktif menjaga lingkungan dengan mengumpulkan sampah, lalu sampah itu ditukar menjadi tabungan emas,” kata Choiruddin.
Potensi ekonomi bank sampah
Sementara itu Agus Saefudin, Kasubdit Sarana dan Prasarana Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan saat ini di Indonesia ada 7.642 Bank Sampah yang aktif dan terkoneksi dengan KLHK. Bank sampah ini sebagian besar dikelola oleh Pemda dan masyarakat.
Salah satu perusahaan yang peduli dengan sampah adalah PT Pegadaian (Persero). Lembaga keuangan tersebut sejatinya tidak mengeluarkan produk dari plastik atau kertas. Tetapi perusahaan tersebut merasa terpanggil untuk ikut berpartisipasi dalam memerangi sampah dengan cara mensupport pendirian bank sampah di sejumlah kota di Indonesia.
Di DKI Jakarta sendiri, Pegadaian telah membangun dua bank sampah yakni Bank Sampah Depo Mentas di Kelurahan Menteng Atas, Jaksel dan Bank Sampah Selaras Mandiri di Kelurahan Kebon Kosong, Jakpus. Dua bank sampah tersebut kini memberikan manfaat besar baik bagi ekonomi warga maupun bagi upaya-upaya mengatasi problem sampah.
“Saya berharap apa yang dilakukan Pegadaian akan menginspirasi perusahaan lain. Tidak harus menjadi perusahaan penghasil sampah plastik, kepedulian terhadap lingkungan bisa dilakukan perusahaan lain yang tidak berhubungan dengan produk plastik,” katanya.
Bank sampah menurut Agus tidak hanya efektif mengurangi sampah dan meningkatkan kepedulian masyarakat akan lingkungan. Disisi lain bank sampah juga memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Berdasarkan laporan, sejumlah bank sampah mampu mencatat tabungan rata-rata Rp50 juta per bulan.
“Bayangkan saja kalau setiap RW ada bank sampahnya. Berapa nilai ekonomi bisa dinikmati masyarakat. Berapa besar sampah bisa dikurangi, dan berapa besar dampaknya bagi lingkungan,” jelasnya.
Bangun 15 bank sampah
Bank Sampah Depo Mentas adalah satu dari 15 bank sampah yang dibangun PT Pegadaian (Persero). Diluar Bank Sampah Depo Mentas masih ada bank sampah-bank sampah lain yang tersebar di beberapa kota di Indonesia.
Menurut Direktur Utama PT Pegadaian (Persero), Kuswiyoto, hingga saat ini Pegadaian telah memfasilitasi pembangunan 15 bank sampah di berbagai wilayah di Indonesia melalui program Pegadaian Bersih-Bersih. Tujuannya turut serta mengatasi persoalan lingkungan terutama berkaitan dengan sampah yang kini menjadi problem serius di kota-kota besar seperti Jakarta.
“Dengan adanya bank sampah ini, semua masyarakat di sekitar tempat bank sampah dapat menikmati manfaat dari Program Pegadaian Bersih-Bersih, dimana nanti masyarakat dapat mengubah sampah rumah tangga menjadi tabungan emas,” kata Kuswiyoto.
Bertema The Gade Clean and Gold, program Pegadaian Bersih- tidak hanya melengkapi fasilitas bank sampah. Tetapi juga memberikan pelatihan kepada masyarakat bagaimana cara memilah sampah dengan baik dan benar, sehingga nantinya dapat ditukarkan dengan emas.
“Prosesnya dimulai dari pemilihan sampah yang diambil dari sampah rumah tangga, dibagi berdasarkan jenisnya organik atau anorganik,” lanjut Kuswiyoto.
Setelah dipilah, selanjutnya dilakukan penyetoran, penimbangan, penghitungan hingga tahap menukar dengan tabungan berupa uang. Jika jumlah uang tabungan sudah mencapai jumlah tertentu, nasabah bank sampah bisa menukarnya dengan emas.
Program Pegadaian Bersih-Bersih lanjutnya, dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat dan mengurangi dampak sampah lingkungan.
“Kita berharap, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah secara sembarangan akan meningkat. Sehingga, program Sampah Menjadi Emas yang kita canangkan bersama-sama pemerintah, dapat mencapai hasil yang maksimal,” ujarnya.
Pembangunan Bank Sampah itu sendiri merupakan salah satu perwujudan dari program CSR (Corporate Social Responsibility) Pegadaian yang bertajuk Pegadaian Bersih-Bersih, yang terdiri dari Program Bersih Administrasi, Bersih Hati, dan Bersih Lingkungan, sebagai bentuk kepedulian sosial Pegadaian kepada masyarakat.
“The Gade kini menjadi nickname untuk Pegadaian dan sudah menjadi brand yang dikenal kalangan milenial. Apalagi sebelumnya kita juga punya The Gade Coffee & Gold kini tersebar di banyak kota di Indonesia yang kemudian menjadi gerai Pegadaian sekaligus cafe yang instagramable,” jelas Kuswiyoto.
Oleh sebab itu, program Bank Sampah ini dinamakan The Gade Clean & Gold. Harapannya wilayah binaan menjadi bersih dan nyaman juga kekinian, sebagai kerja nyata Pegadaian dekat dengan masyarakat.
“Kelurahan Menteng Atas terpilih sebagai salah satu kelurahan binaan Pegadaian, melalui program CSR yang kita jalankan. Dengan kerja sama ini, kami berharap, masyarakat akan lebih tertarik terhadap produk-produk Pegadaian, dan menjadi nasabah loyal Pegadaian,” tegasnya.
Melalui program Pegadaian Bersih-Bersih itu pula, Pegadaian semakin menegaskan manfaat kehadirannya sebagai BUMN yang Hadir untuk Negeri dalam rangka kepedulian terhadap lingkungan, serta memeratakan kesejahteraan ekonomi di seluruh daerah di Indonesia. (m.kurniawati)