26.2 C
Jakarta

Jadikan Hari Kartini Bukan Hanya Momen Nostalgia

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Hari Kartini seharusnya bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi ruang refleksi untuk mempertanyakan bagaimana gender, pengetahuan, dan kekuasaan saling terkait dalam dunia akademis. Sosok Kartini bukan hanya memperjuangkan akses perempuan terhadap pendidikan, tetapi juga memperjuangkan martabat, kesetaraan, dan kemerdekaan berpikir bagi perempuan.

 

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dra. Yayah Khisbiyah, M.A., menegaskan seruannya untuk emansipasi wanita bukan hanya tentang akses terhadap pendidikan, tetapi juga tentang pembongkaran sistem represif yang membungkam dan meminggirkan suara perempuan dan suara kelompok minoritas maupun marginal.

 

Menurutnya, legasi atau warisan R.A. Kartini melalui tulisan-tulisannya dan visinya untuk emansipasi wanita memberikan wadah untuk mengkritik bagaimana struktur kolonial dan patriarki terus membentuk lembaga pendidikan.

 

Kemudian apabila dilihat secara historis, Muhammadiyah mendukung pendidikan perempuan dan bersikap progresif atau berkemajuan, misalnya terbukti dengan mendirikan Aisyiyah pada tahun 1917, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

 

“Namun, pandangan kritis kita harus mempertanyakan: Bagaimana Muhammadiyah menafsirkan peran perempuan saat ini, dan apakah penafsiran ini berkembang? Jika semangat Kartini adalah tentang mempertanyakan sistem yang mengakar yang membatasi potensi perempuan, maka Muhammadiyah harus terus mengevaluasi kembali teologi dan ajaran sosialnya,” ungkap Yayah yang juga Sekretaris Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ahad (20/4/2025).

 

Yayah mempertanyakan, apakah hal itu memungkinkan adanya penafsiran ulang feminis (ijtihad) atas teks-teks Islam? Apakah hal itu memungkinkan kepemimpinan perempuan dalam wacana keagamaan dan pembuatan kebijakan? Keselarasan dengan semangat Kartini tidak terletakpada pujian-pujian yang menyanjung peran keibuan perempuan, tetapi pada reformasi yang dinamis dan berani melawankesemenaan kekuasaan.

 

“Bagi sivitas akademika di UMS, hari Kartini ini mengundang pertanyaan tentang pengetahuan siapa yang divalidasi, suara siapa yang diperkuat, dan kerja siapa yang tidak terlihat terutama kerja para dosen, mahasiswa, dan staf perempuan,” ujarnya.

 

Dalam konteks ini, lanjutnya, Hari Kartini bukan sekadar merayakan pahlawan nasional, tetapi panggilan untuk membongkar ketidakadilan epistemik dan menata kembali pendidikan sebagai ruang pembebasan bagi perempuan.

 

Menurutnya, meskipun telah terjadi peningkatan representasi secara jumlah angka bagi perempuan dalam peran kepemimpinan, sudut pandang kritis tetap harus ada: kepemimpinan seperti apa yang diizinkan dan dilegitimasi masyarakat? Apakah perempuan diharapkan untuk meniru gaya kepemimpinan maskulinitas dan patriarki? Apakah keputusan perempuan bersifat otonom, atau dibatasi oleh norma-norma pemerintahan maskulin?

 

”Saya memberikan saran seperti di kampus-kampus seperti UMS, dapat melakukan penunjukan pimpinan perempuan yang bersifat simbolis di tingkat Rektorat yang sampai saat ini belum pernah ada keterwakilan perempuan. Walaupun awalnya bisa saja karena alasan ‘memenuhi kuota perempuan’ tapi kebijakan ini dapat mengurangi bias gender sistemik,” tegasnya.

 

UMS, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, memiliki kesempatan dan tanggung jawab yang unik untuk menafsirkan kembali semangat Kartini melalui sudut pandang Islam dan Muhammadiyah. Perjuangan Kartini bukan hanya untuk mendapatkan akses pendidikan, tetapi juga untuk martabat intelektual, keadilan sosial, dan re-humanisasi perempuan. UMS dapat mewujudkan hal ini dengan menilai ulang secara kritis konten kurikulum, pedagogi yang peka gender, dan kebijakan kelembagaan.

 

Meskipun UMS mungkin memiliki berbagai inisiatif seperti pusat studi gender, organisasi mahasiswa, atau seminar-seminar Nasyiatul Aisyiyah (NA) dan Aisyiyah — semua itu harus dinilai secara kritis untuk mengetahui dampaknya. Menurutnya masih terdapat ruang pertanyaan, apakah program-program ini menjangkau mahasiswa perempuan yang terpinggirkan (misalnya, dari daerah pedesaan, penyandang disabilitas, dari kelompok minoritas)? Apakah program-program tersebut bergerak melampaui kesadaran untuk benar-benar menantang ketidaksetaraan, kepongahan kekuasaan, dan korupsi sistemik?

 

Tidak hanya itu, dampak seharusnya tidak diukur dari jumlah acara, tetapi dari perubahan kebijakan, sikap, dan sistem dukungan jangka panjang. Jaringan kepemimpinan perempuan, akses ke sumber daya kesehatan mental, dan program pengembangan kepemimpinan yang membahas interseksionalitas dapat menjadi alat utama dalam mewujudkan visi Perempuan berkemajuan ala Aisyiyah, yang notabene adalah visi Kartini juga.

 

Yayah menyatakan bahwa lembaga pendidikan tidaklah netral; mereka tertanam kuat dalam struktur kekuasaan. Karenanya, UMS harus bergerak lebih dari sekadar “memberikan akses” untuk menjadi lembaga yang secara aktif mendekonstruksi hambatan terhadap partisipasi penuh dan kemajuan perempuan. Ini termasuk memerangi kekerasan berbasis gender di kampus termasuk pelecehan seksual dalam berbagai bentuknya, menantang bias gender dalam evaluasi dan promosi, dan menumbuhkan kesadaran kritis.

 

“Lebih jauh, kurikulum harus berpusat pada pengalaman hidup perempuan, terutama mereka yang terpinggirkan. Mendukung pendidikan perempuan, dalam semangat Kartini, berarti membina agen perubahan sosial—bukan hanya menghasilkan lulusan dan alumni UMS yang patuh pada birokrasi dan kekuasaan yang mempertahankan status quo,” tegasnya.

 

Dalam ruang akademik UMS, semangat ini seharusnya diwujudkan melalui keberanian untuk mengkritisi kurikulum, kebijakan kampus, dan budaya organisasi yang masih patriarkal.

 

Dosen UMS itu berpesan agar semangat Kartini harus menjadi bahan bakar untuk perubahan struktural, bukan sekedar romantisme sejarah. Hari Kartini seharusnya menjadi momen refleksi kritis dan aksi nyata. Sebuah ajakan untuk mengubah institusi pendidikan menjadi ruang pembebasan, bukan hanya reproduksi ketimpangan.

 

Perlu langkah nyata dalam kurikulum, dalam budaya kampus, dalam kebijakan yang menjadikan kampus ini ruang humanisasi dan pembebasan atau liberal bagi semua, terutama perempuan, dalam spirit transendensi Ilahiyah.

 

Mari jadikan Hari Kartini bukan hanya sebagai momen nostalgia, tetapi panggilan untuk bergerak. Untuk membangun ruang akademik yang adil, kritis, memanusiakan, dan memerdekakan di kampus-kampus Muhammadiyah dan Aisyiyah, dan di Tengah Masyarakat serta pemerintahan. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!