JAKARTA, MENARA62.COM – Persepsi keliru mengenai anak sehat adalah anak yang gemuk, menimbulkan masalah kesehatan pada anak dan balita.
Perlu adanya perubahan pemahaman di masyarakat bahwa anak yang gemuk belum tentu sehat. Persepsi keliru ini menjadi salah satu penyebab masalah gizi pada anak.
“Dahulu masyarakat bangga punya anak gemuk, pipinya montok. Tapi saat anaknya sudah besar malu ingin kurus, tapi susah”, ujar Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes, Ir Doddy Izwardi, MA melalui siaran pers yang diterima Menara62.
Doddy juga menyarankan agar penggunaan bahasa yang tepat perlu dilakukan saat pengukuran untuk pemantauan pertumbuhan anak di Posyandu dan Puskesmas.
“Biasanya sering digunakan istilah sangat sehat bagi anak yang gemuk sekali, ini harus diperbaiki. Obesitas pada anak perlu diperhatikan. Jangan sampai kesenangan kita sebagai orang tua justru akan merugikan bayi atau Balita kita di masa mendatang”, kata Doddy.
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2013) menyebutkan bahwa prevalensi balita gemuk menurut BB/TB pada anak usia 0-59 bulan sebesar 11,8 persen. Sedangkan data survei pemantauan status gizi (PSG, 2015) menyatakan bahwa prevalensi balita gemuk menurut BB/TB usia 0-59 bulan sebesar 5,3 persen.
Sementara WHO menyebutkan, suatu negara tidak dikatakan memiliki masalah balita gemuk jika indikator balita gemuk berada di bawah 5 persen.
Menurut Doddy, angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami masalah gizi balita gemuk.
Berdasarkan laporan gizi global atau Global Nutrition Report (2014), Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang memiliki 3 permasalahan gizi sekaligus, yaitu stunting (pendek), wasting (kurus), dan overweight (obesitas).
Dengan kondisi ini, orangtua perlu memahami bahwa bayi dan anak yang kelebihan berat badan bahkan obesitas, mendatangkan risiko kesehatan. Selain terjadi penumpukan lemak, bayi dan anak yang obesitas juga berisiko terkena penyakit tidak menular (PTM).