25.6 C
Jakarta

Jebakan Medsos, Antara Niat Baik dan Kenaifan Berpikir

Baca Juga:

Oleh Roni Tabroni

Selain memiliki acount media masing-masing, hampir bisa dipastikan setiap orang tergabung dalam grup. Media sosial menyediakan sarana interaksi masyarakat dalam komunitas maya.

Kehidupan masyarakat dalam grup media sosial menemukan kepuasannya ketika setiap orang dengan bebas menyampaikan apapun yang ingin dibaginya. Dalam ruang maya setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Status sosial begitu terkikis, tidak ada senioritas, bahkan struktur keluarga pun menjadi lebur.

Dalam ruang yang semakin lebar itu, manusia disuguhkan pada karakteristik media sosial yang khas. Setidaknya ada dua ciri khas ruang media sosial yang berakibat pada pola komunikasi yang begitu bebas, pertama, media sosial menghilangkan sekat perbedaan. Bahkan pada sisi ini media sosial menghilangkan jenjang, baik pendidikan, status sosial, tua-muda, senior-junior, termasuk profesi dan gender.

Pada wilayah ini media sosial membangun ruang demokrasi yang memungkinkan orang memiliki kesempatan bersuara, walaupun di dunia nyatanya merek tidak menemukan kebebasan itu. Ruang maya telah menyejajarkan manusia sehingga tidak segan orang berbicara dengan bahasanya masing-masing.

Kedua, media sosial menghilangkan kendali struktur. Kita hanya mengenal admin dalam media sosial, itu pun bukan berarti bahwa dirinya adalah pemimpin. Semua orang dalan ruang media sosial bersifat sejajar. Ini pula yang menyebabkan tidak ada orang yang berhak untuk menjadi yang paling penting. Tidak bisa juga satu orang ngatur-ngatur yang lain.

Media sosial semakin cair ketika setiap orang merasa merdeka di dalamnya. Jika merek masih nyaman bisa tetap ada didalamnya, tetapi ketik sudah tidak berkenan, kapan saja bisa keluar. Walaupun untuk grup-grup tertentu tidak setiap orang bisa keluar semaunya, tetapi setidaknya fasilitas itu disediakan.

Media sosial memberikan ruang demokrasi yang dapat memanusiakan siapa saja tanpa kecuali. Mereka yang pendiam bisa tiba- tiba aktif, yang berpendidikan rendah bisa menyampaikan pesan-pesan cerdas, mereka yang dangkal pengetahuan agamanya bisa membagi dalil-dalil dan wawasan agama, mereka yang serius bisa tiba-tiba sok humoris, bahkan orang yang otoriter dan sombong bisa mengesankan bijak dengan mengepost pesan-pesan berisi hikmah.

Kepuasan seseorang dalam ruang maya seperti ini ketika eksistensinya dihargai pihak lain walaupun hanya diberi jempol atau dicoment alakadarnya. Terlebih jika apa yang disampaikannya kemudian menjadi topik bahasan anggota yang lain.

Media sosial kemudian berubah menjadi mimbar bebas yang memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menyampaikan orasinya. Kesempatan itu tidak ditemukan pada ruang nyata hatta pada pertemuan keluarga sekalipun. Dalam pertemuan keluarga, senioritas sangat terasa, anak-orang tua jelas berbeda, orang yang merasa sukses bisa saja sangat dominan, tetapi pertemuan di ruang maya semuanya menjadi sama.

Keberadaan grup media sosial motifnya sama, pilihannya tidak banyak, jika bukan urusan pekerjaan, paling umum adalah sebagai sarana silaturahim. Grup media sosial menjadi alternatif pertemuan di tengah kesibukan dan jarak yang membuat seseorang semakin langka berkumpul secara fisik.

Hikmah paling penting dalam pertemuan virtual itu ketika setiap orang dapat berbagi kebaikan satu sama lainnya. Setiap orang dapat saling mengingatkan, selain ber kabar tentang kondisi keseharian. Setiap orang juga dapat saling menginformasikan apa yang sedang dilakukannya, selain berbagi duka dan saling mengucapkan bela sungkawa.

Karena jarang sekali menampakkan muka dan gestur tubuh, media sosial sebenarnya menyembunyikan sikap, sifat dan karakter orang secara jelas. Terlalu sulit juga membedakan antara suka, duka, atau apresiasi. Kesenangan bercanda misalnya akan terpotong oleh berita duka hanya sejenak, selanjutnya setiap orang akan kembali pada situasi ceria dan semua akan baik-baik saja.

Media sosial sebenarnya multi wajah. Bagaiamana tidak, setiap orang dapat menjadi bagian dari grup yang sangat baik-baik, didalamnya berisi konten-konten kebaikan, penuh hikmah, edukasi, wawasan dan inspirasi. Tetapi satu sentuhan jari saja, sesorang bisa berada dalam ruang (klik, grup) yang antah berantah. Sebuah dunia yang 180 derajat berbeda. Di sana terdapat konten-konten jorok, kata-kata kasar, vulgar, dan nihil edukasi.

Akhirnya media sosial mencerminkan manusia seutuhnya, dia dapat menjadi malaikat pada satu sisi, tetapi pada sisi yang lain menyimpan potensi kejahatan, keburukan, dan kevulgaran yang tidak kepalang.

Jika saja media sosial kita ibaratkan panggung, maka media sosial menampilkan keduanya yaitu panggunh depan dan panggung belakang. Sebab pada grup yang satu seseorang bisa berkirim konten positif, tetapi di grup yang lainnya senantiasa berbagi konten negatif. Entah mana habitat aslinya, hanya dirinya yang tahu. Hingga akhirnya kita pun terkadang terjebak, sebenarnya orang ini baik atau tidak, sebab kita hanya menjadi bagian dari salah satu panggung tersebut.

Celakanya, media sosial juga menyediakan ranjau-ranjau berfikir yang cukup berbahaya. Dibalik kemudahan berbagi informasi, di sana ada fasilitah re-post dan re-share yang cukup mengganggu. Seperti anugerah tetapi menjadi lubang yang dapat menjebak manusia-manusia malas berpikir untuk bergagah-gagah dengan kegiatan berbaginya.

Kecepatan gerakan ibu jari melebihi gerakan berpikir. Konten yang masuk, tanpa diverifikasi terlebih dahulu, langsung dicopy dan di bagikan di gruup tempat dimana kita ingin dikesankan paling cepat mengetahui sebuah informasi. Bahkan kita ingin dikesankan paling bijak dan cerdas ketika menemukan konten dari grup satu dan secepat kilat membagi kembali di grup lainnya.

Kemalasan mencerna sebuah konten juga tidak jarang memaksa seseorang untuk membagi konten tanpa terlebih dahulu dibaca secara tuntas. Kabar burung seolah-olah benar. Nasihat-nasihat yang tidak jelas argumentasinya disebarkan kembali sebanyak-banyaknya. Jika ada tulisan bernuansa agama, di dalamnya ada dalil-dalil, ingin cepat dibagi tanpa memverifikasi kesohihan sebuah dalil tersebut.

Perilaku masyarakat maya yang malas berfikir tetapi ingin dicitrakan berwawasan luas dan banyak informasi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak lain yang berniat jahat. Maka diproduksi lah kebohongan-kebohongan dengan massif. Dibungkuslah fitnah dengan argumen yang seolah-olah ilmiah, disertakan pula contoh-contoh agar terkesan rasional. Bahkan terkadang mengutif nama tokoh tertentu dan kata-kata mutiara agar orang tidak meragukannya.

Entah berapa banyak orang yang terjerat Undang-undang ITE. Rata-rata orang yang terjerat itu mengaku tidak tahu bahwa apa yang disebarkannya adalah bohong (hoax), dan sebagiannya lagi hanya iseng. Kalau begitu, mereka adalah korban. Korban dari keinginan berbuat baik tetapi pada saat yang sama dia malas berfikir dan tidak mau melakukan verifikasi terhadap sebuah informasi.

Abad teknologi yang semakin maju, tidak hanya membutuhkan niat baik seperti pada zaman batu. Kini diperlukan kecerdasan, mengenbangkan tradisi tabayyun, dan tidak mengumbar nafsu untuk selalu menjadi yang terbaik dan pertama.

Akhirnya setiap orang perlu mensikapi media sosial secara bijak, cerdas, proporsional, dan memahami segala rambu-rambunya, baik yang terkait dengan hukum positif juga etika dan budayanya. Karena tidak ada yang tahu sampai kapan media sosial ini ada, maka setiap orang tentu saja berhak tetap menikmatinya, cuma perlu satu hal saja, meningkatkan kewaspadaan.

(Penulis adalah Dosen Komunikasi USB YPKP dan UIN SGD Bdg, dan Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!