27.1 C
Jakarta

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU

Baca Juga:

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU

 

Namanya cukup singkat, Prawoto. Orang-orang biasa memanggilnya Woto, Kang Woto, atau Lek Woto. Laki-laki paroh baya itu kerjanya serabutan. Tidak punya pekerjaan tetap, tapi tetap bekerja. Dia rajin menawarkan tenaga dari rumah ke rumah untuk sekedar benerin genteng, nyapu halaman, nebang pohon, nyabuti rumput di halaman, bikin lubang pembuangan sampah, atau pekerjaan kasar apa pun yang penting dia bisa mendapatkan nafkah untuk istri dan 5 anaknya yang masih sekolah, bahkan ada yang masih balita.

 

Sudah beberapa tahun Bu Bei rutin setiap bulan memanggil Lek Woto untuk bersih-bersih halaman. Bila Bu Bei kebetulan lupa, istri Lek Woto yang kirim WA menanyakan ada pekerjaan apa untuk suaminya. Bila sudah ditanyai begitu, biasanya Bu Bei terus mencari-carikan pekerjaan untuk Lek Woto, meski kadang terkesan mengada-ada.

 

“Itu cara kita membantu keluarga Lek Woto. Anak-anaknya butuh makan dan sekolah,” begitu Bu Bei menjawab ‘komplain’ Pak Bei.

 

Seperti biasanya, pagi ini Lek Woto datang diantar istrinya naik motor sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Melihat kedatangannya, Bu Bei yang lagi ngobrol di teras dengan Pak Bei pun langsung turun ke halaman untuk mengarahkan pekerjaan yang perlu dilakukan Lek Woto dalam 2-3 hari ke depan.

 

“Bersihkan halaman ini dulu ya, Lek. Rumputnya kok cepat sekali tumbuhnya. Jadi kotor dan njembrung begini,” kata Bu Bei.

 

“Injih, Bu Bei. Rumput teki  memang begitu. Akarnya sangat kuat dan bandel.

Gak cocok untuk hiasan halaman,” jawab Lek Woto.

 

“Apa harus pakai obat rumput, Lek?”

 

“Diobati juga gak mempan kok, Bu Bei.”

 

“Lha terus gimana solusinya?”

 

“Kalau rumah tetangga saya pakai rumput jepang, Bu Bei. Setelah rumput teki dibersihkan, sela-sela paving ditanami rumput jepang. Setelah tumbuh jadi bagus kelihatannya.”

 

“Sebenarnya kalau sudah dipasangi paving yang gak perlu rumput lagi, Lek.”

 

“Itu untuk menghambat suket teki kok, Bu Bei,” jawab Lek Woto.

 

“Ah sudahlah, Lek. Yang penting hari ini bersihkan dulu rumput-rumput liar itu, ya.”

 

“Baik, Bu Bei. Siap.”

 

Kang Narjo si loper koran datang. Seperti biasanya, setelah melemparkan koran ke lantai, dia pun sok akrab dulu dengan Pak Bei atau Bu Bei, mengomentari apa saja yang mengganggu pikirannya, atau curhat tentang masalah yang terjadi di kampungnya. Pagi ini, melihat Bu Bei sedang memperhatikan Lek Woto mencabuti rumput teki, Kang Narjo pun seolah mendapatkan tema obrolan.

 

“Rumput teki memeng mengganggu ya, Bu Bei,” kata Kang Narjo.

 

“Iya, Kang Narjo. Bandel banget. Cepat sekali tumbuhnya. Sudah dipaving pun tetap bisa nembus sela-selanya.”

 

“Harus ganti rumput, Bu Bei.”

 

“Maksudnya?”

 

“Pantesnya nDalem Pak Bei jangan dipaving, tapi pakai rumput yang standar stadion Internasional. Dilihat tampak bagus, dipakai bermain anak-anak pun nyaman.”

 

“Harus impor, Kang? Pasti mahal harganya.”

 

“Gak usah pakai yang impor, Bu Bei. Pakai yang 100% produk lokal juga ada.”

 

“Memangnya ada rumput lokal yang standar Internasional?”

 

“Wah Bu Bei ini pasti gak pernah baca koran. Gak ngikuti berita panas seputar Jakarta International Stadium.”

 

“Saya malas baca berita politik, Kang. Bikin hati gak tenang.”

 

“Ya tapi soal rumput stadion ini menarik, Bu Bei.”

 

“Apa menariknya?”

 

“Rumput lapangan bola itu dianggap tidak layak, tidak memenuhi standar FIFA, maka harus diganti total. Tiga menteri sudah turun memeriksa ke sana, melihat rumput itu. Tapi lucunya, pernyataan tidak layak itu ternyata berdasar informasi dan penilaian dari penjual rumput lapangan golf.”

 

“Ah, orang bisnis memang sukanya begitu ya, Kang. Kecap saya yang nomor satu. Meninggikan mutu dagangannya dengan menjelekkan dagangan orang lain.”

 

“Padahal, Bu Bei, stadion itu sudah pakai rumput hybrid, lho. Rumput syntetis Limonta dari Italy 5% dimix dengan rumput Zoisia Matrella dari Boyolali yang 95%. Dan itu sudah sesuai standar FIFA.”

 

“Loh, 95% rumput dari Boyolali?”

 

“Iya, Bu Bei. Bener.”

 

“Lha kok elok temen orang Boyolali.”

 

“Itulah, Bu Bei, tapi kita ini terlanjur silau dengan apa saja yang diimpor dari luar negeri. Ada rumput jepang, ayam bangkok, perkutut bangkok, jambu bangkok, pepaya thailand atau california, dan sebagainya. Padahal produk lokal kita tidak kalah bagusnya.”

 

“Ya sudah, tolong Kang Narjo carikan alamat pembudidaya rumput di Boyolali itu. Kapan-kapan akan kuajak Pak Bei melihat ke sana. Kalau memang bagus dan harganya terjangkau, bisa saja paving ini nanti kita bongkar dan diganti rumput Boyolali.”

 

“Siap, Bu Bei. Saya pamit dulu, ya. Melanjutkan tugas negara…,” Kang Narjo berpamitan dengan gayanya yang khas, sambil pringas-pringis.

 

#serialpakbei

#wahyudinasution

#rumputtetanggalebihhijau

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU

Namanya cukup singkat, Prawoto. Orang-orang biasa memanggilnya Woto, Kang Woto, atau Lek Woto. Laki-laki paroh baya itu kerjanya serabutan. Tidak punya pekerjaan tetap, tapi tetap bekerja. Dia rajin menawarkan tenaga dari rumah ke rumah untuk sekedar benerin genteng, nyapu halaman, nebang pohon, nyabuti rumput di halaman, bikin lubang pembuangan sampah, atau pekerjaan kasar apa pun yang penting dia bisa mendapatkan nafkah untuk istri dan 5 anaknya yang masih sekolah, bahkan ada yang masih balita.

Sudah beberapa tahun Bu Bei rutin setiap bulan memanggil Lek Woto untuk bersih-bersih halaman. Bila Bu Bei kebetulan lupa, istri Lek Woto yang kirim WA menanyakan ada pekerjaan apa untuk suaminya. Bila sudah ditanyai begitu, biasanya Bu Bei terus mencari-carikan pekerjaan untuk Lek Woto, meski kadang terkesan mengada-ada.

“Itu cara kita membantu keluarga Lek Woto. Anak-anaknya butuh makan dan sekolah,” begitu Bu Bei menjawab ‘komplain’ Pak Bei.

Seperti biasanya, pagi ini Lek Woto datang diantar istrinya naik motor sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Melihat kedatangannya, Bu Bei yang lagi ngobrol di teras dengan Pak Bei pun langsung turun ke halaman untuk mengarahkan pekerjaan yang perlu dilakukan Lek Woto dalam 2-3 hari ke depan.

“Bersihkan halaman ini dulu ya, Lek. Rumputnya kok cepat sekali tumbuhnya. Jadi kotor dan njembrung begini,” kata Bu Bei.

“Injih, Bu Bei. Rumput teki memang begitu. Akarnya sangat kuat dan bandel.
Gak cocok untuk hiasan halaman,” jawab Lek Woto.

“Apa harus pakai obat rumput, Lek?”

“Diobati juga gak mempan kok, Bu Bei.”

“Lha terus gimana solusinya?”

“Kalau rumah tetangga saya pakai rumput jepang, Bu Bei. Setelah rumput teki dibersihkan, sela-sela paving ditanami rumput jepang. Setelah tumbuh jadi bagus kelihatannya.”

“Sebenarnya kalau sudah dipasangi paving yang gak perlu rumput lagi, Lek.”

“Itu untuk menghambat suket teki kok, Bu Bei,” jawab Lek Woto.

“Ah sudahlah, Lek. Yang penting hari ini bersihkan dulu rumput-rumput liar itu, ya.”

“Baik, Bu Bei. Siap.”

Kang Narjo si loper koran datang. Seperti biasanya, setelah melemparkan koran ke lantai, dia pun sok akrab dulu dengan Pak Bei atau Bu Bei, mengomentari apa saja yang mengganggu pikirannya, atau curhat tentang masalah yang terjadi di kampungnya. Pagi ini, melihat Bu Bei sedang memperhatikan Lek Woto mencabuti rumput teki, Kang Narjo pun seolah mendapatkan tema obrolan.

“Rumput teki memeng mengganggu ya, Bu Bei,” kata Kang Narjo.

“Iya, Kang Narjo. Bandel banget. Cepat sekali tumbuhnya. Sudah dipaving pun tetap bisa nembus sela-selanya.”

“Harus ganti rumput, Bu Bei.”

“Maksudnya?”

“Pantesnya nDalem Pak Bei jangan dipaving, tapi pakai rumput yang standar stadion Internasional. Dilihat tampak bagus, dipakai bermain anak-anak pun nyaman.”

“Harus impor, Kang? Pasti mahal harganya.”

“Gak usah pakai yang impor, Bu Bei. Pakai yang 100% produk lokal juga ada.”

“Memangnya ada rumput lokal yang standar Internasional?”

“Wah Bu Bei ini pasti gak pernah baca koran. Gak ngikuti berita panas seputar Jakarta International Stadium.”

“Saya malas baca berita politik, Kang. Bikin hati gak tenang.”

“Ya tapi soal rumput stadion ini menarik, Bu Bei.”

“Apa menariknya?”

“Rumput lapangan bola itu dianggap tidak layak, tidak memenuhi standar FIFA, maka harus diganti total. Tiga menteri sudah turun memeriksa ke sana, melihat rumput itu. Tapi lucunya, pernyataan tidak layak itu ternyata berdasar informasi dan penilaian dari penjual rumput lapangan golf.”

“Ah, orang bisnis memang sukanya begitu ya, Kang. Kecap saya yang nomor satu. Meninggikan mutu dagangannya dengan menjelekkan dagangan orang lain.”

“Padahal, Bu Bei, stadion itu sudah pakai rumput hybrid, lho. Rumput syntetis Limonta dari Italy 5% dimix dengan rumput Zoisia Matrella dari Boyolali yang 95%. Dan itu sudah sesuai standar FIFA.”

“Loh, 95% rumput dari Boyolali?”

“Iya, Bu Bei. Bener.”

“Lha kok elok temen orang Boyolali.”

“Itulah, Bu Bei, tapi kita ini terlanjur silau dengan apa saja yang diimpor dari luar negeri. Ada rumput jepang, ayam bangkok, perkutut bangkok, jambu bangkok, pepaya thailand atau california, dan sebagainya. Padahal produk lokal kita tidak kalah bagusnya.”

“Ya sudah, tolong Kang Narjo carikan alamat pembudidaya rumput di Boyolali itu. Kapan-kapan akan kuajak Pak Bei melihat ke sana. Kalau memang bagus dan harganya terjangkau, bisa saja paving ini nanti kita bongkar dan diganti rumput Boyolali.”

“Siap, Bu Bei. Saya pamit dulu, ya. Melanjutkan tugas negara…,” Kang Narjo berpamitan dengan gayanya yang khas, sambil pringas-pringis.

#serialpakbei
#wahyudinasution
#rumputtetanggalebihhijau

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!