Tahun 80, awal saya bergabung di HMI. Mungkin ketularan dari empok saya sebagai Ketua Kohati HMI Cabang Ciputat, tempat ia kuliah di Fakultas Syariah IAIN Syarifhidayatullah (kini UIN) Jakarta.
Bang Azyumardi, bagi saya saat itu bukan orang baru yg saya lihat. Kenapa, jauh masa SMA saat saya aktif di OSIS dan bergaul dengan anggota Pelajar Islam Indonesia (PII), sebelum kuliah dan bergabung di HMI pernah jumpa beliau. Abang yang “kalem”, “tenang”, dan “dingin” ini, pernah bertandang ke rumah orangtua di kawasan Jln Saharjo Manggarai, dengan konco HMI lainnya. Ada mas Komaruddin Hidayat, Mas Fifif Rivai Hasan, almarhum Iqbal Saimima (wartawan Panji Masyarakat), bang Soleh, almarhum Bachtiar Effendi, mereka sesama aktivis HMI Ciputat. Sama-sama “pemuda dari daerah” masuk Jakarta, yah taulah penampilannya. Istilah kita yang lama tinggal di Jakarta, ndeso dan culun.
Saya kemudian lebih tahu dan berkesan dengan almarhum itu di tahun 1981, sebagai anggota HMI Cabang Jakarta yang bernarkas di Cilosari. Ketika itu, baru saja tiga bulan ikut LDK (kini LK1) di HMI Rayon Menteng bulan november 1980. Saat itu sulit untuk langsung ikut Intermedite Training (kini LK2) jika baru usai LK1.
Diam diam, karena HMI IAIN Cabang Ciputat mengadakan LK1 dan LK2, seingat saya sekitar Februari, maka bergabunglah saya. Dalam satu session materi almarhum Azyumardi bersama Bang Ahmad Zaqi Siraj (Ketua Umum PB HMI) saat itu. Bujang minang ini beda, tak seperti senior HMI lainnya yang jika bicara dihadapan adik adik berapi-api, kadang over acting. Yah maklumlah, mungkin “senang dapat simpatik dari adik adik anggota baru”, sebagai aktivis harap bisa dipahami.
Bang Azyumardi, adalah sosok sedikit kader HMI yang ‘kalem’, ‘tenang’, ‘dingin’ dengan ‘wajah serius’, bahkan terkesan “lelah”. Raut muka almarhum itulah yang membuat berkesan. Abang almarhum Azyumardi ini, bicaranya satu, dua kata saja, memang hati hati. Boleh dikatakan “otak dulu bekerja baru bicara”.
Saya kagum sebagai aktivis HMI, karena banyak kenal teman sejawat dan senior, namun tipikal Abang Azyumardi sama seperti Nurcholish Majid, gaya bicara datar “terkesan tidak menarik” tapi bila kita ikuti seksama, ucapannya ber’-nas. Tak heranlah, bila abang ini bukan saja Profesor, tapi..produktif dalam menulis, dan kritis dalam meresonansikan gagasannya di ruang publik.
Saya kemudian jumpa beberapa kali dengan almarhum di LP3ES, ketika baru terpilih sebagai peserta terbaik di LK 2 HMI Cabang Ciputat. Almarhum Azyumardi dan Mas Fifif Rivai, serta bang Komaruddin ngajak saya bergabung ikut pelatihan jurnalis, bedah buku, dan menjadi tenaga lapangan untuk penelitian. Sungguh ini kenangan berharga buat saya.
Almarhum menjadi mentor. Ia mengajarkan bagaimana cara menulis ilimiah populer, cara bedah buku, resensi dan meliput suatu peristiwa.
Di LP3ES kawasan Slipi itu juga, saya dukenalkan dengan Cak Nur, Gusdur, Johan Effendi, dan lainnya. Saya “anak kencur” ketika itu, mereka para senior orang hebat dan berintegritas.
Bang Azyumardi, waktu mu telah berlalu, karyamu kukenanng selalu. Satu hari di tahun 2022. Bang Azyumardi diundang bicara sebagai nara sumber, saya disampingnya juga sebagai nara sumber.
Kenangan itu indah, Bang Azyumardi selamat jalan, semoga abang bangga, adikmu “si anak kencur pencuri pengalaman dari abang” pernah disisimu dalam 2-3 forum ilmiah sama sama sebagai pembicara.
Selamat jalan Bang lentera ilmu dari mu adalah Insya Allah menjadi penerang kuburmu. Doa kami terhamparkan buat abang.
Pojok Mushola, Parak pagi ini.
Penulis: Firdaus Syam
Pagar Alam, (21/9/22)