JAKARTA, MENARA62.COM – Munculnya fenomena baru dalam persoalan hukum di Indonesia yakni No Viral No Justice penting untuk diwaspadai. Fenomena tersebut menurut Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, menjadi semacam tanda bahaya bagi kebangsaan kita kalau public distrust atas hukum menguat, karena rakyat tidak lagi berharap hukum akan dapat melindungi hak dasar dan kepentingan mereka.
“Dalam kondisi demikian, hukum potensial gagal menjadi instrumen kebangsaan yang melemahkan kesatuan kita dalam keindonesiaan,” kata Pontjo pada serial Fokus Group Discussion (FGD) Kembali Ke Fitrah Cita Negara yang mengambil topik “Mempersoalkan Paradigma Hukum Nasional: Mewujudkan Negara Hukum Pancasila” pada Jumat (13/12/2024).
FGD yang dimoderatori Dr. Manuel Kaisiepo, S.IP. MH tersebut menghadirkan narasumber Prof. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Andy Omara Ph.D, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Menurut Pontjo, terdapat persoalan yang lebih mendasar yang dijumpai pada praktik hukum di Indonesia, di mana Pancasila sebagai cita hukum atau rechtsidee, sebagai norma dasar atau grundnorm, dan sebagai ruh hukum dasar atau spirit of constitution, belum sungguh-sungguh menjadi panduan dalam pembentukan sistem hukum nasional.
Diakui Pontjo, di ranah substansi hukum, banyak Undang-Undang yang dipersoalkan karena hanya berpihak pada kepentingan elite dan meminggirkan hak-hak dasar rakyat, misal hak ulayat masyarakat adat. “Pada ranah penegakan hukum teramat sering kita mendengar grievance bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” katanya.
Pontjo mengingatkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, rechstaat, bukan negara kekuasaan, machstaat. Sebagai negara hukum dan sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia tentunya secara ideal dan faktual memiliki sistem hukum nasionalnya sendiri yang berbasis pada jatidiri dan kepribadian bangsa, filosofi, dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat Indonesia sendiri, yang semuanya terkristal dalam Pancasila.
Pada aras ideal, sistem hukum negara Indonesia berdiri di atas Pancasila sebagai norma dasar (grund norm), sehingga jika menemukan hal-hal yang mesti kita pertanyakan pada aras faktual, maka dasar untuk ‘kembali’, mempersoalkan, dan memperbaikinya adalah dengan merujuk pada Pancasila. Sebab, Pancasila di samping sebagai sumber hukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of ethics) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila merupakan dasar filosofis (philosofische grondslag), ideologi negara, norma fundamental negara (staatfundamental norm), dan sebagai sumber segala sumber hukum. Pancasila juga adalah Cita Hukum (Rechtsidee) Indonesia.
Pancasila lanjut Pontjo, merupakan ruh bagi hukum dasar kita (the spirit of the constitution), yang mengalami penumbuhan atau embodiment dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis. “Dengan demikian, Pancasila menjadi paradigma sistem hukum nasional, yang menjiwai substansi, kerangka sistem hukum nasional, dan dalam derivasi ke dalam peraturan perundangan-undalangan pada tingkat yang lebih rendah serta implementasinya,” katanya.
Dalam rumpun pengetahuan, teori, dan filsafat hukum, kata Pontjo, dikenal doktrin bahwa hukum merupakan instrumen untuk melakukan rekayasa sosial, law as tool of social engineering, sebagaimana keyakinan para ahli dalam mazhab hukum sosiologis, yang dipelopori utamanya oleh Roscoe Pound. Mazhab hukum ini mengajarkan bahwa tatanan ideal masyarakat harus dibentuk dan dilahirkan melalui hukum. “Jadi hukum memiliki fungsi manufacturing dan membentuk tatanan sosial,” jelas Pontjo.
Namun, aspek yang jarang sekali diperbincangkan dalam dunia akademik dan praksis hukum di Indonesia adalah bahwa hukum merupakan instrumen kebangsaan. Hukum idealnya memiliki fungsi untuk memperkuat keindonesiaan dan peradaban sosial bangsa Indonesia.
“Oleh karena itu, sangat relevan lagi urgent, untuk merefleksikan paradigma hukum nasional Indonesia, apakah ia semata-mata dibangun berdasarkan warisan kolonialisme Belanda yang visi utamanya mewujudkan ketertiban umum dalam sebuah koloni untuk menunjang agenda-agenda kolonialisme, ataukah kita sudah secara serius mengikhtiarkan agar paradigma hukum kita diikhtiarkan untuk mengokohkan kebangsaan Indonesia dan bervisi pada upaya untuk membangun bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” terangnya.
Jika mencermati substansi, struktur, dan kultur hukum di Indonesia, menurut Pontjo, banyak hal yang masih harus diupayakan. Agenda untuk memperbarui hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai dan jatidiri bangsa Indonesia masih harus terus dilakukan. Namun dalam kenyataannya hingga kini, untuk sebagian besarnya, Indonesia masih mewarisi paradigma civil law dari hukum kolonial Belanda.
Adopsi Tradisi Common Law
Memang dalam perkembangannya Indonesia juga mengadopsi sebagian unsur dari tradisi common law, terutama prinsip rule of law. “Namun dalam praktiknya yang lebih dominan dalam dunia hukum kita adalah karakter civil law tersebut,” tegasnya.
Paradigma civil law diimplementasikan melalui tradisi hukum positivistik, legal-formal, terikat pada teks UU sebagai sumber hukum, dan mengedepankan kepastian hukum. Tradisi ini cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tradisi positivis menganggap hukum yang dibentuk oleh penguasa secara legal-formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertulis (legislated law) merupakan satu-satunya sumber hukum. Ruang bagi hukum yang hidup di tengah masyarakat tidak banyak diakomodasi.
“Betul bahwa sudah ada upaya untuk mengakomodasi secara sporadis hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, living law, dalam KUHP baru kita, namun secara umum hal itu tidak mengurangi kecenderungan utama hukum kita yang positivistik dan legal-formal,” lanjut Pontjo.
Ia menilai tradisi hukum yang terlalu positivistik dan legal formal akan sangat bias kekuasaan politik, karena seringkali produk hukum yang dihasilkannya cenderung menjadi corong kepentingan pembentuknya (yaitu eksekutif dan legislatif). Tradisi ini tentu saja berpijak pada salah satu doktrin utama bahwa hukum adalah produk politik dan dalam praktiknya hukum mudah tergelincir sebagai sarana legalisasi dan legitimasi kepentingan penguasa.
Pada kadar tertentu, hukum lalu menjadi instrumen kekuasaan. Hukum lalu dengan gampang dimanfaat sebagai alat penguasa yang sering disebut oleh teoritikus hukum kritis sebagai autocratic legalism. “Kecenderungan legalisme otokratis berkorelasi dengan merosotnya demokrasi serta pengabaian kedaulatan rakyat dan keadilan sosial kita,” tegasnya.
Indeks demokrasi dan tata kelola kedaulatan rakyat dan keadilan yang merosot ini kata Pontjo, yang ditandai dengan demokrasi ‘cacat’, flawed democracy, dan menyempitnya ruang warga, shrinking civic space, ternyata juga diikuti dengan stagnannya indeks negara hukum Indonesia. Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law) 2024 dari World Justice Project (WJP), indeks negara hukum Indonesia mengalami stagnasi alias jalan di tempat, sejak tahun 2015 dengan skor indeks 0,51 hingga tahun 2024 dengan skor 0,53.