JAKARTA, MENARA62.COM – Industri nasional sektor kesehatan dan farmasi hingga kini belum bisa tumbuh maksimal. Salah satu kendalanya adalah praktik mafia dalam negeri yang berkolaborasi dengan industri raksasa medis di luar negeri untuk mengendalikan industri ini.
“Praktik mafia yang melibatkan industri medis dari luar negeri ini membuat industri nasional seringkali hanya berfungsi sebagai penyalur dari produsen luar negeri untuk alat kesehatan. Termasuk juga dengan industri obat nasional yang bahan bakunya banyak dikendalikan oleh praktik mafia ini,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada Diskusi Serial Kebangsaan bertema Teknologi Kesehatan dan Farmasi yang digelar bersama-sama oleh Aliansi Kebangsaan, Aliansi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Forum Rektor Indonesia, yang digelar secara virtual, Jumat (18/9/2020).
Para mafia pemburu rente (rent seeking) pada sektor kesehatan dan farmasi tersebut lanjut Pontjo, disadari atau tanpa disadari, seringkali digunakan sebagai “proxy” oleh kekuatan global untuk menghancurkan Indonesia atau sekurang-kurangnya tidak ingin perekonomian Indonesia mandiri dan berdaulat.
Menteri BUMN kata Pontjo, beberapa waktu lalu juga yang mensinyalir adanya mafia di sektor perdagangan obat dan alat kesehatan ini. Akibat praktik mafia tersebut membuat Indonesia terus-menerus mengimpor bahan baku obat dan alat kesehatan.
Ditengarai, praktik ini adalah bagian dari mafia global di bidang medis, dan tidak mustahil bagian dari Perang G-IV. Mafia global ini, dikenal dengan sebutan “medical-industrial complex” yang diadopsi dari istilah “military-industrial complex”. Dominasi mafia medis ini sudah berlangsung cukup lama.
“Dan praktik mafia tersebut diduga masih terus berlangsung pada kondisi seperti sekarang ini di mana kita tengah menghadapi pandemi Covid-19,” kata Pontjo.
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit industri alat kesehatan dan obat dalam negeri, menurut Pontjo, penguasaan inovasi teknologi dalam sektor kesehatan dan farmasi harus menjadi perhatian kita semua secara sungguh-sungguh. Tujuannya agar Indonesia mampu meningkatkan ketahanan kesehatan (health security).
Saat ini ketahanan kesehatan Indonesia dalam berbagai indikator, masih di bawah Thailand, Malaysia dan Singapura. Meski dalam laporan “The Global Health Security Index” yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence pada tahun 2019 menempatkan Indonesia pada posisi 30 di dunia.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia Arif Satria mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki peluang sangat besar untuk mencapai kemandirian dalam bidang obat-obatan dan alat kesehatan. Sebab Indonesia memiliki sumber daya yang sangat besar seperti biodiversity dan produk laut yang sangat penting sebagai bahan baku obat-obatan.
Di samping itu, inovator-inovator alat kesehatan juga cukup banyak baik dari kalangan perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga riset. Sebagai contoh, pada pandemi Covid-19 ini terjadi lompatan inovasi yang sangat membanggakan karena lebih dari 50 inovator muncul dengan inovasi yang relevan.
“Dengan potensi yang kita miliki tersebut, seharusnya soal kemandirian obat kita nomer satu,” kata Arif.
Rektor Universitas YARSI Fasli Djalal mengemukakan keinginan dan harapan untuk mencapai kemandirian obat dan alat kesehatan sudah lama dicanangkan oleh pemerintah. Berbagai program dan kebijakan juga roadmap untuk mencapai kemandirian tersebut sudah disusun. Namun hingga kini kemandirian obat dan alat kesehatan masih jauh dari harapan.
Diakui industri obat dan alat kesehatan dalam negeri memang tubuh baik. Saat ini sekitar 72 persen farmasi dikuasai industri lokal, tetapi 95 persen bahan bakunya masih impor. Demikian juga untuk alat kesehatan, setiap tahun tumbuh rata-rata 12 persen. Hanya saha 90 persen bahan baku alat kesehatan juga masih impor.
Menurut Fasli, kemandirian alat kesehatan dan obat-obatan menjadi persoalan yang harus segera diatasi. Mengingat belanja produk alat kesehatan dan obat-obatan kita semakin hari semakin meningkat.
“Menjadi pelajaran berharga saat terjadi pandemi Covid-19, dimana kran impor tersendat, bagaimana kalang kabutnya industri farmasi dalam negeri untuk memperoleh bahan bakunya,” tutup Fasli.
Selain Fasli Djalal, FGD yang dimoderatori Mayjen TNI (pur) I Dewa Putu Rai juga menampilkan narasumber lain yakni Prof. Herawati Sudoyo Supolo, Pakar Biologi Molekuler, Mayjen TNI (Pur) Dr. Daniel Tjen, Staf Khusus Menteri Kesehatan, DR. Dr. I Gusti Nyoman Darmaputra, Ketua Industri Kesehatan BPP HIPMI dan Yudi Latif, Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan.