28.3 C
Jakarta

ARSSI: PMK 30 Tahun 2019 Rugikan Pasien dan Dokter

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menyatakan keberatannya terhadap Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 30 tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Jika tetap dilaksanakan, PMK yang terbit akhir September lalu tersebut tidak hanya akan merugikan masyarakat, tetapi juga rumah sakit dan kalangan dokter.

“Ya, kami dari asosiasi rumah sakit swasta keberatan dengan PMK nomor 30 tahun 2019 tersebut dengan berbagai alasan,” kata Sekjen ARSSI drg Iing Hermina di sela acara Thursday Morning Coffee, Kamis (10/10/2019).

Salah satunya adalah masalah penempatan dokter spesialis di rumah sakit. Berdasarkan PMK tersebut jelas Iing, maka nantinya jumlah dokter spesialis yang bisa praktik di rumah sakit tipe C hanya 4 dokter spesialis dasar dan 3 spesialis lain. Empat spesialis dasar yakni Spesialis Obgyn (kandungan), Spesialis Anak, Spesialis Penyakit Dalam dan Spesialis Bedah. Sedang 3 spesialis tambahan adalah Spesialis Ortopedi, Spesialis Mata dan Spesialis Paru.

Untuk rumah sakit tipe B, dlam PMK tersebut hanya boleh ada 4 spesialis dasar dan 7 spesialis tambahan lainnya atau spesialis penunjang. Padahal sebelumnya tidak ada pembatasan jumlah dokter spesialis di rumah sakit tipe C dan tipe B.

arssi
Sekjen ARSSI drg Iing Hermina

Pembatasan dokter spesialis di dua tipe rumah sakit tersebut menurut Iing sangat merugikan pasien. Sebab pasien tidak bisa lagi berobat untuk jenis-jenis penyakit tertentu di rumah sakit tipe D dan C. Untuk jenis penyakit tertentu mereka harus mencari rumah sakit tipe B dan rumah sakit tipe A yng mungkin lokasinya lebih jauh dari .

“Yang paling mudah adalah soal cuci darah atau hemodialisa. Selama ini hemodialisa bisa dilakukan di rumah sakit tipe D dan C. berdasarkan aturan tersebut, hemodialisa nantinya hanya boleh dilayani oleh rumah sakit tipe B. Karena dokter subspesialisnya yang semula bisa praktik di rumah sakit tipe C, sudah harus pindah ke rumah sakit tipe B,” lanjut Iing.

Selain pasien, jelas Ing, dokter juga menjadi pihak yang dirugikan dengan PMK nomor 30 tahun 2019 tersebut. Sebab nantinya dokter harus mencari rumah sakit yang baru setelah beberapa spesialis tidak diijinkan berpraktik di rumah sakit tipe C. Atau ada rumah sakit tipe C yang kelebihan jumlah dokter spesialisnya terpaksa harus melakukan pengurangan tenaga dokter alias PHK.

“Dokter spesialis syaraf, spesialis jantung dalam aturan tersebut tidak lagi bisa praktik di rumah sakit tipe C,” tukas Iing.

Ia mengatakan mestinya pemerintah memahami persoalan di lapangan. Bahwa tidak semua daerah memiliki rumah sakit tipe B dalam jumlah cukup. Jika tetap dipaksakan bisa jadi dokter dengan spesialis tertentu tidak mendapatkan rumah sakit untuk membuka praktik layanan pengobatan.

“Ada banyak daerah yang tidak memiliki rumah sakit tipe B atau kalaupun ada jumlahnya satu atau dua rumah sakit. Lalu mau dikemanakan dokter spesialis yang ada,” tambahnya.

Karena itu, ARSSI berharap pemerintah meninjau ulang PMK nomor 30 tahun 2019 tersebut. ARSSI juga meminta sejumlah pasal dilakukan revisi untuk mengakomodir kepentingan pasien, dokter dan rumah sakit. Seperti pasal yang mengatur keberadaan dokter gigi subspesialis.

Meski pemerintah memberikan tenggang waktu pemberlakukan PMK tersebut hingga setahun ke depan, tetapi Iing yakin jika tetap dipaksakan akan merugikan banyak pihak dan menimbulkan kehebohan.

Ia mengingatkan bahwa saat ini banyak rumah sakit tipe C yag memiliki fasilitas NICU/PICU, ICU dan memiliki teknologi CATH LAB. Jika nantinya dokter subspesialis tidak boleh membuka praktik di rumah sakit tipe C maka fasilitas dan alat kesehatan tersebut akan mubazir.

“Masyarakat juga pasti akan jauh lebih sulit mengakses layanan NICU/PICU, ICU dan layanan lainnya,” jelas Iing.

Karena itu selain adanya revisi sejumlah pasal, ARSSI juga meminta sebaiknya pemerintah menunda pemberlakukan PMK tersebut, atau membatalkan sama sekali.

Iing melihat diterbitkannya PMK nomor 30 tahun 2019 ada hubungan erat dengan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Tetapi tanpa ada penyesuaian tariff sesuai nilai aktuaria, PMK nomor 30 tahun 2019 tidak akan efektif menekan defisit BPJS Kesehatan.

Untuk diketahui saat ini 60 persen rumah sakit di Indonesia merupakan rumah sakit tipe C. Sedang rumah sakit tipe B ada ditingkat kabupaten dengan jumlah yang sangat terbatas. Dan tipe A biasanya ada ditingkat propinsi atau rumah sakit pendidikan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!