JAKARTA, MENARA62.COM–Tokoh masyarakat yang juga mantan Penjabat Bupati Mimika, Papua Athansius Allo Rafra mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan dampak sosial yang bakal terjadi pada ratusan ribu warga di wilayah itu jika kisruh soal masa depan PT Freeport Indonesia tidak segera diselesaikan secepatnya.
Seperti dilaporkan antaranews.com, Minggu (19/2/2017), Allo Rafra mengatakan pemerintah daerah dan masyarakat Mimika akan menjadi korban langsung jika Freeport tidak lagi beroperasi.
“Saya tidak melihat kepentingan lain, tapi saya melihat kondisi masyarakat Mimika nanti seperti apa jika masalah di Freeport ini terus berlarut-larut tanpa penyelesaian. Pengaruh Freeport terhadap kehidupan masyarakat dan pemerintah di Mimika sangat besar. Itu tidak bisa kita pungkiri,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah mengedepankan sikap bijaksana dalam menangani masalah PT Freeport terutama terkait perubahan status perusahaan tambang itu dari rezim kontrak karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Tolong pemerintah memikirkan solusi terbaik dalam menangani masalah yang terjadi di PT Freeport. Keputusan apapun yang dikeluarkan harus mempertimbangkan nasib puluhan ribu pekerja beserta keluarga mereka, juga masyarakat asli di Mimika yang menggantungkan hidup dari PT Freeport,” katanya.
Dengan tidak lagi mendapat izin ekspor selama satu bulan terakhir sejak 12 Januari 2017 dan telah berhenti berproduksi sementara sejak 10 Februari 2017, PT Freeport dipastikan tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pajak serta royalti kepada pemerintah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Padahal pajak dan royalti yang disumbangkan PT Freeport tersebut merupakan sumber penerimaan terbesar Kabupaten Mimika selaku daerah penghasil.
“Sudah pasti Mimika akan kehilangan penerimaan dalam jumlah yang sangat besar tahun ini terutama yang bersumber dari royalti dan bagi hasil pajak pertambangan,” ujar Allo Rafra yang juga pernah menjabat Ketua Komisi A DPRD Mimika itu.
Ketidakjelasan masa depan Freeport juga berdampak langsung bagi 32.200 karyawan yang bekerja di perusahaan itu. “Sekarang ada 32.200 karyawan yang bekerja di Freeport maupun perusahaan-perusahaan kontraktor serta privatisasinya. Kalau ditambah dengan keluarga (isteri dan anak-anak), sudah berapa banyak yang nanti jadi korban. Selama ini mereka menggantungkan hidup dari pekerjaan sebagai karyawan,” tutur Allo Rafra.
Dari pengalaman tahun 2011 saat Freeport berhenti beroperasi akibat mogok kerja ribuan karyawan yang digalang SPSI, menurut Allo Rafra, ada banyak pengalaman yang bisa diambil hikmahnya.
“Tahun 2011 ekonomi di Timika benar-benar lumpuh total. Orang ke bank mau cek uang, ternyata tidak ada uang gaji yang masuk. Kredit macet dimana-mana. Mau bayar rumah kontrakan saja susah. Ada banyak karyawan yang terpaksa harus jual segala aset mereka untuk bisa bertahan hidup. Apakah kita menginginkan kondisi seperti itu terjadi lagi sekarang,” tanya Allo Rafra.
Menurut dia, situasi dan kondisi yang terjadi di PT Freeport juga bisa memberikan dampak buruk bagi stabilitas keamanan secara keseluruhan di Mimika.
Adapun bagi warga asli Suku Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan di Mimika, keberlangsungan operasi pertambangan PT Freeport juga sangat membantu mereka, terutama dalam hal penyediaan layanan kesehatan gratis melalui Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika dan RS Waa-Banti Tembagapura.
Belum lagi soal masa depan dan kelanjutan program beasiswa bagi sekitar 800 pelajar dan mahasiswa Papua yang kini tersebar di berbagai kota studi di Indonesia, bahkan di luar negeri. “Kalau Freeport lumpuh dan tidak beroperasi lagi, siapa yang mau tanggulangi semua itu. Apakah pemerintah sanggup? Saya kira ini menjadi bom waktu yang harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah,” ujar Allo Rafra.
Terkait kisruh di PT Freeport Indonesia tersebut, Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan bahwa wacana PT Freeport Indonesia mengajukan persoalan kontrak ke arbitrase merupakan hak perusahaan itu.
“Namun pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apapun hasilnya, dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan,” katanya dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu (18/2/2017).
Jonan mengatakan langkah arbitrase tersebut jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah. “Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik asing maupun dalam negeri. Dalam hal pertambangan mineral logam, pemerintah tetap berpegangan pada UU Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.
Padahal, sesuai hasil pembahasan yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Freeport, pemerintah telah memberikan hak yang sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam enam bulan sejak IUPK diterbitkan.
“Namun Freeport menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku,” katanya.
Menurut Jonan, Freeport telah mengajukan rekomendasi ekspor dan disetujui pemerintah. Meski, menurut informasi yang beredar, Freeport juga menolak rekomendasi ekspor tersebut. “Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena pemerintah mendorong Freeport agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasikan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu dan BKPM,” katanya.
Jonan juga berharap Freeport tidak alergi dengan divestasi hingga 51 persen sesuai tercantum dalam KK pertama antara Freeport dan Pemerintah Indonesia dan juga ditegaskan dalam PP Nomor 1/2017.