28 C
Jakarta

Berupaya Hidup Sejahtera Di Daerah Transmigrasi Borneo

Baca Juga:

Dapat hidup sejahtera menjadi impian sebagian besar masyarakat, tidak terkecuali bagi sebagian orang dari beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah yang memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke luar Pulau Jawa.

Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, beberapa pemerintah kabupaten asal transmigran di Jawa Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Bulungan, sepakat bekerja sama menjalankan program transmigrasi dengan model “sharing” sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus pemerataan jumlah penduduk di Indonesia.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyediakan rumah dan akomodasi pemberangkatan transmigran di daerah transmigrasi, sedangkan Pemerintah Kabupaten Bulungan memberikan legalitas lahan transmigrasi serta memenuhi kebutuhan dasar transmigran lainnya, seperti air bersih, akses jalan, dan akses pendidikan, seperti dirilis Antara.

Bentuk kerja sama antarpemerintah daerah tersebut direalisasikan dengan memberangkatkan 100 kepala keluarga transmigran asal Provinsi Jawa Tengah ke Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Sepunggur, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, pada bulan Oktober 2016.

Selama 1,5 tahun sejak menetap di daerah transmigrasi, para transmigran mendapat bantuan jatah hidup berupa beras dan nonberas dari pemerintah pusat. Tiap transmigran yang terdiri atas suami dan istri mendapat jatah hidup beras sebanyak 24 kilogram. Jika memiliki dua anak, total bantuan beras yang diterima sebanyak 32 kilogram.

Selain bantuan jatah hidup, para transmigran juga mendapat satu unit rumah kayu dan lahan untuk bertani seluas 1 hektare. Jatah hidup nonberas, seperti ikan asin, telur, minyak goreng, garam, sabun cuci, kacang hijau, dan minyak tanah juga diberikan kepada para transmigran.

Mayoritas transmigran yang sudah menjalani program transmigrasi selama kurang lebih 8 bulan di Unit Permukiman Transmigrasi Sepunggur terlihat menanam padi dan berbagai sayuran, seperti cabai, singkong, daun bawang, dan terong.

Hasil yang diperoleh transmigran dari bercocok tanam tersebut relatif cukup menggembirakan, karena lahan yang diberikan pemerintah itu subur dan pengolahannya tidak memerlukan pupuk, bahkan mereka bisa memanen sayuran beberapa kali.

Panen Cabai

Para transmigran yang menanam cabai, pernah menjual hasil panennya dengan harga Rp 140 ribu per kilogram. Lokasi transmigrasi yang berada di aliran Sungai Kahayan dengan lebar ratusan meter dan bermuara di selat Pulau Tarakan dengan Bulungan, memungkinkan para transmigran memperoleh protein tambahan dari hasil memancing ikan tomang atau ikan gabus di saluran air depan rumah masing-masing saat air pasang.

Kendati demikian, hidup sebagai transmigran di Pulau Kalimantan bukan berarti tanpa permasalahan. Sunarno, transmigran asal Kabupaten Boyolal, Jawa Tengah, saat ditemui di Unit Permukiman Transmigrasi Sepunggur, Rabu (17/5/2017), berharap jatah hidup berupa beras bisa diterima secara teratur.

“Jatah hidup berupa beras sering terlambat, bahkan pada bulan April dan Mei 2017 belum kami terima hingga sekarang,” katanya.

Saat pengiriman jatah hidup berupa beras terlambat, dia bersama para transmigran lainnya mengaku membeli beras dari uang hasil menjual sayuran yang ditanam di lahannya.

“Kadang ada penjual sayur keliling yang membeli sayuran hasil panen kami, dibarter juga pernah,” ujarnya.

Selain keterlambatan penerimaan jatah beras, para transmigran juga menghadapi kendala berupa belum tersedianya aliran listrik, air pasang yang menggenangi lahan pertanian sehingga sedikit banyak memengaruhi hasil panen, akses jalan dan akses pendidikan yang masih minim.

Parman, transmigran asal Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berharap bisa segera menikmati fasilitas berupa aliran listrik secara penuh guna menunjang aktivitas pada malam hari.

“Kalau malam hari di sini, gelap sekali. Kalaupun ada rumah transmigran yang mendapat listrik, alatnya (panel tenaga surya) membeli sendiri,” katanya.

Menanggapi keluhan dari para transmigran tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah Wika Bintang yang melakukan kunjungan kerja ke Unit Permukiman Transmigrasi Sepunggur menjelaskan, keterlambatan pengiriman jatah hidup berupa beras itu karena ada revisi anggaran dari pemerintah pusat.

“Kami akan mencoba dorong pemerintah pusat agar pengiriman jatah hidup beras bisa lancar,” ujarnya.

Terkait dengan fasilitas listrik, Wika memastikan, para transmigran segera menikmati aliran listrik secara bertahap dengan adanya pengadaan listrik yang memanfaatkan tenaga matahari oleh pemerintah pusat dan akan dimulai pada tahun ini.

Permasalahan seputar air pasang yang menggenangi areal pertanian transmigran akan dilakukan solusi berupa pembuatan pintu-pintu irigasi dan pencetakan sawah.

Sementara itu, Bupati Bulungan Sudjati yang ditemui terpisah mengaku akan memenuhi kebutuhan dasar transmigran lainnya seperti air bersih, akses jalan, dan akses pendidikan.

Sejarah Transmigrasi

Program transmigrasi itu sudah ada sejak zaman Belanda. Pemerintah kolonial Belanda merintis kebijakan tersebut pada awal abad ke-19 untuk mengurangi kepadatan Pulau Jawa dan memasok tenaga kerja untuk perkebunan di Pulau Sumatera (sumber: id.wikipedia.org).

Pada tahun 1929, masih menurut laman id.wikipedia.org, lebih dari 260.000 pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatera, sebanyak 235.000 orang di antarnya berasal dari Pulau Jawa.

Setelah kemerdekaan Indonesia, di bawah pemerintahan Soekarno, program transmigrasi dilanjutkan dan diperluas cakupannya sampai Papua. Pada puncaknya antara tahun 1979 dan 1984, sebanyak 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa) pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi. Dampak demografisnya relatif sangat besar di sejumlah daerah, misalnya, pada tahun 1981, sekitar 60 persen dari 3.000.000 jiwa penduduk Provinsi Lampung adalah transmigran.

Pada tahun 1980-an, program tersebut didanai oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia serta negara-negara Barat yang memuji kebijakan pemerintah Indonesia yang antikomunis. Pada bulan Agustus 2000, sebagaimana yang tercatat dalam laman id.wikipedia.org, setelah krisis keuangan Asia dan jatuhnya rezim Soeharto, pemerintah Indonesia mulai mengurangi skala program transmigrasi karena sedikitnya anggaran.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!