28.8 C
Jakarta

Cinta Suci Tak Terbagi

Baca Juga:

‎“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia ‎memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu ‎mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) ‎adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. Luqman: 13)‎

Pesan al-Qur’an pada surat Luqman ayat ke-13 tersebut adalah ‎tentang totalitas pengabdian, penghambaan serta cinta seorang hamba ‎kepada Sang Khalik. Melalui ayat tersebut digambarkan bahwa Luqman, salah ‎seorang hamba Allah yang saleh, mengajarkan kepada putranya yang ‎bernama Tsaaraan—menurut riwayat Al-Suhaili yang dikutip oleh Ibn Katsir— ‎dalam riwayat lain: An’am. Ada juga yang menyatakan: Masykam, untuk ‎tidak menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Tidak menyekutukan Allah ‎artinya tidak menduakan cinta-Nya, tidak membagi hati kepada selain-Nya, ‎dan tidak bersandar selain kepada-Nya.‎

Ya, misi tauhid yang sesungguhnya adalah membebaskan hamba ‎‎(‘abd) dari mengabdi—menaati, mencintai— kepada sesama hamba ‎‎(manusia, materi, jabatan), menuju pengabdian yang total kepada Tuhan ‎‎(tahrir al-‘ibad min ‘ibadati al-‘ibad ila ‘ibadati Rabbi al-‘ibad).‎

Allah akan sangat cemburu ketika hamba-Nya membagi cinta dan ‎perhatiannya kepada selain-Nya. Dia akan murka kepada hamba-Nya yang ‎menduakan-Nya.‎

Jika demikian kenyataanya, lantas bagaimana dengan hubungan cinta ‎kita kepada Allah. Apakah selama ini cinta kita kepada-Nya tulus, suci dan ‎murni hanya untuk-Nya? Ataukah cinta kita kepada-Nya masih dibagi dengan ‎cinta kita kepada selain-Nya?‎

Manakah yang selama ini lebih kita utamakan. Cinta kita kepada anak, ‎istri, pekerjaan, ataukah cinta kita kepada Allah? Manakah panggilan yang ‎selama ini lebih kita segerakan. Apakah panggilan pimpinan tempat kita ‎bekerja, ataukah panggilan Allah untuk melaksanakan shalat berupa suara ‎adzan? Manakah yang selama ini lebih kita harapkan. Apakah pujian dan ‎sanjungan manusia atas kebaikan-kebaikan yang kita lakukan, ataukah rida ‎Allah?‎

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah ukuran serta ‎parameter cinta dan perhatian kita kepada Allah. Seberapa besar cinta dan ‎perhatian kita kepada Allah bisa diukur dengan seberapa dekat kita dengan-‎Nya, seberapa penting posisi Allah di hati kita.‎

Para ulama sufi mengatakan bahwa jika kita ingin tahu posisi (maqam) ‎kita di hadapan Allah, maka lihatlah bagaimana kita memosisikan Allah dalam ‎kehidupan kita. Jika Allah kita tempatkan pada posisi tertinggi dalam ‎kehidupan kita, maka begitu juga halnya dengan posisi kita di hadapan Allah. ‎Sebaliknya, jika kita tempatkan Allah pada posisi yang kedua, ketiga atau ke ‎sekian dalam kehidupan kita, maka begitu juga halnya posisi kita di hadapan ‎Allah.‎

Jangan pernah merasa diri ini dekat dengan Allah, kalau kita tidak ‎menempatkan Allah dekat dengan kita. Rasa dekat dengan Allah adalah ketika ‎kita selalu merasa diawasi oleh Allah (muraqabah) dalam setiap gerak langkah ‎kehidupan kita. Bahkan dalam setiap hembusan nafas kita, yakinkan diri ‎bahwa Allah selalu bersama kita.‎

Rasa dekat yang sedekat-dekatnya inilah rasa cinta yang ‎sesungguhnya. Seseorang yang mencintai kekasihnya ingin selalu dekat ‎dengannya sedekat-dekatnya. Enggan rasanya untuk berjauhan dengannya, ‎apalagi terpisah darinya. Begitu pun halnya dengan seorang hamba yang ‎mencintai Tuhannya. Dia ingin selalu dekat dengan-Nya, tak ingin berjauhan ‎dengan-Nya, apalagi berpisah dari-Nya. Baginya, dekat dengan Tuhan adalah ‎segala-galanya. Ada nikmat yang tak terungkap. Ada rasa yang tak terucap. ‎Ada bahagia yang tak tepermanai.‎

Cinta yang tulus, suci dan murni yang kita berikan kepada Allah, akan ‎menghadirkan limpahan karunia serta kasih sayang-Nya yang tak bertepi. ‎Cinta yang terbagi tidak akan pernah memberi arti, hanya akan melahirkan ‎murka Ilahi. ‎

Hati-hati dengan cintamu. Cintailah Sang Mahacinta dengan sepenuh ‎cinta. Maka Ia akan hadirkan cinta-Nya sepenuh cinta. Inilah hakekat cinta ‎yang sesungguhnya.‎

Ruang Inspirasi, Jumat, 13 November 2020.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!