25 C
Jakarta

Hak Perempuan dan Anak Sering Terabaikan

Baca Juga:

JAKARTA,MENARA62.COM — Hak perempuan dan anak seringkali terabaikan ketika ikatan keluarga harus berakhir. Seharusnya hak-hak perempuan dan anak tetap harus dipenuhi walaupun perkawinannya akan berakhir. Memulai perkawinan dengan cara yang baik, kalau pun terpaksa memilih perceraian sebagai jalan keluar terakhir juga harus dilakukan dengan cara yang baik. Memulai perkawinan dengan cara baik-baik, maka perpisahannya pun seharusnya dilakukan dengan cara yang baik pula.

Demikian antara lain pemikiran yang terungkap dalam diskusi, hasil kerjasama ‘Aisyiyah dengan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHAMKA. Acara yang diselenggarakan pada hari Senin (24/8/ 2020) melalui zoom meeting ini dibuka oleh ibu Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M.Ag, ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.

Diskusi yang digelar dalam rangka memahami situasi perkawinan dan konflik perkawinan yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak perempuan dan anak, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, dengan tema diskusi “Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan”.

Masyitoh menyampaikan, Posbakum ‘Aisyiyah memiliki tugas untuk mensosialisasikan peraturan perundangan terkait perkawinan agar perempuan dan anak terlindungi hak-haknya.

Dekan FKIP UHAMKA, Dr. Desvian Bandarsyah, M.Pd ketika menyampaikan pidato kuncinya mengatakan, keluarga merupakan pilar pembangunan bangsa. Ada harapan besar kepada keluarga agar menjadi penopang kehidupan bangsa. Keluarga merupakan situasi dimana individu ada dan mengada.

“Keluarga diharapkan menjadi keluarga Sakinah, saling menjaga, saling mendukung, saling mengedepankan keterbukaan untuk menjadi keluarga Sakinah. Seringkali keluarga lebih dilihat sebagai sebuah etitas target grup dalam kebijakan negara. Padahal seharusnya pendekatan pembangunan keluarga harus melihat inner dan perkembangan keluarga, bukan hanya fisik target grup keluarga. Keluarga menjadi ketahanan masyarakat dan bangsa,” ujarnya.

Data BAPPENAS menunjukkan, perceraian meningkat 3% setiap tahun. Peningkatan tersebut bermakna, kesadaran hukum perempuan meningkat untuk memastikan hak-haknya dalam perkawinan. Pada sisi yang lain, adanya kebutuhan bimbingan perkawinan bagi pasangan muda, agar menjadi bekal menjalani kehidupan keluarga. Dengan bekal tersebut diharapkan perceraian dapat diminimalisir.

Pembicara pertama Dr. Fal. Arovah Windiani, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta menyatakan, perkawinan itu saling meminta. Seharusnya perkawinan sah sesuai agamanya, dan resmi dicatatkan kepada negara sesuai agamanya. Perkawinan yang sah bermakna melindungi hak perempuan dan anak.

“Kasus cerai gugat berdampak pada hak nafkah yaitu nafkah muth’ah, nafkah iddah, dan hadhonah. Hal ini seringkali membuat laki-laki menggantungkan perkawinan terhadap perempuan. Laki-laki menunggu istri yang mengajukan agar bebas dari hak nafkah muth’ah, nafkah, iddah, dan hadhonah,” ujarnya.

Situasi tersebut banyak dialami perempuan, padahal seharusnya laki-laki menyadari hak-hak perempuan yang harus dipenuhi ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri relasinya sebagai sebuah tanggung jawab. Bukan justru mereka meninggalkan tanggung jawabnya.

Tidak terpengaruh

Rita Pranawati, Wakil Ketua KPAI mengatakan, perlindungan anak, seharusnya tidak terpengaruh dengan situasi perkawinan orang tuanya. Anak sampai kapanpun memiliki ikatan dengan orang tuanya, walaupun perkawinan orang tuanya berakhir.

“Mantan suami atau istri memang ada, tetapi mantan anak dan orang tua tidak ada. Semua orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi hak akses, hak pengasuhan, sekaligus hak nafkah kepada anak walaupun ikatan perkawinan dengan pasangan telah berakhir,” ujarnya.

Rita menegaskan, jika orang rebutan hak asuh, sesungguhnya semua pihak memiliki kewajiban asuh. Kedua orang tua harus sama-sama bekerja sama dalam mengasuh dan mendidik anak walaupun mereka sudah mengakhiri hubungan.

Sementara Khusniyati Masykuroh, M.Pd, dosen program studi PAUD UHAMKA menyebutkan, banyak sekali dampak perceraian pada kondisi anak. Mulai dari tumbuh kembang anak yang terhambat, ekspresi remaja yang agresif, hingga sulit beradaptasi diri. Sehingga seharusnya orang tua memikirkan soal bagaimana nasib anak dalam relasi perkawinan. Karena sesungguhnya, anak adalah investasi akhirat orang tua.

Seminar yang dihadiri pengurus Majelis Hukum dan HAM seluruh Indonesia maupun masyarakat umum ini, mendapatkan perhatian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme peserta. Mereka menanyakan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa pertanyaan yang menguat diantaranya terkait nasib anak jika orang tuanya tidak menikah sah, hak ayah yang tidak ada perkawinan, soal pengangkatan anak dan nasabnya, serta bagaimana pemenuhan hak nafkah anak jika terjadi perceraian, serta hak perempuan dalam perceraian. Persoalan hukum dasar ini harus terus disosialisasikan agar perempuan khususnya dan masyarakat pada umumnya memahami hukum dan melakukan perlindungan perempuan dan anak.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!