JAKARTA, MENARA62.COM – Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan di Jakarta, Rabu (27/1/2021). Rapat kerja ini membahas tentang Realisasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara tahun 2020 (pelaksanaan PEN tahun 2020), pelaksanaan APBN tahun 2021 dan keberlanjutan PEN tahun 2021, kebijakan cukai hasil tembakau dan kebijakan kluster perpajakan di dalam Undang-undang Cipta Kerja. Dalam rapat yang Panjang ini, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, memberikan sejumlah catatannya.
Catatan pertama disampaikan Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS ini terkait dengan realisasi APBN 2020. Anis menyoroti rasio utang terhadap PDB Indonesia (debt to GDP ratio) yang terus mengalami peningkatan dan semakin memburuk akhir-akhir ini. Ketika masa prapandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24% (2014) menjadi 30,2% (2019). Masa pandemi kemudian melonjak ke 38,5% (2020) dan berpotensi melesat menjadi 40,8% (2021). Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.
“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Situasi ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” ujar Anis dalam siaran persnya, Kamis (28/1/2021).
Catatan yang kedua disampaikan Anis terkait dengan pelaksanaan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020. Anis mengatakan bahwa para ekonom sepakat resesi ekonomi akan cepat teratasi jika pandemi bisa dituntaskan dengan cepat. Akan tetapi PEN bidang kesehatan tercatat dengan realisasi yang rendah. PEN bidang kesehatan hanya terealisasi Rp63,51 triliun dari pagu Rp99,5 triliun. Penyebabnya mulai dari permasalahan administrasi hingga koordinasi antara kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah sendiri.
“Seolah kementerian kesehatan tidak dilibatkan dalam penentuan pagu anggaran untuk PEN bidang kesehatan hingga terjadi realisasi anggaran yang lemah dan tidak optimal. Keluhan juga datang dari berbagai daerah, rumah sakit, dan para tenaga kesehatan terkait anggaran dari pusat yang juga belum jelas,” urainya.
Kebijakan Klaster Perpajakan dalam UU Cipta Kerja dan Kebijakan Cukai Tembakau tidak luput dari hal yang dikritisi Anis. Ia memaparkan bahwa Kementrian Keuangan RI telah mengumumkan kenaikan cukai tembakau sebesar 12,5 persen. Rencana kenaikan tarif cukai tembakau tergambar pada kenaikan target penerimaan cukai rokok sebesar Rp7,86 triliun atau 4,8 persen. Target penerimaan cukai rokok tahun 2021 sebesar Rp172,8 triliun. Merujuk perolehan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2020 sebesar Rp170,24 triliun naik 3,1 persen dari target 164,9 triliun.
“Ini menjadi catatan tersendiri, karena seharusnya kenaikan CHT dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT),” tegas Anis.
Di sisi lain, Anis menambahkan bahwa kenaikan cukai rokok cenderung akan menaikkan jumlah rokok ilegal, maka selain menaikkan cukai rokok pemerintah perlu lebih intens lagi melakukan edukasi publik atas bahaya rokok kepada masyarakat. Karena tujuan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau menurut WHO ialah mengurangi dampak negatif tembakau dan jumlah perokok.
“Diharapkan ada political will yang kuat dari pemerintah untuk membatasi perokok aktif, minimalnya menegakkan aturan larangan merokok di lingkungan kementerian dan lembaga (K/L) pemerintahan,” katanya.
Adapun terkait kebijakan perpajakan dalam UU Cipta Kerja, Anis menyoroti turunnya tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen yang kontroversial dan ditolak FPKS karena dianggap akan menggerus penerimaan negara.
“Insentifnya untuk pengusaha jelas, tapi dampak signifikan bagi perekonomian belum pasti,”ujar Anis menekankan.
Ditambah dengan tren penerimaan negara terus merosot dari tahun ke tahun sedangkan negara perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial demi kesejahteraan rakyat. Padahal tingkat kepatuhan pajak wajib pajak (WP) badan cukup rendah hanya 65% (bila dibandingkan dengan WP karyawan & non karyawan yang mencapai 75%), penurunan PPh Badan bertolak belakang dengan kepatuhan WP korporasi yang rendah.
Anggaran untuk pembelian vaksin menjadi hal terakhir yang dikritisi Anis. Ia mengatakan bahwa pengandaan dan operasional vaksin Covid-19 dilakukan impor dengan jumlah anggaran dalam program PEN 2021 sebesar Rp104,7 triliun. Ini adalah anggaran jumbo ditengah resesi ekonomi. Politisi senior PKS ini menyesalkan tidak munculnya dukungan anggaran untuk vaksin merah putih. Bahkan sama sekali tidak disinggung dalam slide pemaparan Menkeu yang berjumlah 70 halaman itu.
“Jika berorientasi pada penghematan anggaran, maka vaksin dalam negeri adalah solusi. Anggaran negara dan devisa pasti terkuras jika orientasinya impor. Dengan jumlah penduduk 268 juta, maka vaksin dalam negeri harus didukung penuh secara anggaran dan diprioritaskan,” pungkasnya dengan tegas.