JAKARTA, MENARA62.COM – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memberi dukungan pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang akan menetapkan standar pendidikan nasional, menuju Indonesia emas. Indonesia emas pada tahun 2045, saat Indonesia mencapai usia 100 tahun kemerdekaan.
Hal itu disampaikan Muhadjir Effendy, saat memberi arahan pada pembukaan Curah Pendapat Kompetensi Lulusan dan arah Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Emas 2045, yang digelar Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Menurutnya, standar ini nantinya harus dipatuhi dijadikan acuan oleh semua pemangku kepentingan pendidikan. Negeri ini, kata Muhadjir, harus memiliki visi pendidikan naisonal, yang akan menjadi patokan Indonesia emas, tahun 2045.
Karena itu, menurutnya, dalam kurun waktu 25 tahun kedepan, bangsa ini perlu menyusun langkah-langkah berkelanjutan untuk memajukan pendidikan nasional. Langkah itu kemudian dirinci untuk tiap tahun, lima tahun, hingga 25 yang akan datang.
“Tentu saja, kita tidak bisa melihat kedepan tanpa melihat kebelakang. Karena rangkaian sejarah kehidupan kita, dimulai dari belakang, sekarang ini dan proyeksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang,” ujarnya.
Muhajir mengingatkan, semua proyeksi ada elevasi dan deviasi. Semakin jauh membuat proyeksi, maka elevasi dan deviasinya juga semakin melebar. Karena itu, setiap membuat proyeksi jauh, harus ada penilain kebijakan untuk evaluasi jangka pendek, agar bisa melihat kemungkinan penyimpangan dan lompatan yang terjadi diluar target. Tujuannya, agar penyimpangan yang ada bisa dieleminasi sedini dan setepat mungkin.
“Saya kira, problem kita selama ini begitu. Ketika sudah dicanangkan target jangka panjang, kita lupa membuat evaluasi per tahap, kita lupa membuat kebijakan penyesuaian agar arah itu tetap sesuai target jangka panjang,”ujarnya.
Reformasi radikal
Tanpa proyeksi, kita tidak punya pegangan. Proyeksi itu ancer-ancer untuk mengetahui dimana posisi kita. Tugas BSNP, membuat catatan mimpi besar pendidikan nasional.
“Saya sangat berharap ada reformasi yang agak radikal terhadap standar yang sudah ada, tanpa mengabaikan yang sudah ada. Karena standar yang diritis sebelumnya, selama ini sudah berjalan seperti yang diharapkan, meski belum sepenuhnya,”ujarnya.
Muhadjir memberikan ilustrasi, dari kasus kebijakan beban kerja guru. Dalam UU Sisdiknas disebutkan, guru punya kewjiaban mengajar 24 jam tatap muka perminggu. Kalau mereka bisa memenuhi itu, dan sudah memiliki sertifikasi kompetensi, maka guru bisa mendapat tunjangan profesi. Proses ini sudah berlangsung selama 10 tahun.
“Namun, banyak unintended consequences. Tidak semua guru bisa memenuhi 24 jam tatap muka, karena banyak sekali mata pelajaran yang tidak diajarkan sebanyak itu di sekolah. Akibatnya, guru pilihannya dua. Pertama, tidak dapat tunjangan profesi, atau mereka harus mencari jam pelajaran di luar sekolahnya,” ujarnya.
Muhadjir mencontohkan, guru pelajaran sosiologi. Seminggu hanya tersedia dua jam pelajaran sosiologi di sekolah. Kalau guru ingin memenuhi standar tatap muka ini, maka guru harus mengajar di 12 sekolah. “Kenyataannya kemudian, banyak guru yang menyerah. Dampaknya, menghasilkan SILPA (sisa lebih penggunaan anggaran), dananya sudah ada tetapi tidak terserap. Dan itu lupa dikontrol, dalam empat tahun tidak dikontro,l penumpukannya mencapai Rp 23 triliun,” ujarnya.
Pada akhir sambutannya, Muhajir meminta BSNP mengevaluasi standar pendidikan yang sudah ada, kemudian membuat langkah kedepan, agar betul-betul sistem pendidikan nasional bisa menghasilkan generasi yang lebih maju, dan bisa berkognisi lebih baik.