25.2 C
Jakarta

Menengok Pulau Pramuka, “Rumah” yang Tak Lagi Dikunjungi Penyu

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Sore perlahan turun ke bumi, mencium aroma pantai yang pekat dengan deburan ombak. Serumpun tanaman mangrove di perairan timur Pulau Pramuka Kabupaten Kepulauan Seribu bergoyang ditiup sepoi angin senja.

Aku masih duduk di pokok kayu di pinggiran pantai Sunrise, yang terletak di sisi timur tenggara Pulau Pramuka. Berharap ada penyu betina keluar dari perairan pantai Sunrise, meski hari belum begitu gelap.

Penyu, satwa langka yang konon turun ke bumi sama tuanya dengan dinosaurus, memiliki kharakteristik unik. Satwa ini akan mendatangi pantai ketika hendak bertelur, di tengah gelapnya malam. Mencari tempat aman untuk kemudian menggali pasir dengan kedalaman rata-rata 30-50 cm untuk kemudian bertelur.

Aku masih berharap dapat menjumpai si penyu. Memilih berjaga di Pantai Sunrise hingga hari benar-benar gelap. Sayangnya tak seekor pun penyu betina keluar dari perairan. Pantai Sunrise yang dikelilingi cahaya lampu penerangan, tetap sunyi. Hanya deburan ombak yang terdengar lebih dominan.

Jika saja aku tidak berjumpa dengan Furkon, warga Pulau Pramuka yang kebetulan sedang  melintas di pinggir pantai, barangkali aku akan bertahan di Pantai Sunrise hingga dinihari atau bahkan pagi hari.

Dari keterangan Furkon, rasanya sulit berharap ada penyu merangkak keluar dari perairan pulau Pramuka untuk bertelur. Meskipun pulau Pramuka menjadi salah satu habitat asli penyu dari puluhan pulau yang ada di wilayah Kepulauan Seribu.

Furkon menyebut, penemuan penyu bertelur di pantai Sunrise terakhir pada Maret 2023. Setelah itu, tidak lagi ditemukan ada penyu mendatangi pantai Sunrise. Ia menyebut itu sebagai kejadian yang sangat langka.

Paginya aku bertandang ke Pusat Sanctuary Penyu. Berjumpa dengan Makmur, seorang mahasiswa IPB yang sedang magang dan beberapa petugas lainnya. Berkesempatan melihat penyu-penyu dari ukuran bayi (tukik) yang masih usia dua minggu hingga penyu dewasa yang diperkirakan berusia belasan bahkan puluhan tahun. Ada penyu hasil penetasan semi alami yang siap untuk dilepas di pantai, ada juga penyu yang tersangkut di jaring nelayan. Pun ada penyu yang sengaja dirawat untuk kebutuhan ilmu pengetahuan.

Aku juga sempat menengok bak-bak pasir untuk proses penetasan telur-telur penyu. Sayang, bak-bak pasir tersebut sedang kosong setelah telur terakhir yang bisa diselamatkan petugas, menetas dua bulan silam.

Makmur, mahasiswa magang di Pusat Sanctuary Penyu

Lebih dari satu jam aku berbincang dengan Makmur. Mahasiswa yang baru magang sebulan di Pusat Sanctuary Penyu tersebut mengetahui banyak tentang kehidupan penyu, proses penyelamatan hingga populasi penyu belakangan ini.

Di ruang edukasi, Makmur menjelaskan secara detail tentang 7 spesies penyu yang ada di dunia mulai dari penyu lekang (lepidochelys olivacea), penyu pipih (natator depressus), penyu hijau (chelonia mydas), penyu tempayan (caretta caretta), penyu sisik (eretmochelys imbricata), penyu belimbing (dermochelys coriacea), dan penyu kempii (lepidocchelys kempii). Dari 7 spesies penyu tersebut, 6 di antaranya ditemukan di perairan Indonesia. Dan di perairan Kepulauan Seribu ada dua spesies yakni penyu sisik dan penyu hijau.

Pindah pulau

Karakteristik penyu yang cenderung bertelur di pantai di mana sang penyu ditetaskan, kini sudah tidak bisa dijadikan patokan. Penyu memilih berpindah ke pulau lain yang dianggapnya masih aman. Ada tiga pulau di sekitar Pulau Pramuka yang masih menjadi habitat penyu. Tiga pulau tersebut adalah Pulau Karya, Pulau Air dan Pulau Semak Daun.

Berbeda dengan Pulau Pramuka, tiga pulau tersebut dibiarkan tak berpenghuni. Juga tidak ada lampu penerangan. Kalaupun ada, hanya satu dua dan itu pun berada di tengah pulau. Pantai di sekitar tetap dijaga kegelapannya.

Benar bahwa konservasi penyu di perairan Kepulauan Seribu bukan lagi masalah mudah. Karena semakin banyak pulau-pulau yang dihuni dengan konsekuensi munculnya lampu penerangan terutama lampu listrik.

Polusi cahaya berlebihan di area pantai pulau-pulau di wialayh Kepulauan Seribu membuat penyu enggan mendatangi pantai. Jika kondisi seperti ini berlarut tanpa solusi, maka punahnya penyu dari perairan Kepulauan Seribu bukan hal yang mustahil.

Pantai Pulau Karya tempat penyu bertelur

Aku berkesempatan mengunjungi Pulau Karya yang lokasinya tidak jauh dari Pulau Pramuka. Cukup naik ojek kapal kayu dengan tarif Rp5000 sekali jalan, dalam hitungan tak lebih dari 10 menit, aku sudah sampai di Pulau Karya.

Pulau Karya sejatinya tidak benar-benaar kosong. Karena di pulau tersebut ada bangunan kantor Polres dan beberapa suku dinas. Juga ada  rumah tahanan (semacam Lapas) yang dibangun sedikit di tengah pulau.

Meski ada beberapa bangunan kantor, pantai pulau Karya tergolong masih layak untuk tempaat bertelur penyu. Pohon marngrove yang tumbuh subur di sekitar pantai menjadi daya tarik tersendiri bagi penyu untuk mendatangi pantai.

Hampir setengah hari mondar mandir, aku tidak berhasil mendeteksi jejak penyu bertelur di pantai Pulau Karya. Kecuali luang-lubang kecil tempat bersembunyi kelomang, hewan laut yang bentuknya mirip bekicot.

Makmur menjelaskan untuk mendapatkan jejak penyu bertelur memang tidak mudah. Karena acapkali setelah penyu bertelur, jejak penyu hilang tersapu ombak. Apalagi jika dalam waktu bersamaan air laut mengalami pasang.

Selain polusi cahaya berlebihan, ada beberapa kondisi yang dapat mempercepat punahnya penyu. Mengutip laman airlangga.ac.id, terdapat lima penyebab utama yang menjadikan penyu terancam punah. Pertama, perdagangan ilegal. Penyu dapat dijual dengan harga yang fantastis sehingga perdagangan masih terus terjadi.

Kedua, kerusakan habitat. Penyu merupakan satwa yang sangat sensitif terhadap aktivitas di sekitar pantai. Jika di pantai sudah banyak wisatawan yang berkunjung, atau penerangan lampu yang berlebihan, biasanya penyu tersebut tidak mau datang untuk bertelur di pantai tersebut.

Ketiga, perubahan iklim. Keempat, ketidaksengajaan penyu tertangkap menggunakan alat tangkap perikanan. Kelima, pencemaran lingkungan baik limbah atau sampah.

Senada juga disampaikan Kasubdit Pengawetan Spesies dan Genetik di Direktorat Konservasi, Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK, Badiah. Saat memberikan materi pada kegiatan “Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia” pada pekan pertama Desember 2024, Badiah menyebut ada dua faktor utama penyebab terancamnya atau hilangnya keanekaragaman hayati termasuk satwa penyu yakni degradasi habitat dan juga perburuan liar, yang itu jelas antropogenik.

Dalam Forum Bumi edisi ketiga yang bertajuk “Beragam Spesies Terancam Punah, Bagaimana Nasib Satwa dan Puspa Indonesia?” ini, Badiah menjelaskan berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan spesies-spesies tersebut dari jurang kepunahan.

Untuk menyelamatkan satwa, Rheza Maulana, seorang peneliti dan aktivis lingkungan, menilai semua orang memiliki tanggungjawab untuk ikut menjaga kelestarian satwa. Mulai dari caraa-cara yang sederhana hingga terlibat langsung dalam penyelamatan satwa. “Kita bisa mulai dari diri sendiri dulu. Apa yang bisa kita kerjakan, kita kerjakan. Apa yang bisa kita lakukan, kita lakukan. Walaupun sesederhana belajar,” katanya.

Selain itu, menurut Rheza, kita juga perlu memahami yang mana saja satwa liar yang sebenarnya bukan hewan peliharaan. Pemahaman itu penting agar kita tidak ikut-ikutan membeli dan memelihara satwa liar. Tidak ikutan nonton konten-konten dari orang-orang yang memelihara satwa liar yang sebenarnya justru mengancam kelestarian satwa tersebut, sehingga kita juga tidak menyebarkan konten tersebut di media sosial.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!