31.7 C
Jakarta

Mengemas Seni Jathilan dengan Anggun

Baca Juga:

Oleh : Ashari, S.IP*

SIAPA  tidak mengenal kesenian Jathilan. Kuda Lumping. Bisa dipastikan kesenian yang identik dengan penggunaan alat peraga kuda lumping dalam setiap kali penampilannya ini dikenal luas, dari kalangan anak-anak bawah umur hingga orang tua aki-aki. Begitu terkenalnya Jathilan ini maka setiap kali pementasan tidak pernah sepi oleh pengunjung. Bahkan sampai ramainya penonton, tidak sedikit ijin tampil malam hari sering tidak diberikan oleh pihak keamanan, karena dikhawatirkan menimbulkan ekses negative dibelakangnya, layaknya konser music dangdut, rock atau sejenisnya.

Bahkan sekarang ini pemain jathilan tidak saja didominasi oleh kaum pria saja, belakangan sudah melebar pada kaum wanita bahkan sampai anak-anak. Di Kabupaten Sleman sendiri, saya pernah mendengar dalam sebuah event hari jadi Sleman digelar parade kesenian Jathilan. Para parago/pemain berjajar kemudian berjalan dengan rute tertentu. Konon kata penggagas acara ini, kalau di pajang adalah sepanjang jalan Magelang dari Jombor sampai Denggung. Ratusan kelompok kesenian Jathilan tumbuh subur di Sleman yang memang consern dengan budaya ini. Asal budaya itu tidak menyimpang dari tata adat dan budaya, maka Sleman membuka kran dengan lebar.

Bahkan tidak jarang kesenian jathilan ini tampil di tingkat nasional, dalam ajang festival, misalnya. Ini menunjukkan satu bukti, betapa kesenian jathilan ini diakui. Tulisan singkat ini tidak hendak serta merta tidak setuju dengan seni tradisional yang diakui sebagai warisan budaya, namun lebih memberikan usulan agar kesenian jathilan tidak lari dari frame dan koridor islami dengan tata nilai yang sudah jelas dan tidak samar.

Pertama, kostum yang tidak seronok. Tidak dapat dibantah bahwa kostum adalah bagian dari daya tarik sebuah penampilan. Justru karena menjadi daya magnet yang kuat maka pemakaiannya sepantasnya jangan sampai mengundang nafsu-nafsu birahi. Terutama jika pemainnya adalah remaja putri. Ketat, tembus pandang dan tidak menutup aurat justru akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Di samping ketika mereka tampil menjadi konsumsi publik yang tanpa filter dari anak-anak sampe orang tua dapat dengan mudah melihatnya. Maka Bagian Kostum musti hati-hati bener dalam memberikan sentuhan keindahan kepada pemainnya, jangan sampai tujuan semua menghibur menjadi kabur bahkan bergeser menjadi ajang untuk saling melepas syahwat, minimal mata. Asalkan tetap rapi, longgar dibalut dengan busana yang penuh warna tidak masalah.

Tetapi kalau wanita pemainnya sudah Nampak lengannya, atau bahkan, maaf dadanya, maka jelas penontonpun juga akan bergeser dari tujuan semua mereka menikmati kesenian itu.

Kedua, waktu Pentas. Selama ini penulis perhatikan ‘durasi tayang’ kesenian ini terlampau panjang, biasanya dari jam 9 sampai jam 5 sore. Sehingga praktis para pemain dan pendukungnya meninggalkan kewajiban sholat. Okelah kalaupun toh harus panjang, tetapi sebaiknya waktu-waktu sholat harus break dulu, sekaligus memberikan kesempatan kepada penonton untuk sholat.

Kelebihan lain, para pemain dapat istirahat sehingga penonton juga tidak boring. Sehingga stamina penampilan berikutnya dapat lebih terjaga dengan baik. Disamping dapat menampilan kreasi-kreasi lain. Siapa tahu setelah sholat muncul ide-ide baru.

Ketiga, pura-pura ‘Sampai Puncak’. Kita lihat pada saat tertentu, kesenian ini menampilkan beberapa pemainnya sampai pada batas tidak sadarkan diri. Sehingga apa yang kemudian dilakukannya pasti diluar control. Misalnya mereka akan minum air kembang, bahkan ada yang makan pecahan kaca, kepala beradu dengan kelapa..ini jelas sudah di luar nalar akal sehat. Kalaupun toh harus ada adegan puncak (jawa : ndadi ) sebaiknya pura-pura saja, sehingga ‘sembuh’nya pun mudah, tidak harus berlama-lama dan capek badannya. Saat puncak biasanya irama pemain menjadi tidak terkendali. Liar. Kejang. Menerawang.

Usulan sederhana ini semoga menjadi bahan renungan bersama, dengan harapan kesenian yang konon menjadi akar budaya kita dalam pelaksanaannya tidak berbenturan dengan aturan agama yang kita juga junjung tinggi sampai mati. Sekian

* Tinggal di Sleman DIY.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!