33.4 C
Jakarta

Nasib Petani

Serial Pak Bei

Baca Juga:

“Wah Presiden kok kagetan ya, Pak Bei. Heran saya,” kata Narjo sambil melemparkan koran ke lantai.

Pak Bei yang sedang baca-baca berita online langsung meletakkan HP dan membuka kacamatanya. Ternyata Narjo langsung mematikan motor lalu turun dan duduk nglesot di lantai.

“Loper koran ini pasti pengin ngobrol,” pikir Pak Bei sambil turun dari kursinya dan ikut duduk lesehan.

Presiden mana yang kagetan, Kang?,” Pak Bei merespon omongan Kang Narjo.

Presiden Alengka Diraja, Pak Bei,” jawab Narjo dengan pringas-pringis. “Ya jelas Presiden kita, to,” lanjut Narjo.

“Kaget soal apa?”

“Lha ini,” Narjo menunjukkan headline di koran yang dilemparkannya. Tampak foto Presiden bersama dua pembantunya sedang ngobrol di pinggir hamparan padi menguning siap dipanen.

“Wah bagus banget ya fotonya. Angelnya bagus. Ini pasti jepretan fotogafer profesional, Kang,” Pak Bei mengomentari foto yang ditunjukkan Narjo.

“Bukan soal fotonya, Pak Bei.”

“Lha soal apa?”

“Musim panen raya padi, tapi ternyata kita masih impor beras berjuta-juta ton. Itu yang bikin Presiden kaget. Padahal kan sudah biasa. Lha kok masih kaget,” lanjut Narjo.

Zika, anak gadis Pak Bei yang sedang libur kuliahnya di Gontor, datang menyuguhkan dua gelas teh nasgithel di nampan.

Monggo minum dulu, Pak Narjo,” kata Zika.

“Iya, Mbak. Trima kasih, ya,” jawab Narjo sambil meraih gelas dan nyeruput teh panas.

Kemepyar….alhamdulillaah, segerrr…..,” wajah Narjo tampak berbinar.

“Itu tadi kan namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, Pak Bei.”

“Mungkin memang tidak tahu kok, Kang.”

“Ya gak mungkin. Presiden pasti tahu ketersediaan pangan bagi rakyatnya apakah aman atau tidak, perlu impor atau tidak. Beliau pasti tahu dari laporan para pembantunya.”

“Ya mungkin saja pembantunya belum sempat lapor bahwa panen raya kali ini belum aman untuk stok menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Harga beras masih melambung tinggi. Maka solusinya harus mendatangkan impor agar harga beras di pasaran tetap stabil dan terkendali.”

“Tetap di harga rendah, maksudnya?”

“Iya.”

“Kok gak kasihan petani.”

“Maksudnya?”

Mbokya biarkan saja sesekali petani bisa menjual harga panenannya dengan harga bagus, biarkan petani mendapatkan untung dari kerja kerasnya setiap hari. Tidak rugi terus. Dari dulu kok dibatasi dengan Harga Eceran Tertinggi (HET).”

“Lha itu kan memang tugas Pemerintah, Kang. Menekan laju inflasi dengan menjaga agar harga pangan tetap stabil.”

“Itu kan gak adil, Pak Bei.”

“Kok gak adil?”

“Kenapa yang dibatasi harganya dengan HET hanya beras, sementara harga-harga kebutuhan lainnya dibiarkan terus merangkak naik? Harga Tarif Dasar Listrik, BBM, PBB, biaya sekolah-kuliah, dan biaya seluruh kebutuhan hidup lainnya dibiarkan naik? Ini jelas gak adil, Pak Bei.”

Loper koran satu ini kalau sudah mulai ngomong yang memang sulit dibantah. Pak Bei tahu betul Narjo ini di generasinya termasuk anak sekolahan. Dia lulusan SMEA Negeri 1 di kota kami, salah satu sekolah favorit waktu itu. Hanya anak pintar yang bisa masuk sekolah di sana. Sebagai loper koran, Narjo pun punya kebiasaan membaca yang cukup baik. Bahkan, dia punya prinsip tidak mengantarkan berita ke pelanggan sebelum dia sendiri sudah membacanya.

“Pak Bei, Njenengan kan aktif di Muhammadiyah.”

“Iya, Kang. Kenapa?”

“Menurutku, Muhammadiyah yang bisa menolong nasib petani.”

“Kok bisa begitu?”

Nuwun sewu lho, Pak Bei. Dulu jaman Orde Baru, Pemerintah betul-betul serius ngurusi petani melalui Repelita 1-2-3-dan seterusnya. Pada Repelita ke-4, kita bisa swasembada beras. Beras panenan kita bisa berlimpah, surplus. Tidak ada cerita impor beras dari Vietnam, Myanmar, atau Thailand. Komoditas pertanian yang lain termasuk peternakan juga melimpah. Pak Bei ingat kan?”

“Iya, Kang. Aku masih ingat.”

“Tentu Pak Bei juga ingat dulu Pak Harto rajin menghadiri Klompencapir untuk ketemu dan dialog dengan para petani.”

“Wah iya, Kang. Pak Harto tampak sangat fasih bicara tentang pertanian, soal bibit, soal hama, dan obat-obatan. Sangat fasih bicara tentang ternak kambing, domba, sapi, ayam, dan sebagainya. Hebat sekali.”

“Nah itu maksudku.”

“Piye, Kang?”

“Sudah saatnya dakwah Muhammadiyah masuk ke sektor itu,” kata Narjo dengan wajah serius. “Saat ini kita tidak bisa mengandalkan Pemerintah dan para pejabat untuk mengurus nasib petani. Waktu, tenaga, dan pikiran mereka sangat terbatas, sudah habis untuk mengurus balik modal biaya politiknya. Padahal, sektor pertanian butuh keseriusan pananganannya kan, Pak Bei?”

“Ya tapi kenapa harus Muhammadiyah, Kang?”

“Pak Bei, Muhammadiyah sudah terbukti mampu membuat gerakan besar dan rapi di bidang pendidikan, kesehatan, dan dakwah dengan organisasinya yang rapi. Itu karena organisasi diurus oleh orang-orang jujur dan pintar. Mereka para dai yang punya kesungguhan dalam berdakwah di berbagai bidang kehidupan.”

“Iya, Kang. Alhamdulillah.”

“Kubayangkan kalau Muhammadiyah mau mengorganisir petani dengan struktur organisasi yang rapi, dibuat koperasi-koperasi petani sejak Ranting, Cabang, Daerah, hingga Pusat, tentu akan dahsyat sekali, Pak Bei.”

“Tapi gak gampang itu.”

“Waduh Pak Bei ini mbok gak usah sok lugu, to. Ya memang tidak gampang. Tapi Muhammadiyah pasti mampu melakukannya.”

“Terus, Kang…”

“Pak Bei pasti tahu betapa posisi petani sebagai produsen pangan sangat lemah. Posisi tawarnya terhadap pabrik benih, pupuk, obat, dan para tengkulak sangat lemah. Harga jual panenannya sering tidak mampu menutupi biaya produksi yang terus naik.”

“Iya benar itu, Kang.”

“Petani jadi semakin miskin. Berat. Bahkan lama-lama mereka akan menjadi fakir, Pak Bei. Makanya anak-anak muda gak mau jadi petani.”

“Ya makanya ada program Bansos, BLT, dan PKH dari Pemerintah, Kang.”

“Itu program yang agak kurang cerdas, Pak Bei.”

“Maksudnya?”

“Justru dengan program itu rakyat dibuat semakin miskin, Pak Bei.”

“Kok gitu, Kang?”

“Memang aneh, Pak Bei. Saat ini rakyat justru bangga disebut miskin, lalu berebut jadi penerima Bansos, BLT, dan PKH setiap bulan. Sementara, kekayaan negara dipakai bancakan para koruptor dan politisi jahat, rakyat disogok program sosial melalui alokasi Dana Desa. Itu kan termasuk risywah, Pak Bei. Rakyat disogok ratusan ribu rupiah agar diam saja, padahal kekayaan negara dirampok besar-besaran setiap hari.”

“Ayah sudah ditunggu Bunda di workshop,” kata Zika mengingatkan.

“Ya, Nduk. Sebentar,” jawab Pak Bei. “Kang, sori aku harus nemani Bunda brieffing karyawan. Kapan-kapan kita lanjut ngobrolnya, ya,” kata Pak Bei pada Narjo.

“Wah iya, ternyata sudah jam 8.00. Aku juga harus lanjutkan tugas. Pamit dulu ya, Pak Bei,” jawab Narjo sambil bergegas meninggalkan nDalem Pak Bei.

Penulis: Wahyudi Nasution

#serialpakbei
#wahyudinasution
#nasibpetani
#mpmppmuhammadiyah

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!