“Tak hidup karena puji, tak mati karena caci”
— Siti Nurhaliza
Petikan kalimat singkat itu saya dengar langsung dari mulut sang pelantun “Purnama Merindu”, Siti Nurhaliza, penyanyi dari negeri jiran Malaysia, ketika diwawancarai salah satu televisi swasta di negeri ini.
Sepintas, kalimat tersebut terdengar biasa saja. Tetapi, jika kita cermati dan hayati lebih dalam, makna yang terkandung di dalamnya sungguh luar biasa.
Ya, betapa banyak di antara kita, bahkan mungkin diri kita sendiri yang selalu berharap pujian dari orang lain, ketika melakukan sesuatu, entah pekerjaan, yang memang merupakan tanggung jawab kita, atau bahkan ibadah yang merupakan kewajiban utama kita.
Seringkali kita begitu semangat bekerja dan beribadah ketika orang lain memuji, memuja dan menyanjung kita. Tetapi langsung tak bergairah dan malas-malasan ketika tak ada seorang pun yang memperhatikan aktivitas pekerjaan dan ibadah kita. Bahkan, kita berbalik menjadi orang yang sangat rendah kualitas pekerjaan serta aktivitas ibadahnya ketika ada yang mengkritik kita.
Inilah kenyataan yang sering kita jumpai dan mungkin kita alami sendiri. Semangat membuncah saat dipuji. Tetapi langsung tak bergairah saat diabaikan atau dicaci.
Agama mengajarkan kepada kita sikap tulus, ikhlas dalam beramal. Hanya berharap rida Tuhan bukan yang lainnya. Karena hanya dengan mengharap rida-Nya, kita akan tenang dan nyaman dalam beraktivitas. Baik dalam pekerjaan sehari-hari, lebih-lebih dalam beribadah.
Tepat sekali apa yang pernah diungkapkan oleh Sang Gerbang Pengetahuan (Pintu Kota Ilmu), Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah: “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.”
Dalam ungkapan lain, Imam Al-Syafii rahimahullah menyebutkan, “Ridla al-Naas ghayatun la tudrak.” Berharap semua orang rida kepada kita adalah sebuah utopia (tujuan yang tak mungkin dicapai)”.
Benderang sudah bahwa satu-satunya harapan yang harus terus kita tanamkan dalam diri adalah rida Tuhan. Usah pedulikan pendapat dan komentar orang.
Nothing to lose. Life must go on. Dipuji atau dicaci, selagi kita berjalan di jalan yang benar, teruslah berjalan.
Mubazir membuang energi, pikiran dan perasaan untuk hal-hal remeh temeh yang hanya akan merusak hidup kita. Terlalu banyak hal penting yang harus kita lakukan untuk berkhidmat kepada sesama dan mengabdi kepada Tuhan.
Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Anggap saja angin lalu, suara-suara sumbang itu.
Belajarlah kepada sikap para Nabi dan Rasul terdahulu. Jika mereka pedulikan caci-maki kaumnya, mungkin mereka akan segera pensiun dini jadi Nabi dan Rasul. Tetapi mereka tetap teguh menyampaikan risalah Ilahi, karena harapan satu-satunya yang tersemat dalam diri adalah rida Tuhan. Mereka tetap bertahan hingga kesuksesan mereka dapatkan.
Jalan kesuksesan memang tidak datar, melainkan terjal dan berliku. Di kanan kiri bertabur onak dan duri. Tetapi jika kita jalani penuh percaya diri dengan terus menautkan hati pada Ilahi, maka kesuksesan hanyalah soal waktu.
So, sekali lagi saya ingin mengulang ungkapan indah penuh daya gugah dari artis negeri jiran yang memiliki suara emas itu, ” Tak hidup karena puji, tak mati karena caci.”
Ruang Inspirasi, Sabtu (3/10/2020)