27.7 C
Jakarta

Peneliti PKJS UI: Larangan Dana Bansos untuk Pembelian Rokok Perlu Dukungan Permensos

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pemerintah kembali melanjutkan program Bantuan Sosial (Bansos) di tahun 2021 ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terlebih di masa pandemi COVID-19. Ketiga program Bansos yang diberikan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT/sembako), dan Program Bantuan Sosial (BST).

Program Bansos yang telah dijalankan oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi, terutama pada rumah tangga berpenghasilan rendah agar dapat memperbaiki konsumsi dan kesejahteraan mereka. Peningkatan konsumsi dan kesejahteraan ini mencakup aspek pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pangan yang lebih bernutrisi.

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) sangat mengapresiasi dan mendukung komitmen pemerintah dalam menjalankan program Bansos sebagai upaya untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pernah menyampaikan bahwa kunci keberhasilan Bansos adalah data yang tepat sasaran. Kunci keberhasilan ini harus mendapat perhatian yang lebih besar karena akan berpengaruh pada capaian tujuan program.

Kesalahan yang paling umum dalam penargetan penerima Bansos adalah kesalahan inklusi (mereka yang tidak memenuhi syarat, yaitu mereka yang tidak miskin, menerima Bansos) dan kesalahan pengecualian (mereka yang memenuhi syarat, yaitu orang miskin, tidak menerima Bansos).

Selain isu data, efektifitas Bansos terhadap kesejahteraan rumah tangga sangat tergantung pemanfaatan Bansos bukan untuk konsumsi barang-barang non-esensial, termasuk rokok. Secara teoritis Bansos akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga penerima Bansos dapat memanfaatkan dana bantuan untuk keluarga.

Tetapi, bisa juga dipergunakan untuk pembelian hal-hal yang kurang bermanfaat seperti rokok. Apakah Bansos dapat meningkatkan konsumsi rokok? Tim PKJS-UI (Dartanto et al., 2021) telah berhasil menjawab pertanyaan tersebut melalui research paper berjudul “Good Intentions, Unintended Outcomes: Impact of Social Assistance on Tobacco Consumption in Indonesia” di Tobacco Induced Diseases (TID) (DOI: https://doi.org/10.18332/tid/132966) sebuah jurnal rujukan untuk studi[1]studi tentang isu rokok yang kelola oleh International Society for the Prevention of Tobacco Induced Diseases.

Pemberian dana Bansos memang tidak serta merta membuat penerima yang semula tidak merokok menjadi merokok, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Al Izzati et al. (2021) dari SMERU Research Institute. Namun hasil analisis Tim PKJS-UI menunjukkan bahwa dana Bansos yang diterima oleh keluarga dengan adanya anggota yang merokok memiliki intensitas konsumsi rokok yang lebih besar dibandingkan non penerima, terlepas dari status sosial-ekonominya.

Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) cenderung meningkatkan konsumsi rokoknya sebesar 0,258 batang per hari (atau 1,81 batang per minggu) lebih banyak dibandingkan mereka yang bukan penerima. Peningkatan intensitas terbesar terjadi pada penerima Beras Sejahtera (Rastra)/BPNT dengan konsumsi rokok meningkat sebesar 0,402 batang per hari (2,8 batang per minggu) di antara penerima.

Adanya peningkatan jumlah konsumsi rokok pada penerima Bansos akan berdampak pada capaian program Bansos itu sendiri. Penerima Bansos yang keluarganya merokok memengaruhi alokasi untuk pengeluaran kebutuhan esensial keluarga, yaitu nutrisi, pendidikan, dan kesehatan. Ketika Bansos tersebut menyebabkan peningkatan intensitas perilaku merokok, Bansos kurang efektif dalam meningkatkan indikator sosial ekonomi. Hal ini dapat memperkuat siklus kemiskinan bagi penerima Bansos jika perilaku merokok terus berlanjut atau meningkat serta menghambat potensi penuh dari program Bansos.

Presiden Jokowi dan Menteri Sosial Tri Rismaharini telah menyampaikan larangan uang Bansos tidak boleh digunakan untuk membeli rokok secara informal melalui media massa.

Dr. Renny Nurhasana sebagai peneliti dari PKJS-UI menekankan bahwa larangan tersebut akan lebih efektif jika dituangkan ke dalam sebuah regulasi resmi, seperti Peraturan Menteri Sosial (Permensos) untuk menerapkan reward dan punishment atas perilaku larangan membelanjakan dana Bansos untuk rokok.

“Reformasi program Bansos yang lebih tepat sasaran, terintegrasi, dan bersyarat diharapkan mengurangi risiko Bansos untuk konsumsi rokok. Kami mendukung penuh agar pemerintah menekankan perlunya pengurangan perilaku merokok atau pencantuman persyaratan terkait perilaku merokok di antara penerima Bansos ke dalam suatu kebijakan yang tegas. Selain itu, dibutuhkan adanya sinergi lintas sektor dalam penerapan kebijakan pengendalian konsumsi rokok, salah satunya kenaikan harga rokok untuk menjauhkan keterjangkauan pembelian rokok bagi keluarga pra-sejahtera dan penerima Bansos.” tutup Dr. Renny.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!