JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan bahwa saat ini jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai 3 % dari jumlah penduduk. Prosentase yang sangat kecil tersebut salah satunya disebabkan oleh masih dominannya budaya untuk bekerja dan mengabdi pada perusahaan atau institusi dibanding menjadi pengusaha atau membuka usaha baru, pada sebagian besar lulusan lembaga pendidikan.
Padahal keberadaan pengusaha menjadi kunci penting kemajuan sebuah bangsa. Umumnya di negara-negara maju, jumlah pengusaha bisa mencapai 8 sampai 9 %.
Karena itu, kata Pontjo, budaya untuk menjadi pekerja pada perusahaan atau institusi harus diubah. Dan cara untuk mengubahnya, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan harus dapat mengubah pola pikir (mindset) masyarakat tersebut. Pendidikan menjadi agen yang dinilai mampu membentuk budaya dari sekedar menjadi pekerja, meningkat menjadi pengusaha. Perubahan pola pikir budaya tersebut sangat penting dan strategis untuk mendukung lahirnya pengusaha-pengusaha baru dari lulusan lembaga pendidikan kita.
“Jika diibaratkan pembangunan itu adalah sebuah kereta yang ditarik oleh banyak kuda, maka kecepatan kereta kuda tersebut bergantung pada kuda yang paling lambat. Sayangnya kuda yang lambat tersebut adalah budaya,” kata Pontjo dalam siaran persnya, Jumat (4/9/2020).
Ia mengingatkan semangat untuk membangun budaya sesungguhnya sudah tercermin pada lagu Indonesia Raya. Pada salah satu baitnya tertulis bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Syair ini memiliki makna bahwa pembangunan jiwa harus didahulukan. Budaya di sini tentu bukanlah dalam arti sempit seni atau artifak lainnya saja namun lebih sebagai pembangunan sistem nilai.
Lebih lanjut Pontjo, yang juga Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), mengatakan bahwa keberadaan pengusaha dengan industrinya dapat menarik maju Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), karena hasil riset dari lembaga riset termasuk yang berada di perguruan tinggi akan digunakan oleh industri. Sehingga semakin maju industri dengan memakai hasil riset lembaga riset maka dengan sendirinya Iptek akan semakin maju pesat.
Mengingat begitu pentingnya peran teknologi bagi kemajuan sebuah peradaban, maka menurutnya, sangat mendesak bagi Indonesia untuk meningkatkan penguasaan dan pengembangan inovasi teknologi yang saat ini memang masih jauh ketinggalan.
“Bangsa kita juga masih cenderung sebagai pengguna atau konsumen teknologi ketimbang sebagai penemu, pengembang atau produsen teknologi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa Indonesia dalam percaturan global,” jelasnya.
Namun harus diakui, riset dan pengembangan teknologi (risbangtek) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi belum terhilirisasi dengan baik ke dunia usaha/industri maupun ke masyarakat, sehingga belum mampu berkontribusi secara signifikan dalam mendorong percepatan penguasaan teknologi bangsa Indonesia. Hasil risbangtek yang dilakukan oleh perguruan tinggi saat ini lebih banyak untuk mengejar publikasi ilmiah terutama yang terindeks scopus, prototype, hak paten dan sejenisnya.
“Seharusnya, hasil risbangtek yang dilakukan perguruan tinggi dapat dihilirisasi dan dihubungkan dengan dunia usaha atau industri. Karena, teknologi tidak mungkin berkembang tanpa dunia usaha/industri,” ujarnya tegas.
Kolaborasi Triple Helix
Terkait pentingnya penguasaan teknologi bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa, I Dewa Putu Rai dari Badan Pengkajian PPAD menjelaskan bahwa seperti diajukan oleh banyak pemikir, semakin tinggi teknologi sebuah peradaban, makin mudah meradiasi lapisan-lapisan budaya pada peradaban lain.
Teknologi jelas Dewa Putu, telah menjadi faktor diterminan (determinant factor) bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa agar mampu bersaing di tingkat global. Dalam hal ini sering sinergi dan kolaborasi yang kuat dalam lingkup “Triple Helix,” yaitu : Pemerintah – Perguruan Tinggi dan Industri/dunia usaha sangat diperlukan. Pemerintah dalam hal ini berperan selaku Pusat Pengembangan kebijakan dan strategi penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bagi pembangunan Industri nasional. Perguruan tinggi sebagai pusat penyelenggaraan penelitian dengan Tridarmanya, dan Industri/dunia usaha, sebagai pusat produksi dan pengguna Iptek untuk mengembangkan produk baru.
Namun Triple Helix ini dirasakan masih kurang, sehingga dipandang perlu diperluas kembali yaitu pengembangan inovasi teknologi berbasis pemberdayaan masyarakat, dan ini perlu terus ditingkatkan. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam sinergi ini muncul kemudian paradigma baru yang disebut “Quarto Helix” yaitu sinergi dan kolaborasi antara lembaga riset/perguruan tinggi, pemerintah, dunia usaha/industri dan masyarakat.
“Dengan pemberdayaan masyarakat, ruang-ruang pengembangan inovasi teknologi menjadi semakin luas dan merata sehingga pembangunan ekonomi berkelanjutan akan terwujud di masyarakat. Usulan Quarto Helix inilah yang tertuang dalam naskah akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional yang diajukan ke Komisi X DPR RI awal Juli yang lalu,” tegasnya.
Sementara Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti Wisnu Broto mengatakan pengembangan lebih lanjut dari Quarto Helix ini adalah pada tiga faktor lainnya, yaitu peran Teknologi Informasi dan peran Media serta peran Otoritas Sertifikasi. Peran Teknologi Informasi dan peran Media sudah dipakai dalam Kewirausahaan dan berjalan sukses.
Dalam pengembangan inovasi teknologi nasional menurutnya perlu mempertimbangkan “prioritas unggulan.” Dengan begitu, Indonesia harus memberikan prioritas pada pengembangan inovasi teknologi yang bisa memberi nilai tambah terhadap comparative advantage (kekhasan potensi) Indonesia. Dengan berkonsentrasi pada pengembangan inovasi teknologi dalam prioritas unggulan sesuai kekhasan Indonesia, diyakini Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan teknologi yang memberi manfaat bagi peningkatan kemandirian dan kemakmuran ekonomi secara berkelanjutan.
Susetya Herawati, Wakil Sekjen FKPPI, mengatakan bahwa hakekat pengembangan kewirausahaan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pengembangan ekonomi dan dimensi penguatan ketahanan nasional. Proses internalisasi sekumpulan sifat-sifat wirausaha menjadi sikap dan perilaku seseorang. Pengembangan kewirausahaan adalah proses character building atau pendidikan ahlak yang menghasilkan generasi yang berkarakter wirausaha.
Lebih lanjut dikatakannya, penyiapan strategi “Pendidikan” yang efektif dengan pendekatan sistemik amat dibutuhkan untuk membuat ketertarikan pada wirausaha. Langkah-langkah yang dilakukan adalah untuk membangun ekosistim pengembangan kewirausahaan yang kondusif bagi tumbuhnya kewirausahaan.
“Cukup banyak regulasi yang telah dikeluarkan oleh para pemangku kepentingan di bidang pengembangan kewirausahaan selama ini nampaknya pada tataran implementasi masih menghadapi berbagai kendala yang cukup serius. Dari berbagai kendala tersebut adalah terletak pada lemahnya keterkaitan antara kebijakan diantara aktor (instansi pemerintah) pada tingkat pusat, keterpaduan pusat dan daerah dan keterpaduan antara pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat yang disebabkan oleh kemampuan sumber daya manusia, perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang belum memadai,” tutup Herawati.