26.2 C
Jakarta

Prof Gayus Berharap DPR Lakukan Sinkronisasi Pasal KUHPerdata Terkait Fenomena Jual Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Fenomena jual beli tanah dengan hak membeli kembali (buy back) menjadi praktik yang semakin lazim di tengah masyarakat Indonesia. Meski memberikan manfaat terutama menjadi solusi pendanaan cepat, namun praktik ini menghadapi tantangan serius dalam hal kepastian hukum.

Inilah benang merah yang bisa diambil dari disertasi program doktor Bahori Ahoem, mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) yang berjudul “Kepastian Hukum Jual Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali sebagai Alternatif Pembiayaan pada Perushaan Jual Beli Properti dalam Upaya Pembaharuan Hukum”. Promosi doktor yang digelar dalam Sidang Senat Terbuka tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Senat Unkris Prof Gayus Lumbuun pada Rabu (21/5/2025).

Usai memimpin sidang, Prof Gayus menjelaskan bahwa persoalan jual beli tanah dengan hak membeli kembali sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1519 dan 1532. “Dalam kedua pasal tersebut penjual boleh membeli atau menarik kembali barang yang dijual dengan mengembalikan harga dan biaya yang ditentukan,” jelas Prof Gayus.

Namun, kata Prof Gayus, pasal tersebut seolah-olah menunjukkan ketidakpastian hukum. Orang akan berpikir negatif bahwa praktik ini sebenarnya bukan jual beli namun hutang dengan jaminan. “Menjual untuk membeli kembali sebenarnya sama saja seperti hubungan pinjam meminjam untuk menghindari pajak,” lanjut Prof Gayus.

Jika dikaitkan dengan pasal lanjutannya yakni 1520 KUHPerdata dan pasal 1521 UUPerdata, kata Prof Gayus, pasal tentang jual beli dengan hak membeli kembali memungkinkan untuk dibatalkan. Karena dalam pasal tersebut disebutkan bahwa dalam keadaan ingin membeli kembali tetapi penjual dalam kondisi tidak mampu maka hak membeli bisa dibatalkan.

Prof Gayus berpandangan perlunya sinkronisasi pasal-pasal KUHPerdata tersebut untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Dan sinkronisasi peraturan ini hanya bisa dilakukan oleh DPR RI.

Lebih lanjut, Prof. Gayus mengakui bahwa disertasi doktor atas nama Bahori Ahoen adalah sebuah terobosan penting dalam upaya pembaruan hukum perdata di Indonesia. Karena isu yang diangkat dalam disertasi tersebut menyentuh aspek ketidakpastian hukum dalam praktik jual beli dengan hak membeli kembali.

“Ini merupakan pembaruan hukum dalam pandangan saya. Karena yang dicuatkan oleh saudara Bahori ini memang menyentuh wilayah hukum yang tidak berkepastian, khususnya terkait jual beli yang menyisakan hak untuk membeli kembali. Ini bukan jual putus, dan di sinilah letak persoalan hukumnya,” ujar Prof Gayus.

Ia juga menilai penelitian ini bisa menjadi rekomendasi bagi anggota DPR untuk melihat apakah pasal-pasal tersebut masih relevan atau tidak dengan kondisi sekarang. “Mudah-mudahan ini memberi pandangan baru bagi para legislator di Senayan atau pemerintah. Karena undang-undang kita, khususnya KUHPerdata, ini kan warisan kolonial yang belum banyak diperbarui,” jelasnya.

Prof Gayus juga mengingatkan bahwa pasal tentang jual beli dengan hak membeli kembali berpotensi menimbulkan berbagai konflik antar penjual dan pembeli. Konflik tersebut muncul misalnya terjadi bencana tanah longsor pada bidang tanah yang diperjualbelikan. Apakah ketika tanah sudah berkurang akibat longsor tadi, penjual masih berminat membeli kembali. Jika ternyata tidak lagi berminat, tentunya pembeli bisa menuntut haknya sesuai perjanjian jual beli yang disepakati. “Ini kan menjadi kontra pendapat antar kedua belah pihak,” tegasnya.

Sementara itu, Promovendus Bahori Ahoen dalam disertasinya menjelaskan bahwa kepastian hukum dari jual beli dengan hak membeli kembali, secara hukum di Indonesia belum terwujud dengan baik. Karena jual beli dengan hak membeli kembali yang sebelumnya diatur oleh pasal 1519 dan pasal 1532 KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi sejak adanya Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 dan adanya putusan Mahkamah Agung yang inkonsisten semakin membuat ketidakpastian atas jual beli dengan hak membeli kembali.

“Adapun mengenai perlindungan hukum terhadap jual beli dengan hak membeli kembali tersebut belum ada yang spesifik melindungi para pihak dalam jual beli dengan hak membeli kembali, sehingga banyak terjadi permasalahan-permasalahan terkait hak dan kewajiban para pihak yang diajukan ke pengadilan,” katanya.

Karena itu, ia menilai pembaharuan hukum terkait jual beli dengan hak membeli kembali merupakan kebutuhan mendesak untuk memastikan skema ini dapat berfungsi secara optimal sebagai alternatif pembiayaan yang legal, aman, dan efisien. Diperlukan regulasi yang mengatur jual beli dengan hak membeli kembali agar dapat menjadi alternatif pembiayaan. Juga diperlukan lembaga penyelesaian sengketa mengenai pembiayaan dengan skema jual beli dengan hak membeli kembali ini.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!