Berbagai Cara Mengobati Kangen
Usia SMP, 12 tahun adalah masa saat anak mulai bisa diajak bekerja, oleh orang tuanya. Kalau dalam Al-Quran disebut masya-a. (QS-Ashofat.37, ayat 101-102). Saat itu anak sedang tumbuh kembang dengan maksimal. Mekar. Istilah bunga-nya. Kalau laki-laki, konon sedang kelihatan tampan. Cakep. Kalau perempuan sudah mulai nampak garis kecantikannya. Usia belasan tahun.
Kisah Ismail muda yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim, juga waktu itu Ismail dalam posisi usia belasan. Aku tidak hendak membandingkan Ismail dengan, Rohman, anakku. Tentu sangat jauh. Hanya ingin mengingatkan kepada semuanya, bahwa usia belasan tahun, memang saatnya anak mulai dekat dengan orang tuanya. Usia saat anak bisa diajak bekerjasama. Misal, bapak ibunya yang pedagang, anak sudah bisa diajak ke pasar membawa barang dagangan. Yang orang tuanya petani, anak sudah mulai bisa diajak ke sawah, sekedar membawakan cangkul. Misal sudah bisa mencangkul ya hanya sekali dua kali. Habis itu istirahat. Minimal bisa bekerja bersama.
Namun, pada usia yang mustinya bersama-sama itu, kami harus berpisah. Secara fisik. Waktu pertama kali, awal mau memondokkan, tidak terpikir jauh jika ternyata efek samping adalah menahan rindu yang dalam. Kangen yang kadang menusuk-nusuk relung kalbu. Saking kangennya sering menyebut namanya tanpa sadar. Maka benar, ajaran Islam, kalau kita cinta kepada sesuatu, ditandai dengan seringnya kita menyebut benda atau barang atau nama yang kita cintai. Kita cinta kepada Allah, maka di manapun kita sebut nama Allah yang Maha segalanya. Minimal ingat. Kita cinta kepada Rosulullah, maka kita buktikan dengan bersholawat kepadanya. Mustahil. Bohong besar, kalau kita mengaku cinta nabi, ketika disebut namanya, kita diam saja.
Begitu juga dengan anak. Aku pikir semua orang tua akan cinta kepada anaknya. Semuanya. Jangankan kita manusia, yang dikarunia akal, pikiran dan perasaan. Hewan saja yang hanya diberi insting juga menyayangi anak-anaknya. Maka saat rindu kepada Rohman, berbagai cara aku lakukan. Minimal untuk mengobati. Misalnya dengan sekedar melihat foto-fotonya waktu kecil, waktu PAUD, TK hingga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD. Kurang puas dengan cara itu, kadang aku WA dengan petugas atau Satpam pondok. Awalnya bertanya kabar, lama-lama tanya kegiatan santri, ujungnya minta photo Rohman sedang apa kini. Beruntung, Pak Agus Satpam Pondok, baik hati. Meski tidak setiap kali permintaan photo anak dikirimi, namun prosentasenya lebih sering dikirim. Senang.
Terlebih ketika pandemi covid-19 melanda di mana-mana. Hingga pondok anak kami mengeluarkan pengumuman, tidak menerima tamu untuk keperluan apapun. Aku tahu pengumuman itu dari photo WA yang terkirim lewat grup wali/orang tua. Aku memahami keputusan pengelola pondok. Agar virus Covid-19 tidak menyebar di pondok. Maka pergerakan tamu dibatasi.
“Tetapi kalau keperluannya mendesak dan sebentar, saya ijinkan,” begitu balas WA Ustadz Anto LC, ketika aku beranikan diri bertanya tentang larangan bertamu itu. Hati mulai lega. Tapi alasannya apa aku ke pondok. Masak hanya kangen saja, terus tiba-tiba nyelonong. Gak etis. Semua orang tua akan melakukan hal sama. Aku putar otak. Dengan alasan mengantar paket untuk anak dan sebentar saja, saya ijin ke pondok. Alhamdulillah dibolehkan. Tanpa sadar aku melonjak ke udara. Beberapa centi. Kegirangan. Tapi syaratnya tidak boleh menyentuh santri, berjarak, pake masker, cuci tangan dan satu lagi, sebentar. Aku semua siap patuhi. Yang penting bisa lihat Rohman dari dekat….(bersambung)