27.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke- 25 )

Baca Juga:

Saatnya Berpisah Sementara

Oleh Ashari.

Syukur. Kata ini memang memiliki makna yang dalam. Hanya dengan bersyukur orang bisa bertambah imannya. Pun sebaliknya tanpa syukur, orang akan hilang imannya. Alias kufur. Tentu kita ingat bagaimana banyak cara dilakukan oleh jin, setan dan teman-temannya untuk menggoda manusia. Awalnya agar mereka tidak bersyukur. Namun akhir dari godaan itu, klimaksnya adalah tidak lagi beriman. Syirik. Doa yang tidak terampun.

Tidak bersyukur bisa dimulai dari hal yang sederhana. Sepele. Misal suka mengeluh. Tidak suka berterimakasih. Saat lama berpisah dengan anak, pingin bertemu. Ketika bertemu mengeluh. Mengapa waktu bertemu kelamaan. Ini tanda-tanda orang yang kurang pandai mensyukuri nikmat Allah. Ini juga yang (hampir) terjadi padaku.

Rohman, sudah hampir sebulan menikmati liburan di rumah. Bersama kami. Dua pekan sebelum Idul Fitri dan dua pekan lagi setelah lebaran. Tentu selama hampir satu bulan di rumah, banyak hal yang dilakukan Rohman dan kami. Lengkap dengan suka dukanya. Meski tetap mengindahkan prokes, kami sempat main ke pantai di Gunung Kidul. Tepatnya di Pantai Pok Tunggal di Tepus. Ada yang mengatakan pantai paling timur, sepanjang pantai laut selatan. Untuk menempuh jalan ke sana, penuh liku dan terjal.

Kegiatan mengaji juga tidak pernah dilupakan oleh kami. Terutama Rohman. Dengan methode hafalan yang biasa dilakukan di pondok. Bahkan Rohman mengaku, menghafal lebih mudah di rumah. Meski tidak yakin benar. Namun beberapa bukti memang kelihatan. Misalnya, menghafal satu lembar dalam hitungan menit, dipagi bada Subuh. Membaca beberapa kali dengan cepat. Tiba-tiba aku diminta untuk menyimaknya. Kalau tidak istri yang ada disamping.
“Simak pak,” pinta Rohman
“Sudah hafal?” jawabku setengah tak percaya
“Ya, coba saja,” kata Rohman, seraya menyodorkan Al-quran hafalan yang biasa dipakai di pondok. Quran warna kuning keemasan yang ringan saat dibawa.
Dengan cepat ia baca ayat demi ayat. Tanpa melihatnya. Kadang aku sendiri yang kedodoran menyimaknya. Saking cepatnya. Dari sisi hafalan, memang yang dibaca Rohman benar.
“Bagaimana dengan panjang pendek-nya, le?”
“Besok kalau sudah setor ke ustadz baru pelan-pelan dan sambil dibenarkan. Yang penting hafal dulu,” jawabnya enteng.
Tapi setelah hafalan satu lembar selesai, maka kebiasaan lama muncul lagi. Seolah tak terbendung. Main game lewat HP, kadang-kadang lewat laptop di rumah. Hingga kadang aku khawatir dengan model game apa yang dimainkan. Hingga Rohman bisa betah berlama-lama. Ini juga yang sering menjadi pemicu keributan dengan ibunya. Bahkan tidak jarang ibunya menangis karenanya.
“Sudah mau balik ke pondok, kok masih suka main game saja tho mas?” istri mengeluh.
“Sebentar kok bu,” jawab Rohman sekenanya. Karena meski jawabnya sebentar tapi prakteknya agak lama. Terbukti kalau di suruh, jawabnya sebentar dan sebentar. Itu yang sering membuat kami “sakit perut”.
Aku sendiri sambil menahan hati dan coba menghibur diri. “Besok kalau sudah di pondok, semoga tidak lagi begini. Bermain HP terus.” Karena memang di pondok larangan keras membawa HP.
Saatnya kami berpisah sementara. Selasa pagi jelang subuh kami sudah siap-siap. Kami cek lagi, terutama ibunya yang paling rigit meneliti apa bekal yang belum dibawa. Akhir sebelum ke pondok lagi, kami saling meminta maaf, selama hampir sebulan di rumah Rohman mungkin merasa tidak nyaman. Tidak kami duga Rohman pun juga minta maaf, karena kadang membuat kami sedih. Tak ada yang menyuruh kami berpelukan dalam tangis, dalam bahagia.
Hal ini yang membuktikan bahwa kita tidak bisa sendiri dalam mencapai cita-cita. Harus memohon campur tangan yang Maha Kuasa. Allah Swt. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!