29.5 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-5)

Baca Juga:

Mencari Pembanding

Sebelum benar-benar mantap mondok di Pajangan, sebenarnya Rohman masih ada keinginan untuk melihat sebuah pondok besar di Jawa Timur, Darussalam.

“Kalau kapan-kapan pas liburan kita lihat ke sana, boleh gak, pak?” Rohmat merengek.Tidak lepas dengan game-nya.

Praktis saat meminta begitu, dia tidak melihat aku. Dia lebih khusuk dengan HP-nya. Aku biarkan. Meski dalam hati, mengganjal. Tidak sopan. Bicara kepada orang tua, tanpa melihatnya. Bahkan dengan orang lain saja tidak boleh. Pikirku, untuk ukuran demikian, Rohman belum sampai.

“Baek, Ahad besok, kita berangkat mruput,” jawabku, sambil meletakkan Al-Quran di tangan, yang sejak habis Maghrib tadi tak lepas dari tanganku yang mulai berkeriput dan kehitaman.

“Hore, bener pak,” jawab Rohman, kali ini menatap wajahku. Namun sejurus kemudian kembali ke HP-nya. Seolah tidak pernah terjadi perbicangan apa-apa.

“Tapi bapak belum tahu jalurnya, le. Apalagi bapak belum lama bisa setir. Nanti kalau keblasuk-blasuk bagaimana?”

“Wah, bapak itu. Kan sekarang sudah ada Google Map. Kita ikuti saja itu, nanti sampai pak,”

“Caranya?”
“Wah bapak, jian, ketinggalan banget,” katanya. Tidak lama kemudian, dia merapat ke tempat dudukku, sembali mengajari bagaimana memanfaatkan perangkat GM. Layaknya seorang instruktur yang mengajari muridnya. Aku sebenarnya tahu juga menggunakan GM. Toh, tugasnya tambahanku selain sebagai tenaga edukasi di SMP, aku  biasa mencari relasi untuk radio. Maka sudah biasa blusukan. Namun biar Rohman puas, tidak sakit hati, aku pura-pura tidak tahu sama sekali.

“Gampang tho pak,” katanya
“Kalau bapak ya, agak sulit le, maklum generasi jadul, lawannya generasi milenia,l”jawabku menghibur Rohman.

Ia terus merangsek, menyodorkan hasratnya agar, akhir bulan ini, bisa ke salah satu Pondok Modern Darussalam  di Jawa Timur. Benar juga, Rohman merasa senang, nasehatnya diperhatikan. Tidak dicuekin. Setiap dia menjelaskan aku tatap kedua matanya yang bening dan penuh binar. Mulutnya yang mungil dengan lincah, menerangkan. Sementara nampak aku menganggukkan kepala. Tanda setuju.

“Kamu suka le, kalau bapak perhatikan, saat kamu ngomong?” tanyaku memancing.
“Lha iyalah. Itu artinya bapak fokus,” jawabnya.
“Sama le, kalau bapak mengajak bicara kamu, sedangkan bapak di depanmu. Kamu menjawab pertanyaan bapak tanpa melihat wajah bapak. Kamu justru sibuk dengan gadjetmu, sibuk dengan permainanmu. Sebenarnya bapak tidak suka le,” aku menasehati, penuh harap.
“Ya, kalau itu kan karena aku masih anak-anak,” jawabnya sekenanya.
“Terus, kalau masih anak, tidak bisa memperhatikan orang tua bicara?” sambungku
“Ya, kalau anak itu masih bebas pak. Belum kena aturan yang belipet,” Rohman membela diri.
“Perasaan orang itu sama, le. Pada dasarnya semua orang itu senang jika diperhatikan. Tidak peduli dia anak atau orang tua. Karena diperhatikan itu adalah kebutuhan dasar semua orang,” terangku.

Kali ini, dia mencoba berhenti dengan HP-nya. Memang tadi habis Maghrib dia sudah mengaji, tapi aku tahu belum maksimal. Karena baru beberapa ayat sudah berhenti. Bahkan kalau aku perhatikan belum ada satu juzz.

“Coba berhenti dulu, HP-nya. Rohman,” suaraku agak meninggi 2 oktaf. Dia kaget. Sejurus kemudian ia letakkan HP nya….(bersambung)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!