32.3 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-49)

Baca Juga:

#Hukuman Bagian dari Ketegasan

Saya kira di manapun kita tinggal, dalam komunitas besar maupun kecil, pasti ada yang namanya peraturan. Harus ditegakkan bersama-sama. Hadirnya masyarakat adalah kumpulan dari orang-orang yang tinggal dalam satu tempat dibatasi oleh aturan main (rule of game) yang disepakati bersama. Dijunjung bersama. Di tempat kerja, di sekolah, bahkan di rumah – konstruksi bangunan masyarakat paling bawah, ada juga aturan yang harus ditegakkan. Meski kadang aturan itu tidak tertulis. Konvensi.

“Jadi ketegasan itu, satu saat penting itu ditegakkan,” kata pimpinan pondok.
Jawaban ini atau tepatnya pernyataan ini pernah disampaikan beliau ketika memberikan punishman- kepada beberapa santri yang melanggar aturan pondok, kemudian dipulangkan sementara.
“Saya harus mengambil sikap itu,” katanya ketika aku bersambang di pondoknya. Masih dalam suasana pandemi awal.
“Bagaimana dengan sikap orang tuanya, tadz?” tanyaku waktu itu.
“Ya, kami tahu pasti mereka sedih. Ada juga yang terkesan menyalahkan kami. Tapi kami harus tegas mengambil sikap. Agar ini menjadi pelajaran bersama. Sebab kalau tidak, khawatir nanti akan merembet ke adik kelas atau santri yang lain.”
Aku tidak berani apa kesalahan para santri sehingga harus dipulangkan sementara. Tanya langsung ke ustadz nomor satu di pondok itu? Sekali lagi tidak berani. Namun aku mencoba mencari tahu kepada ustadz-ustadz lain di bawahnya. Asistennya. Oh. Aku mencoba memahami, mengapa sampai manajemen mengambil tindakan demikian.

“Satu saat mereka, bisa kembali lagi tadz?” pertanyaanku terakhir. Terkait hukuman itu. Itupun aku beranikan diri. Karena kedorong pikiran empati, seandainya aku menjadi orang tua mereka yang kena dampaknya. Tidak sedikit kukira yang menangis hatinya. Meski tidak disampaikan secara kasat mata. Aku tahu harapan orang tua, jauh-jauh menyekolahkan anaknya ke pondok, pastilah mempunya ekspektasi yang tinggi. Meski muaranya, satu : mencari ridho-Nya.

“Kita lihat perkembangannya,” kata ustadz singkat.
Setelah itu aku minta ijin, pulang. Sebenarnya masih ingin banyak aku tanyakan. Namun lama-lama ngobrol dengan pimpinan pondok, gak enak juga. Pertama khawatir mengganggu, kedua aku melihat beliau nampak kurang sehat waktu itu.

“Iya ini, masih batuk-batuk,” kata beliau, siang itu. Di bawah tangga pondok yang jembar. Kami pamit. Di jalan, meski tidak aku sampaikan ke istri, namun aku bisa merasakan: setuju peraturan itu ditegakkan. Namun disisi hati yang lain, kasihan orang tua santri yang dipulangkan. Karena, aku kira tidak ada orang tua satupun yang menghendaki anak yang disayangi – dipulangkan.

“Kok diam, mas?” kata istri.
“Empati kepada orang tua yang anaknya dipulangkan sementara,” jawabku singkat.
“Pasti ada hikmahnya.”
“Itu yang kita belum tahu. Semoga tidak lama, anak-anak di rumah. Sehingga mereka bisa kembali lagi ke pondok,”
“Ya, semoga,” jawab istri singkat juga kali ini. Tumben. Biasanya jawabannya panjang. Tak bertepi. Meski aku bisa menarik kesimpulannya.

Sebulan berikutnya. Alhamdulillah, tidak begitu lama berselang, aku dengar kabar kalau anak-anak yang kemarin dulu dipulangkan, sudah bisa bergabung lagi bersama teman-temannya di pondok. Pasti ada kesepakatan dan aturan baru. Agar mereka tidak mengulang lagi. Apapun alasannya, aku ikut senang. Padahal, aku tidak kenal satu persatu orang tua mereka. Maklum di samping rumahnya jauh-jauh, hampir se-Indonesia. Kedua, selama ini hanya komunikasi lewat WA di grup. Kadang sok akrab. Tetapi jujur belum pernah bertemu. Namun hati para wali seolah sudah menyatu.
###
Bagaimana dengan Rohman? Ya. Rohman pernah cerita, pernah juga dapat punishman dari pondok. Oya? Ya. Apa itu? Dipindahkan kamarnya dari kamar sebelumnya. Aku mencoba mencari tahu. Naluri wartawanku menyalak. Aku memang pernah menjadi wartawan dulu, waktu masih relatif muda, di sebuah mingguan di Jogja. Hampir 5 tahun selalu berburu berita, mengejar nara sumber. Gak peduli panas, gak hirau hujan, malam. Kalau sudah dikejar deadline, maka tulisan itu harus jadi. Ternyata pengalaman menjadi wartawan, ada juga manfaatnya dalam kehidupan. Minimal naluri ingin tahunya lebih.

Belakangan aku tahu, kenapa Rohman dipindah kamar. Pasti ada sebabnya. Aku dapat jawaban dari ustadz-nya, meski tidak semuanya memberikan jawaban. Salah satunya bocor, ada kabar Rohman berkelahi. Hah? berkelahi? Anak sekecil itu? Berani kelahi? Apakah harga dirinya terkoyak, hingga menyebabkan andrenalin-nya menjadi naik dan meninggi, sehingga ada keberanian. Karena selama ini, belum pernah aku dengar apalagi lihat sendiri, Rohman kelahi.

Aku tanya Rohman, kenapa pindah kamar. Hanya lengkak-lengkok. Haha-hihi. Karena dia menganggapnya itu bukan kelahi. Baru tahap dorong-dorongan. “Hanya bermain, kok. Gak sungguhan kok pak,” kata Rohman.

Tapi sekali lagi, naluriku mengendus berita tidak berhenti sampai disitu. Gak mungkin tanpa sebab, apalagi hanya bermain, Rohman kena hukuman.
Akhirnya aku temukan teman yang kemudian menjadi “lawan” dorong-dorongan itu.

Pertama, aku mau lihat fisiknya seperti apa kok Rohman berani. Kedua, alasan apapun aku sebagai orang tua yang akan – meminta maaf. Agar masalah ini segera selesai. Di pondok dan dimanapun, pikirku, tidak boleh mempunyai musuh. Karena selain menghambat pikiran, membuang energi positif, lebih dari itu akan membuat suasana di pondok, dia tidak akan nyaman.

Benar. Sore itu, tanpa memberi kabar aku tengok Rohman. Dia agak kaget aku datang. Kemudian aku cari temannya yang sempat dorong-dorongan tadi. Ternyata hanya salah paham. “Iya kok pak, kemarin gak sungguhan,” kata teman Rohman tersebut. Aku salami dia. Bahkan aku dekap dia. Seperti aku bapaknya saja. Aku minta maaf atas sikap Rohman, kepadanya. Rohman yang ada disampingnya aku minta, bersalaman. Mau. Senyum. “Maaf. ya?” kata Rohman. Sama-sama. Jawab temannya. Ya Allah, aku lega. Plong.

Karena aku ingin Rohman di pondok, bahkan di manapun tidak mempunyai musuh. Aku mengajarinya untuk beberapa hal yang sifatnya tidak prinsip : mengalah-lah. Kalau itu demi kebaikan. Kalau punya bekal lebih : berbagilah.

Hukuman yang diberikan pihak pondok, pasti ada hikmahnya. Mungkin awalnya kita sebagai wali atau orang tua menerimanya dengan penuh sesak nafas, sakit perut. Namun hikmah selalu kita ketahui di akhir. Bukan di awal. Di sinilah diperlukan kesabaran tingkat tinggi, untuk bisa memahami setiap kejadian atas kehendak-Nya. (bersambung)

bagian 48 < bagian 50

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!