JAKARTA, MENARA62.COM – Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Tetapi hingga kini, masih ada kelompok masyarakat yang belum yakin akan adanya Covid-19. Mereka bukan hanya tidak percaya akan adanya penyakit Covid-19, tetapi malah menuding rumah sakit meng-Covid-kan pasien semata demi uang.
Pejabat Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto mengatakan PERSI telah melakukan klarifikasi dan penelurusan atas banyak isu “RS meng-Covidkan pasien”, dan hasilnya itu tidak benar. “Jadi tudingan sekelompok orang terhadap rumah sakit itu tidak ada yang benar. Tidak ada rumah sakit yang meng-Covidkan pasien,” kata Anjari dihubungi Kamis (22/7/2021).
Menurutnya, rumah sakit dalam bertindak memberikan pelayanan kepada pasien sudah terikat dengan aturan dan standar yang diberlakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Termasuk dalam hal penanganan pasien Covid-19, aturannya sangat ketat dengan pengawasan yang berlapis, baik internal maupun eksternal.
Anjari mengatakan tudingan sebagian masyarakat terkait rumah sakit meng-Covidkan pasien adalah tidak masuk akal, apalagi bermotif uang. Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang angka kasusnya sangat tinggi dalam beberapa pekan ini, tidak ada alasan bagi rumah sakit untuk meng-Covidkan pasien yang memang non Covid-19.
Anjari mengingatkan saat ini kondisi rumah sakit di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tingginya kasus Covid-19 telah membuat rumah sakit kewalahan, terutama tenaga medisnya.
“Angka lebih dari 1000 tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 ini bukanlah angka main-main. Ini artinya banyak rumah sakit yang kehilangan tenaga kesehatannya. Belum lagi banyaknya nakes yang harus isolasi akibat tertular Covid-19. Isolasi ini tentu akan mempengaruhi layanan kesehatan di rumah sakit. Nalar sehatnya dimana kalau dalam kondisi seperti itu masih ada yang tega menuding rumah sakit meng-Covidkan pasien,” katanya.
Meski demikian, kata Anjari, pasien dan keluarga pasien memiliki hak untuk meminta penjelasan kepada dokter dan rumah sakit jika memang menemukan indikasi ketidakberesan dalam layanan maupun penegakan diagnosis penyakit. Sebaliknya, dokter dan rumah sakit juga memiliki hak untuk dihargai dan dihormati dalam hal penegakan diagnosis maupun pengambilan tindakan medis, sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedure) yang berlaku.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Daeng M Faqih, SH, MH. Dihubungi terpisah, Daeng mengatakan untuk menetapkan diagnosis seorang pasien, dokter terikat oleh aturan dan standar medis yang ada.
“Jadi tidak bisa dilakukan sembarangan, ada kriteria yang memang telah ditetapkan oleh Kemenkes dan organisasi profesi kedokteran. Dan itu mengikat profesi dokter,” jelas Daeng.
Dr Daeng mengakui meski para dokter telah menegakkan diagnosis sesuai SOP yang berlaku, kadangkala pasien atau keluarga kurang percaya dengan hasil diagnosis dokter.
“Jika pasien atau keluarga pasien menilai ada hal yang mencurigakan, bisa kok meminta penjelasan kepada dokter atau pihak rumah sakit. Itu haknya pasien. Tetapi tentu dengan prosedur dan aturan yang berlaku,” katanya.
Pasien atau keluarga pasien bahkan dapat menuntut dokter atau pihak rumah sakit jika menemukan indikasi mencurigakan sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap pasien atau keluarga pasien. Sebaliknya dokter atau rumah sakit juga memiliki hak yang sama dalam persoalan perlindungan hukum.
Dr Daeng mengingatkan dalam hal hubungan pasien dengan dokter memang harus dibangun atas dasar kepercayaan, saling menghormati dan saling menghargai. Sebab dokter memiliki SOP yang sudah jelas, pasien juga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan penjelasan terhadap tindakan pengobatan yang dilakukan oleh dokter.
Menurut Dr Daeng, layanan kesehatan adalah persoalan yang sangat esensial dan unik. Tidak semua orang dapat memahami persoalan kesehatan dengan baik dan benar, bahkan mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang sangat baik setingkat S3.
Sebagai contoh, pada banyak kasus di IGD rumah sakit, ada sebagian masyarakat yang mengeluhkan pasien ditelantarkan oleh dokter. Pasien hanya diajak bicara atau hanya dipegang-pegang dan disentuh, tidak ada tindakan apa-apa. Padahal prosedur layanan kesehatan memang demikian. Pada beberapa kasus, observasi terhadap pasien hanya dilakukan melalui wawancara atau menyentuh pasien dan mendengarkan (palpasi).
“Bedakan antara ditelantarkan, dan diobservasi. Sebab tidak semua kasus harus langsung di rontgen, disuntik, diinfus dan tindakan lainnya,” tukas Dr Daeng.
Karena itu daripada ‘ngeribetin’ dengan menuduh rumah sakit meng-Covidkan pasien, baik Anjari maupun Dr Daeng mengajak semuanya untuk bersama-sama menyelamatkan rumah sakit dan dokter sebagai benteng terakhir perang melawan pandemi Covid-19. Caranya dengan memperkuat garda terdepan yakni semua masyarakat untuk tetap taat protokol kesehatan.
“Ibarat kapal, kita sama-sama sedang berlayar menuju tujuan yang sama. Daripada saling bertabrakan, lebih baik mari kita berjalan bersama-sama sesuai dengan peran masing-masing agar kita sama-sama selamat sampai tujuan, berhasil mengalahkan pandemi dan kita menang,” tutup Anjari.