29.8 C
Jakarta

Negative False Dapat Terjadi pada Pasien Covid-19, Ini Faktor Pemicunya!

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – PCR atau polymerase chain reaction saat ini menjadi metode diagnosis penyakit Covid-19 yang paling akurat. Metode pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus dengan PCR ini memiliki akurasi paling tinggi dibanding metode swab antigen atau rapid antigen.

Meski memiliki akurasi yang tinggi, ada sejumlah kasus pasien Covid-19 yang tetap menunjukkan hasil PCR negative. Padahal semua gejala Covid-19 ditemukan pada pasien tersebut.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Daeng M Faqih, SH, MH saat dihubungi membenarkan bahwa dalam sejumlah kasus, seorang pasien Covid-19 tetap menunjukkan hasil PCR yang negative. Kasus ini dalam dunia kedokteran disebut sebagai negative false. Artinya, hasil tes yang dilakukan tidak menunjukkan adanya reaksi antibodi, padahal virus sudah masuk dalam tubuh.yakni kondisi seolah-olah pasien tidak terkena penyakit Covid-19.

“Ada memang, pasien dengan gejala Covid-19 tetapi ternyata hasil diagnosis PCR-nya negative. Tetapi kasus ini tidak banyak,” jelas Dr Daeng dihubungi Kamis (22/7/2021).

Kasus negative false ini menurut Daeng dapat dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, bisa berhubungan dengan waktu pengambilan sampel material untuk PCR yang kurang tepat, yakni saat pasien baru terpapar sehingga belum terbentuk antibodi saat pengambilan sampel (masa inkubasi) atau pasien mengalami gangguan antibodi (immunocompromised).

“Terhadap kasus seperti ini, pada pasien dengan gejala Covid-19 perlu dilakukan pengambilan sampel ulang 7-10 hari kemudian,” katanya.

Kemungkinan kedua, lanjut Dr Daeng adalah letak infeksinya yang tidak terjangkau alat pemeriksaan PCR. Seperti diketahui infeksi Covid-19 dapat terjadi pada area dibelakang hidung hingga alat pernafasan paru-paru.

“Kasus yang banyak terjadi, infeksi terletak di belakang lubang hidung sehingga terjangkau oleh alat deteksi PCR. Tetapi jika letak infeksinya lebih dalam, tentu alat PCR tidak bisa menjangkaunya,” jelas Dr Daeng.

Terhadap kasus seperti ini, Daeng memaparkan bahwa Kemenkes merujuk pada standar WHO telah menetapkan standar penanganannya (SOP). Bahwa pada pasien gangguan pernafasan dan infeksi yang menyerupai gejala Covid-19, meski hasil PCR-nya negative, harus dilakukan terapi-terapi pengobatan layaknya pasien Covid-19.

Dr Daeng mengakui, akibat SOP tersebut, banyak masyarakat yang menuding dokter atau rumah sakit cenderung meng-Covid-19 pasien dengan gejala demam atau sesak nafas. “Dokter banyak dituding mengCovidkan pasien,” ujar Dr Daeng.

Padahal sejatinya SOP yang ditetapkan oleh Kemenkes dan WHO memang seperti itu. Siapapun pasien yang datang ke layanan kesehatan dengan gejala sama persis atau beberapa gejala mirip Covid-19, maka harus diperlakukan sebagai pasien Covid-19. Tujuannya, agar tidak terlambat penanganannya dan pasien dapat dicegah dari tingkat keparahan sakit bahkan kematian.

Untuk menghindari kesalahan diagnosis, pada pasien dengan negative false, penting ditegakkan pemeriksaan penunjang seperti rontgen. Pada pemeriksaan rontgen pasien Covid-19 hasilnya akan menunjukkan terjadinya ground glass opacity (GGO) yakni kondisi abnormal paru-paru ditandai dengan warna putih atau abu-abu pada hasil rontgen.

Sementara itu, Pejabat Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto mengatakan sampai saat ini rumah sakit anggota PERSI menggunakan PCR sebagai standar pemeriksaan pasien Covid-19.

“PCR adalah metode deteksi virus Covid-19 yang paling akurat saat ini. Semua rumah sakit anggota PERSI yang menjadi rujukan Covid-19 menggunakan metode ini untuk menentukan status pasien yang diduga Covid-19,” jelas Anjari.

Anjari menjelaskan untuk menjadi rumah sakit rujukan Covid-19, sebuah rumah sakit harus memenhi persyaratan yang sangat ketat. Beberapa persyaratan tersebut selain dokter dan perawat juga  ketersediaan ahli patologi, petugas laboratorium, ketersediaan ruang isolasi, dan sarana parasarana lainnya yang dibutuhkan sesuai standar yang sudah ditentukan Kementerian Kesehatan dan Satgas Penanganan Covid-19. “Jadi tidak sembarang rumah sakit bisa jadi rujukan Covid-19,” tutup Anjari.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!