Imam Shamsi Ali*
Sejak dimulainya kampanye pemilihan presiden Amerika di tahun 2016 lalu serangan dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Amerika Serikat meningkat tajam. Terlebih lagi setelah pemilihan itu memberikan kesempatan kepada Donald Trump masuk ke Gedung Putih (White House), kediaman resmi presiden Amerika, serangan terhadap minoritas menjadi momok yang menakutkan.
Komunitas Muslim, Yahudi, Hispanic, African American, dan kelompok minoritas lainnya mendapat perlakuan yang kurang wajar. Kekerasan fisik maupun teror mental seringkali mereka alami dalam berbagai bentuknya.
Seorang anggota kepolisian New York diserang karena wanita Muslimah yang berjilbab.
Seorang pekerja MTA (Transportasi umum New York) didorong di sebuah tangga kereta bawah tanah juga karena agama dan pakaian Muslimahnya.
Seorang pekerja airport JFK New York diserang secara fisik oleh orang yang tidak bertanggung jawab juga karena agama dan hijabnya.
Dalam beberapa minggu terakhir masyarakat Yahudi juga mendapat serangan yang tidak kurang. Pekuburan bersejarah mereka di St. Louis dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Bahkan puluhan sinagog atau pusat-pusat dan rumah ibadah Yahudi mendapat teror bom lewat telepon. Hanya beberapa hari yang lalu seorang ilmuan Hindu keturunan India terbunuh karena etnik dan negara asalnya.
Demikian pula seorang pemimpin Sikh tertembak mati di pekarangan rumahnya di Seattle Washington. Beberapa hari lalu sebuah masjid di Arizona dimasuki oleh seseorang di saat sepi, dan Al-Quran yang ada di rak-rak itu disobek sobek. Baru kemarin seorang wanita Muslimah diteriaki dan dipukuli.
Itu sekelumit Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump saat ini. Kekerasan demi kekerasan, kebencian terhadap warga minoritas semakin menjadi-jadi. Bahkan poling terakhir mengatakan 60% warga Muslim Amerika merasa ketakutan dengan suasana saat ini.
Belum lagi tentunya upaya Donald Trump untuk melarang pendatang yang beragama Islam dari negara-negara mayoritas Muslim. Sesunguhnya pelarangan yang dimulai dengan beberapa negara itu adalah memenuhi janji kampanye untuk melarang siapa saja yang beragama Islam datang ke negara ini.
Pelarangan itu tentunya merupakan penampakan karakter Donald Trump yang sesungguhnya kepada Islam dan komunitas Muslim. Tapi sekaligus bagian dari upaya membendung perkembangan Islam yang semakin pesat. Justeru yang lucu kemudian ketika pengeran Saudi memuji dan menganggapnya “sangat bersahabat” dengan orang Islam. Atau ketika petinggi Indonesia melihatnya sebagai politisi yang baik dan akan memberikan dukungan kepada masyarakat Muslim.
Kebijakan pelarangan ini menjadi bagian dari kemenangan kelompok-kelompok Islamophobia yang selama ini sangat gencar memerangi Islam dan komunitas Muslim. Sehingga dengan sendirinya menjelaskan kecurigaan yang ada bahwa Islamophobia sekarang ini sudah menjadi bagian sistim kenegaraan.
Dan dengan sendirinya ini juga membawa kepada sebuah situasi yang sangat berbahaya. Jika masa lalu Islamopobia bersifat kasuistik, kejadian atau kasus di sana-sini, maka sekarang ini seolah penyakit ini sudah berada di jantung Amerika. Berada di pusat pemerintahannya di Gedung Putih.
The American Way
Ternyata Amerika memang Amerika. Amerika punya jalannya sendiri. Jalan Amerika itu adalah demokrasi. Dan demokrasi itu memberikan otoritas tertinggi kepada rakyatnya.
Saya mungkin tidak salah jika mengatakan bahwa kemenangan Donald Trump adalah sebuah “unintended mistake” (kesalahan yang tidak disengaja). Tentu sebuah konsekwensi dari demokrasi itu sendiri. Tapi sejatinya kemenangannya adalah kesalahan yang akan dicatat oleh sejarah Amerika itu sendiri.
Delapan tahun Amerika mencatat sejarah dengan memilih seorang presiden dari kalangan Afro Amerika. Tidak saja karena Barack Obama terpilih mewakili banyak latar belakang. Afro Amerika, juga putih, dan juga mewakili Imigran secara keseluruhan karena ayahnya adalah seorang Muslim berkebangsaan Kenya. Tapi saya kira yang terpenting adalah Barack Obama relatif berhasil dalam memimpin negara ini dalam 8 tahun terakhir.
Terpilih menjadi presiden Amerika pasca George W Bush bukan mudah. Negara telah didorong ke dalam multi dimensi permasalahan, baik secara domestik maupun global. Ekonomi mengalami krisis yang luar biasa. Dan dengan nafsu perang Bush menjadikan nama Amerika menjadi rusak di mata dunia.
Barak Obama berhasil, minimal bertahan sehingga Amerika tidak mengalami krisis yang lebih jauh. Ekonomi tumbuh kembali. Hubungan dengan negara-negara dunia semakin membaik, termasuk dengan negara-negara mayoritas Muslim.
Mungkin salah satu sejarah yang akan dicatat oleh Amerika tentang Barack Obama adalah keberhasilannya meloloskan Healthcare atau jaminan kesehatan menjadi UU di Amerika. UU ini lebih populer dengan nama Obamacare.
Keberhasilan itu ternyata menumbuhkan “keresahan” di pihak lain. Oleh karenanya lawan-lawan politiknya berusaha menggantikannya dengan segala cara. Kemarin baru saja akan dilakukan voting di Kongress. Tapi sekali lagi Amerika punya jalannya sendiri. Usaha mengganti Obamacare itu gagal sebelum dimulai.
American way yang saya maksud di sini adalah bahwa urusan publik kenegaraan memang tidak ditentukan oleh seorang, atau sepihak. Tapi semua ikut mengambil bahagian untuk menentukan arah kebijakan publik kenegaraan (State affairs). Tentu termasuk di dalamnya sebagai pemegang otoritas tertinggi masyarakat itu sendiri.
Sejak kampanye rasis dan anti imigran, khususnya Muslim, dilancarkan Donald Trump, masyarakat Amerika sudah mulai menyuarakan resistensi. Berbagai kegiatan sebagai bentuk solidaritas dilakukan. Walaupun saat itu sebagian menganggap jika pernyataan-pernyataan maupun prilaku Donald Trump hanya sebagai strategi tim kampanyenya untuk menarik simpati dari segmen tertentu masyarakat Amerika.
Kini dengan terpilihnya Donald Trump dan gelagat kebijakannya yang memang mengarah ke rasisme dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, termasuk Muslim dan imigran, the American way itu semakin menampakkan diri.
Demonstrasi demi demonstrasi dilakukan di mana-mana membela hak-hak sipil minoritas. Kebijakan pelarangan pendatang Muslim ke Amarika oleh Donald Trump disambut dengan penentangan di mana-mana. Bahkan oleh Hakim Tinggi diblok berkali-kali, menjadikan kebijakan itu kehilangan wibawa.
Baru-baru ini dan untuk pertama kalinya dalam sejarahnya peringatan hari St. Patrick masyarakat Amerika keturunan Irlandia mengundang kami memberikan presentasi tentang Komunitas Muslim pasca terpilihnya Donald Trump. Kami mendapatkan penerimaan yang luar biasa. Selain karena memang ada keinginan membangun kerjasama dan solidaritas, juga karena kini Muslim bisa dipercaya.
American way itu adalah suara rakyat dan supremasi hukum. Dan dalam sebuah negara jika rakyat luas masih didengar dan hukum masih dijunjung tinggi maka negara itu adalah negara harapan dan impian.
Digagalkannya kebijakan pelarangan orang Islam (Muslim ban) masuk Amerika oleh Hakim Tinggi Amerika bukti nyata bahwa hukum masih otoritas tertinggi. Gagalnya penggantian Obamacare ke Ryancare juga membuktikan jika suara rakyat masih mengontrol kekuasaan publik.
Oleh karenanya di tengah berbagai tantangan yang sedang kita hadapi saat ini, saya tetap yakin jika Amerika akan tetap Amerika yang dulu kami kenal. Amerika yang menjadi harapan banyak orang, pulau impian bagi imigran. Tidak saja untuk perbaikan ekonomi dan pendidikan. Tapi yang terpenting adalah kebebasan dan keadilan sosialnya.
Amerika insya Allah tidak akan berubah prinsip hanya karena sebuah pemilu. Semoga!
Central Park, NYC, 25 Maret 2017.(Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation)