32.5 C
Jakarta

Munas Tarjih Muhammadiyah XXX di Makasar Bahas Masailul Khamsah

Baca Juga:

MAKASAR, MENARA62.COM– Ketua Umum  Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir, M.Si., membuka secara resmi Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah XXX di Universitas Muhammadiyah Makassar, Rabu (24/01/2018). Munas yang mengundang sejumlah ulama dari Persis tersebut akan menjadi Muktamar Khususi Tarjih yang membahas Masailul Khamsah.

“Muktamar Khususi ini akan membahas persoalan-persoalan besar sehingga KH Mas Mansyur perlu mengundang ulama-ulama dari Persis. Diharapkan Munas akan menghasilkan keputusan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Haedar dalam pidato Iftitah membuka resmi Munas Tarjih Muhammadiyah XXX.

Menurut Haedar hal penting yang akan dibahas dalam Munas Tarjih ini adalah bagaimana Masailul Khamsah bisa kita perluas kembali maknanya sehingga bisa menyentuh persoalan yang substantif. Terutama terkait  gagasan tentang hubungan antara agama dengan dunia yang pernah diperkenalkan Dr. Nurcholish Majdid pada tahun 1970-an.

Lebih lanjut Ketum PP Muhammadiyah mengatakan pada akhir abad ke-20 kita menghadapi gagasan modernisme, yang jika Muhammadiyah tidak menanggapi itu, akan kehilangan disorientasi.

Termasuk dalam kehidupan politik dimana saat ini  juga menghadapi kemunculan rezim otoriter yang sebagian besar umat Islam belum siap menghadapinya.

Munculnya fenomena money politic dan politik transaksional yang sebenarnya merupakan fenemona pinggiran yang muncul dari sebuah proses demokrasi, harus dibaca secara utuh sebagai akibat dari demokrasi liberal yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

Money politic sekarang juga dipengaruhi oleh sturuktur politik. Terjadi kohesi yang sangat rapi antara berbagai elemen. Misalnya, dalam rezim Orde Baru, beberapa elemen seperti pebisnis, dan lain-lain, tidak terlalu kohesi. Tapi sekarang pebisnis, pemodal, dan lain-lain, menjalin hubungan yang erat dengan para pelaku politik.

Ketidaksiapan masyarakat menerima proses demokrasi yang sudah berjalan menyebabkan kesenjangan masyarakat demokrasi. Dengan kata lain, demokrasinya sudah berjalan dan hampir matang, tapi masyarakatnya belum matang dan memiliki kedewasaan berpolitik.

Karena itu menjadi kewajiban kita untuk memberikan tuntunan tentang berpolitik. Sebab jika tidak ada tuntunan, maka ke depan dunia politik akan semakin suram karena terjadinya sekularisasi dan kapitalisasi

Perkembangan teknologi

Haedar mengatakan zaman terus berubah dan teknologi informasi berkembang sedemikian cepat. Fakta tersebut harus diantisipasi oleh Islam yang diharapkan bisa hadir sebagai sumber solusi semua masalah yang ada.

Perkembangan teknologi informasi salah satunya adalah memberi warna dalam hal interaksi sosial. Paradigma baru yang terjadi saat ini hubungan antar manusia berubah dari personal interaksi langsung relasional menjadi impersonal-interrelasional. Orang mau silaturahim cukup dengan media sosial dan lain-lain.

“Dengan fenomena ini, ada yang hilang yakni realitas nyata. Salah satu efeknya adalah munculnya realitas buatan. Dan ini yang menyebabkan informasi hoax,” kata Haedar.

Fenomena komunikasi impersonal menurut Haedar juga akan menghilangkan dimensi “rasa”. Selain dimensi “rasa”, yang hilang juga adalah “daya kritis/nalar kritis”. Contohnya adalah fenomena berita viral. Dalam informasi viral itu akan hilang nalar kritis seseorang, karena hanya ingin dianggap sebagai pewarta pertama.  Hal ini akan menumbuhkan rasa ingin instan dari setiap diri seseorang.

“Menurut salah satu antropolog, masyarakat yang terlalu menghambakan dan mengandalkan diri pada teknologi, maka dia akan mengalami mati kebudayaan dan fitrah kemanusiaannya,” lanjutnya.

Ia mengingatkan bahwa pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) sesungguhnya adalah jalan tengah yang diambil oleh Muhammadiyah untuk memberikan pedoman bagi warga dan umat Islam di satu sisi, tapi tidak terlepas dari aspek epistemologis yang terkandung dalam masailul khamsah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH).

Lebih lanjut Haedar mendorong Muhammadiyah untuk melanjutkan proyek Risalah Islam yang sempat mauquf. Sebab pada Munas Tarjih di Klaten gagasan-gagasan awal tentang itu sudah mulai muncul dari Prof. H.M. Rasjidi.

Rumusan Risalah Islam ini menurut Haedar sebenarnya bisa dilacak dalam dokumen-dokumen Muhammadiyah. Karenanya Majelis Tarjih dan MPI berkewajiban untuk menulusuri dokumen ini. Dan ini membuat pekerjaan Majelis Tarjih menjadi sangat besar dan raksasa.

Penggunaan fikih

Hal lain yang menarik adalah munculnya istilah fikih yang digunakan Muhammadiyah yang memiliki perbedaan dengan istilah fikih pada zaman dahulu. Tantangannya adalah, sekarang bahwa produk fikihnya sudah banyak dihasilkan tapi juga mungkin perlu epistemologi usul fikihnya perlu dirumuskan juga.

Artinya kita perlu memiliki konstruksi usul fikihnya dan dijadikan satu paket dengan Manhaj Tarjih. Proyek besar ini sudah dimulai dengan menulis Tafsir al-Tanwir. Masukan-masukan dari para pemikir kontemporer sudah selayaknya dijadikan pertimbangan oleh Muhammadiyah.

Haedar bersyukur bahwa Muhammadiyah sudah memiliki Fikih yang sifatnya kontemporer. Ini merupakan bukti bawah Majelis Tarjih dan Muhammadiyah cukup responsif terhadap persoalan-persoalan baru.

Fikih Perlindungan Anak nanti di dalamnya ada kaitannya dengan tarbiyah anak. Dan fikih perlindungan anak ini berangkat dari paradigma modernisme dan praktik modernitas yang terjadi sekarang.

Oleh karenanya, perlu dilacak khazanah Islam tentang persoalan ini, misalnya Jamal Albana yang terlalu bercorak rabbaniyyah. Di sini perlunya dilakukan penafsiran ulang.

Haedar melihat adanya fenomena sekolah-sekolah PAUD yang mencoba membentuk anak-anak menjadi “saleh terlalu dini” dan mengabaikan sisi kekanak-kanakannya. Sehingga kontruksi ini akan membentuk anak yang serba anti ini, anti itu, dan lain sebagainya.

Pemikiran baru

Menurut Haedar, ada dua arus pemikiran besar yang akan menghegemoni ke depan. Pertama, arus pemikiran yang bercorak humanisme. Berbagai persoalan baru yang muncul pasti akan diwarnai dengan corak ini, baik yang humanisme religius maupun humanisme sekuler. Misalnya, persoalan fikih informasi yang di dalamnya ada media sosial.

Arus pemikiran kedua bercorak teosentrisme. Dalam pemikiran model ini, semua dikaitkan dengan islami-islami, rabbaniyah. Contohnya, baju yang Islami seperti ini dan itu. Semuanya dikembalikan kepada romantisme masa lalu.

“Di antara dua pendulum inilah seharusnya posisi Muhammadiyah. Tapi ini juga bukan berarti Muhammadiyah bersifat abu-abu.”

PascaTafsir al-Tanwir, Haedar berharap dua proyek besar selanjutnya yaitu Fikih al-Tanwir dan Risalah Islamiyah perlu segera dikerjakan.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!